Sesungguhnya orang-orang
mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah/ 2: 62).
Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29).
Dua ayat tersebut di atas (QS
Al-Baqarah: 62 dan QS At-Taubah: 29) menjadi pembahasan yang saling dikaitkan
oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam fasal khusus tentang tuduhan orang-orang Nasrani bahwa
Al-Qur’an menyamakan di antara agama-agama. (Ibnu Taimiyyah, Daqoiqut
Tafsir, juz 2, halaman 70).
Ibnu Taimiyah yang hidup pada
masa 700 tahun yang lalu (1263-1328M)
Telah membantah tuduhan
orang-orang Nasrani yang menganggap Al-Qur’an menyamakan agama-agama. Tuduhan
kaum Nasrani 700 tahun yang lalu itu kini anehnya diusung oleh orang-orang yang
mengaku dirinya Muslim, dan mengambil alih tuduhan tersebut dengan label baru
yaitu teologi pluralis atau pluralisme agama. Lalu oleh tim penulis Paramadina
di Jakarta dibuatkan tuntunan praktisnya dalam bentuk buku yang mereka namai Fiqih
Lintas Agama.
Yang dijadikan landasan teologi
pluralis itu juga yang jadi landasan kaum Nasrani di zaman Imam Ibnu Taimiyah,
yaitu Surat Al-Baqarah ayat 62 dan QS Al-Maaidah: 69. Ayat itu di berbagai
tempat dibawa-bawa oleh Nurcholish Madjid untuk mempropagandakan teologi
pluralisnya, hingga dalam buku FLA itu sendiri pun dijadikan landasan, dengan
ungkapan yang sangat mencolok mata, kami kutip dari FLA seperlunya:
Kutipan:
Ayat yang lebih tegas tentang
keselamatan agama-agama lain adalah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di
antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah/ 2:
62). (FLA, halaman 214).
Di samping itu, ayat tersebut
diplintir pula ke arah Majusi, seperti yang dicantumkan dalam FLA halaman 49:
“Al-Qur’an sendiri menyebut
kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas Ahli Kitab. Akan tetapi
al-Qur’an juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan
Shabi’in, yang dalam konteksnya mengesankan seperti tergolong Ahli Kitab
(lihat, Q. 22: 17; 2:62). (FLA, halaman 49).
Tanggapan:
Keselamatan agama-agama lain
yang mereka kilahi dengan ayat 62 surat 2 itulah inti teologi pluralis, yang
menyamakan semua agama. Lalu ayat 62 surat 2 itu juga diplintir untuk
memasukkan Majusi ke Ahli Kitab. Namun sebenarnya pengertian Surat Al-Baqarah
ayat 62 itu seperti apa, mari kita simak uraian Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Daqoiqut
Tafsir (6 juz) pada juz 2 sebagai berikut:
Fasal mengenai tuduhan orang-orang Nasrani bahwa
Al-Qur’an menyamakan di antara agama-agama[1]
Mereka (orang-orang Nasrani)
berkata mengenai Surat Al-Maidah,
Sesungguhnya orang-orang
mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di
antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (QS Al-Maaidah: 69)[2];
maka dengan perkataan ini telah samalah antara semua manusia Yahudi dan Muslim
serta lainnya.
Jawaban untuk itu, hendaklah
dikatakan, Pertama, tidak ada
alasan/hujjah bagi kalian dalam ayat ini atas tuntutan kalian bahwa hal itu
menyamakan antara kalian (Nasrani) dan antara Yahudi dan Shobi’in. Sedangkan
kalian (Nasrani) beserta Muslimin sepakat bahwa orang-orang Yahudi itu adalah
kafir terhadap diutusnya Isa Al-Masih kepada mereka lalu mereka
membohongkannya. Dan demikian pula orang-orang shobi’un (sabean) dari segi
diutusnya rasul kepada mereka lalu mereka membohongkannya, maka mereka kafir.
Kalau di dalam ayat itu (kalian
anggap) ada pujian kepada agama kalian yang kalian ada di atas agama itu
setelah diutusnya Muhammad saw, maka (berarti) dalam ayat itu ada pujian
terhadap agama Yahudi juga, dan ini adalah batil menurut kalian dan menurut
Muslimin. Demikian pula (yang harus) dikatakan kepada orang-orang Yahudi
apabila beralasan/ berhujjah dengan ayat ini atas sahnya agama mereka.
