Syaikh
Muhammad Al-Ghazali ulama internasional di Mesir menyayangkan orang Arab dan
umat Islam atas kurang gigihnya bekerja hingga hari kerjanya hanya dipakai
selama sepertiga sampai setengah jam. Padahal, katanya, hari kerja di Eropa,
Amerika, dan Jepang itu 8 jam.
Ulama yang kitab karangannya
tersebar ke seluruh penjuru dunia ini mengemukakan keprihatinannya itu menjawab
pertanyaan wartawan Majalah Al-Khairiyah Kuwait no 48/ 1414H yang
menanyakan: Dunia Islam menderita krisis politik, ekonomi, sosial yang sangat
mencekik, bagaimana jalan keluarnya.
Menurut
Syaikh Al-Ghazali, Dunia Islam wajib bekerja keras agar sukses. Kalau kaum
Muslimin dalam keadaan leha-leha atau malas maka pasti akan dihukum oleh
kodrat. Oleh karena itu petani Muslim wajib meningkatkan pertaniannya sampai
hasil panennya baik dan berlipat ganda, sedang Muslimin yang bekerja di
lapangan-lapangan lain hendaknya bekerja keras.
Mengenai
krisis politik, Syaikh Al-Ghazali penulis Fiqh Siroh (Sejarah Nabi
Muhammad SAW) ini mengemukakan, penguasa adalah cerminan masyarakat. Maka
apabila masyarakat ingin bebas untuk hidup dalam kemuliaan Islam, wajib atas
masyarakat itu memegang teguh Islam tanpa meninggalkannya sedikitpun. Syaikh
Al-Ghazali mengemukakan usahanya untuk mengembalikan hal yang telah pernah
sampai pada Muslimin dulu yakni berlakunya hukum --yang diturunkan Allah-- di
seluruh negeri umat Islam.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang produktif
menulis ini jagoan juga dalam berdebat. Setidaknya beliau telah dua kali
berdebat secara resmi dengan kelompok ilmaaniyah
(sekular). Pertama, tahun 1989, Darul Hikmah (lembaga di bawah Ikatan Dokter
Mesir) menyelenggarakan debat Islam dan
Sekular. Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qorodhowi dari pihak Islam,
berhadapan dengan kubu sekular yang saat itu tampil Dr Fuad Zakariya. Debat
kedua, 1992, diadakan oleh Asosiasi Penulis Mesir pimpinan Dr Samir Sarhan,
dihadiri 30.000 hadirin. Wakil pihak Islam Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad
Al-Ma'mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah
berhadapan dengan kelompok sekular diwakili Dr Muhammad Khalafallah[1]
dan Dr Faraq Fouda. Hasilnya disebarkan ke seluruh dunia, di antaranya di Indonesia
diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta dengan judul Debat
Islam-Sekular.
Tokoh Sekuler, Dr. Faraq Fouda Dibunuh
Perdebatan
itu tidak berhenti begitu saja. Syaikh Muhammad Al-Ghazali didatangkan lagi di
dalam pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam) Juli 1993 di Mesir atas kasus
terbunuhnya tokoh sekular Dr Faraq Fouda, 8 Juni 1992. Kesaksian Syaikh
Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekular, karena menurut
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sekular itu hukumnya adalah keluar dari Islam.
Syaikh
Al-Ghazali ditanya Majalah Al-Khoiriyah: Anda cukup lama menolak
kebohongan orang sekular terhadap Islam, apa sebenarnya mereka itu?
Jawab
Syaikh Al-Ghazali: Mereka itu adalah manusia yang telah keluar dari Islam
secara nyata. Kalau toh kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di
dalam rumah-rumah mereka, maka kami tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kami
tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di
jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi
sholat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan
kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim,
pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap
wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan
mereka.
Dalam
perdebatan dengan kaum sekular yang dihadiri 30.000 pengunjung 1992, Syaikh
Al-Ghazali mengemukakan tentang sempoyongannya peradaban Barat. "Mereka
berjalan sempoyongan dan tidak dapat keluar dari kegelapan dan kemuraman
kecuali setelah mereka memboyong peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan
Umawiyah, Abbasiyah, dan Turki. Mereka ambil 'abjad-abjad', lalu mereka rangkai
dan susun kata dan kalimat darinya," tuturnya.
Dalam
hal kehidupan masyarakat, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan, minoritas Kristen
Koptik yang ada di tengah Muslimin Mesir adalah kelompok minoritas yang paling
bahagia di dunia ini. Mereka telah memperoleh segala hal yang mereka inginkan,
baik yang berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrowi. Bahkan ada yang
menjadi sekjen PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). "Apakah ada kelompok
minoritas di dunia ini yang hidup di bawah naungan mayoritas kaum Yahudi dan
Kristen yang anda jumpai seperti kehidupan sosial dalam naungan mayoritas
Muslim ini?" sergah Syaikh Al-Ghazali.
Kehidupan
sosial seperti ini, menurutnya, tidak lain tumbuh dari warisan peradaban Islam
yang kita fahami dari agama kita, Kitab Suci kita, dan dari Sunnah Nabi kita;
bahwa seluruh penduduk negeri berada dalam perlindungan dan amanah kita.
Oleh
karena itu Syaikh Al-Ghazali mengingatkan kepada Umat agar digalang betul
tentang pentingnya persatuan Islam di seluruh negeri dengan cara memegang teguh
aqidah dan syari'ah Islam. Dengan demikian Muslimin merasa bersaudara secara
internasional dan tahu betul bahwa dipecah-pecahnya umat Islam itu adalah
program penjajah. Apabila umat Islam kembali pada agamanya, maka program semu
yang digariskan para penjajah itu akan luntur dengan sendirinya.[2]
Peristiwa
Pengedaran Brosur Bantahan Lontaran Nurcholish Madjid yang Mengutip Ibnu Arabi
Bahwa Iblis Kelak Akan Masuk Surga[3]
[1] Tulisannya
jadi rujukan pula di kalangan Tim Penulis Paramadina di Jakarta yang menyusun buku Fiqih Lintas
Agama.
[2] Ditampilkannya
kembali pendapat almarhum Syaikh Muhammad Al-Ghazali (yang sudah kami muat di
buku Bila Hak Muslimin Dirampas, 1994/ 1415H) ini untuk mengingatkan
bahwa di tahun 1990-an telah terjadi pertentangan yang dahsyat di Mesir antara
dua kelompok, Islamiyyun dan ‘ilmaniyyun (sekuler). Kemudian di antara
orang Indonesia yang belajar di Mesir ada yang mengais-ngais rimah-rimah sampah
pemikiran tokoh sekuler di sana dan diusung ke Indonesia, di antaranya ada yang
tergabung dalam Tim 9 Penulis Paramadina yang membuat buku Fiqih Lintas
Agama, 2003. Menampilkan kembali pendapat almarhum Syaikh Muhammad
Al-Ghazali ini tidak berarti mengagungkannya atau lebih-lebih menyetujui semua
pendapat beliau dalam buku-bukunya. Tidak. Karena sebaigamana dimaklumi, selain
al-ma’shum (Nabi Muhammad saw), perkataannya boleh diterima dan boleh
ditolak, menurut Imam Malik. Jadi dalam kaitan kasus pertentangan antara
Islamiyyun dan ‘ilmaniyyun (sekuler), bagaimanapun kenyataan sejarah ini
tidak bisa dinafikan, dan dalam pembahasan ini penulis anggap sangat relevan
untuk mengingatkan peristiwa di dunia Islam yang masih berlangsung sampai kini.
Nurcholish
Madjid menimbulkan kasus 23 Januari 1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin
di Jakarta. Saat itu ada pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim,
berbunyi: “Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah
menyuruhnya. Bukankah
sujud hanya boleh kepada Allah?” Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin pengajian
itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu
majalah yang terbit di Damascus, Syria, bahwa:
“Iblis
kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau
sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni.”