Dan juga sesungguhnya
orang-orang Nasrani mengkafirkan orang-orang Yahudi. Maka kalau agama mereka
(Nasrani) benar, wajiblah kekafiran Yahudi, dan kalau batil wajiblah batilnya
agama mereka, otomatis batillah salah satu dari dua agama itu, maka tercegahlah
ayat itu (dari) memuji kedua agama tersebut, sedangkan ayat itu telah
menyamakan antara keduanya.
Sudah diketahui bahwa ayat ini
tidak memuji salah satu dari kedua agama itu setelah nasakh dan tabdil
(pembatalan/ penghapusan dan penggantian).
Sesungguhnya makna ayat ini
hanyalah: Bahwa orang-orang yang beriman kepada Muhammad saw, dan orang-orang
Hadu (yang bertobat, Yahudi) yang mengikuti Musa as yaitu mereka yang berada di
atas syari’at sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, dan orang-orang Nasrani
yang mengikuti Al-Masih as yaitu orang-orang yang berada di atas syari’at
sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti; dan orang-orang shobi’un (sabean) yaitu
shobi’un hunafaa’ (yang cenderung/ mengikuti kebenaran) seperti orang-orang
dulu yaitu orang-orang Arab dan lainnya
di atas agama Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq sebelum diganti dan dinasakh
(dihapus). Sesungguhnya orang-orang Arab dari anak Isma’il dan lainnya yang menjadi
tetangga Baitul ‘Atiq (Ka’bah) yang dibangun Ibrahim dan Isma’il, mereka dulu
adalah orang-orang hunafa’ (cenderung/ mengikuti kebenaran) di atas agama
Ibrahim sampai pada diubahnya agama Ibrahim itu oleh sebagian pemimpin Bani
Khuza’ah yaitu Amru bi Luhai, dan dialah orang pertama yang mengubah agama
Ibarahim dengan kemusyrikan dan mengharamkan apa-apa yang tidak diharamkan
Allah. Oleh karena itu Nabi saw bersabda:
Saya lihat Amru bin Amir bin
Luhai Al-Huza’i menarik ususnya artinya perut besarnya di neraka, dan dialah
orang pertama yang membuat saibah-saibah (binatang persembahan berhala tidak
boleh untuk membawa beban). (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dan dialah
orang yang pertama membuat bahirah (binatang untuk berhala, tidak seorangpun
memeras susunya) dan membuat saibah-saibah dan mengubah agama Ibrahim.
Demikian pula Bani Ishaq yang
dulu sebelum diutusnya Musa, mereka memegangi agama Ibrahim, mereka termasuk
orang-orang yang berbahagia dan terpuji. Maka mereka yang dulu berada di atas
agama Musa, Al-Masih, Ibrahim dan semacamnya itulah yang dipuji Allah
Ta’ala: Sesungguhnya orang-orang
mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah/ 2:
62).
Maka ahli kitab setelah (syari’at agama mereka) dinasakh
(dihapus) dan diganti, mereka bukanlah termasuk orang yang beriman kepada Allah
dan tidak beriman pula kepada Hari Akhir, dan
beramal shalih. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS
At-Taubah: 29).[3]
Jihad Melawan Nasrani
Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw mengumumkan secara
langsung untuk berangkat perang Tabuk untuk menghadapi kekuatan Nasrani Romawi,
tahun 9 H. Nabi Muhammad saw biasanya tidak mengumumkan secara luas seperti
itu. Namun dalam menghadapi kekuatan Nasrani Romawi, pengumuman pun
dikumandangkan. Hingga pasukan Islam yang berangkat ke Tabuk berjumlah 30.000
orang, sedang para sahabat Nabi saw
untuk membekali para pasukan Islam itu sampai ada yang menyerahkan hartanya
seluruhnya, yaitu Abu Bakar ra. Utsman bin Affan yang dikenal sebagai orang
kaya yang dermawan menyerahkan 900 unta dan seratus kuda serta uang kontan.
Mereka yang hanya mampu menyerahkan kurma sekadarnya lantaran hanya itu milik
mereka pun mereka serahkan untuk berjihad di jalan Allah melawan Nasrani.
Meskipun harta-harta dan kendaraan telah diserahkan oleh para sahabat Nabi saw
secara berlomba-lomba untuk meraih kebajikan, namun karena banyaknya jumlah
pasukan Islam, maka setiap 18 orang hanya kebagian 1 kendaraan unta. Dan itupun
di antara rombongan itu dalam perjalanan terpaksa menyembelih unta mereka untuk
diambil airnya untuk diminum dan dagingnya untuk dimakan. Bahkan kadang mereka
hanya makan daun. Saat itu panas terik.
Selain jumlah 30.000 pasukan Islam itu masih ada
orang-orang Islam yang menangis tidak bisa ikut
memerangi Nasrani Romawi karena tidak punya bekal. Maka Allah menurunkan
ayat, menjelaskan keadaan mereka:
Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka
datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata:
"Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka
kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran
mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS At-Taubah: 92).
Melihat jumlah besar tentara Islam itu maka pasukan Romawi
kocar-kacir, dan tidak terjadi peperangan, sedang sebagian pemimpin kabilah di
bawah Romawi pilih mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad saw dengan
membayar jizyah. (Lihat Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakafuri, Ar-Rahiqul
Makhtum, bab Perang Tabuk).
Ayat-ayat Al-Qur’an dan pelaksanaannya di zaman Nabi
Muhammad saw sejelas itu, dalam kaitannya dengan Ahli Kitab, bahkan tidak ikut
berperang melawan Nasrani Romawi adalah berdosa. Lha kok sekarang ada
orang-orang yang justru sebaliknya, mengusung faham Nasrani, menyamakan Nasrani
dengan Islam, menafikan kekafiran Nasrani dan kafirin lainnya, membolehkan
Nasrani menikahi muslimah dan waris mewarisi dengan Muslim, membolehkan
mendatangi upacara-upacara ibadah Nasrani dan lain-lain. Kalau itu yang
bersuara masih beragama Nasrani sebagaimana di masa Imam Ibnu Taimiyah maka
masih bisa dimaklumi secara perasaan, karena memang secara hawa nafsu perlu
membela diri, walau sudah jelas-jelas salah.
Lha ini sekarang yang menyuara model Nasrani tu justru orang-orang yang
mengaku dirinya Muslim bahkan berlabel cendekiawan Muslim. Ini lakon apa? Dalam
bahasa Arabnya adalah Dajjal, yaitu pendusta. Telah mendustakan ayat-ayat Allah
swt, masih pula mempropagandakan kedustaannya dengan biaya dari kafirin.
Sekarang saya baru bisa memahami, di tahun 1990-an terbit buku yang menghajar kelompok
ini dengan judul Anatomi Budak Kufar tulisan Muhammad Yaqzan di Jakarta
yang artinya adalah uraian tentang jaringan dan pemikiran busuk para budak
orang kafir. Kakak kelas saya yang dulunya di Fakultas Adab IAIN Jogjakarta itu
telah mampu membedah kebusukan pemikiran yang mengantek ke kafirin yang
jaringannya Jogjakarta-Jakarta. Adian Husaini menyebut buku itu sebagai buku
yang dibaca luas di kalangan harakah, maka sebenarnya kebusukan pemikiran
tersebut sudah diketahui celanya oleh sebagian banyak aktivis. Kini justru
lebih jelas lagi, karena mereka bukan sekadar melontarkan ucapan-ucapan aneh di
sana-sini, namun secara beramai-ramai menulis sebuah buku, FLA, hingga lebih
kentara lagi. Tanpa tedeng aling-aling, mereka membuka sendiri bahwa yang membiayai
adalah lembaga yang diketauhi umum sebagai lembaga orang kafir.
[1] Ibnu Taimiyyah, Daqoiqut
Tafsir, juz 2, halaman 70
[2] Ayat 69 di Surat
Al-Maaidah itu hampir sama dengan ayat 62 di Surat Al-Baqarah: Sesungguhnya
orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(QS Al-Baqarah/ 2: 62). Orang Paramadina mencantumkan yang Surat Al-baqarah:
62.
[3] Ibnu Taimiyyah, Daqoiqut
Tafsir, juz 2, halaman 70-72.
mudahnya mengatakan orang lain atau kelompok lain yang tak sejalan dengan pemahaman kita denga sebutan KAFIR..dll. :)
BalasHapusandai penulis mengetahui apa itu dajjal, saya sangat meyakini saudara penulis tiak akan berani menuduh siapapun denagn sebutan dajjal. :)
BalasHapus