Nurcholis juga mengatakan, “Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih
banyak membaca mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi
antara lain yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi
surganya, itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu
tingkat iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak.” (lihat
buku/ brosur Jawaban Tuntas untuk Dr. Nurcholish Madjid tentang Ibnu Arabi
dan Setan Masuk Surga, Yayasan Islam Al-Qalam, 1407 H, hlm. 20). (Brosur
jawaban terhadap Nurcholish Madjid inilah yang kisah penyebarannya di
Paramadina diceritakan dalam judul tulisan ini: Peristiwa Pengedaran Brosur
Bantahan Lontaran Nurcholish Madjid yang mengutip Ibnu Arabi bahwa Iblis Kelak
Akan Masuk Surga.)
Demikianlah jawaban Nurcholish Madjid. Mari
kita perbandingkan jawaban itu dengan pendapat para ulama, terutama mengenai
siapa dan bagaimanakah sebenarnya pemahaman Ibnu Arabi itu.
Siapakah
Ibnu Arabi itu?
Ibnu Arabi,
nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Ali Muhyiddin Al-Hatimi At-Thai
Al-Andalusi, dikenal dengan Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi
(Muhyiddin) dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17
Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, dan mati di Damaskus, Rabi’ul Tsani 638
H/Oktober 1240 M. Inti ajarannya didasarkan atas teori wihdatul wujud
(satunya wujud, semua wujud di alam ini adalah –cerminan—Allah) yang menghasilkan
wihdatul adyan (satunya agama, tauhid maupun syirik).
Di antara ajaran
Ibnu Arabi adalah:
-
Hamba adalah Tuhan (tercantum dalam
kitab Ibnu Arabi, Fushush Al-Hikam, 92-93)
-
Neraka adalah surga itu sendiri (Fushush
Al-Hikam, 93-94).
-
Perbuatan hamba
adalah perbuatan Allah itu sendiri. (Fushush Al-Hikam 143).
-
Fir’aun adalah
mu’min dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush
Al-Hikam, 181).
-
Wanita adalah Tuhan (Fushush Al-Hikam,
216).
-
Fir’aun adalah Tuhan Musa. (Fushush
Al-Hikam, 209).
-
Semua ini adalah
Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah
manusia besar. (Fushush Al-Hikam, 48).
-
Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush
Al-Hikam, 58-59).
Oleh karena
sebegitu drastisnya penyimpangan yang ditampilkan Ibnu Arabi, maka 37 ulama
telah mengkafirkannya atau memurtadkannya. Di antara yang mengkafirkan Ibnu
Arabi itu adalah ulama-ulama besar yang dikenal sampai kini:
-
Ibnu Daqieq Al-‘Ied (w 702 H).
-
Ibnu Taimiyah (w 728 H).
-
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w 751 H).
-
Qadhi ‘Iyadh (w 744 H).
-
Al-‘Iraqi (w 826 H).
-
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w 852 H).
-
Al-Jurjani (w 814 H).
-
Izzuddin Ibn Abdis Salam (w 660 H).
-
An-Nawawi (w 676 H).
-
Adz-Dzahabi (w 748 H).
-
Al-Bulqini (w 805 H).[3]
Mengenai iblis dan Fir’aun masuk surga
seperti yang dicantumkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya, Fushush Al-Hikam,
itu jelas sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Iblis dan
pengikut-pengikutnya dimasukkan dalam neraka, ditegaskan dalam ayat:
“Dan berkatalah setan, tatkala perkara
(hisab) telah diselesaikan, ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu
janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku
menyelisihinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan
(sekadar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu
janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamu pun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat
siksaan yang pedih.” (Ibrahim: 22)
Setan di sini
adalah iblis menurut ijma’ para mufassirin salaf (tiga generasi awal: sahabat,
tabi’in, dan tabi’it tabi’in). Arti wamaa antum bimushrikhi
adalah kamu tidak dapat membebaskanku dan menyelamatkanku. Itu artinya iblis
adalah bersama mereka di neraka.
Dalam Mukhtashar Tafsir At-Thabari, juz
1, hlm. 430-431, dijelaskan:
Dan
iblis berkata ketika telah selesai perkara (hisab), maka ahli surga dimasukkan
ke surga dan ahli neraka dimasukkan ke neraka:
“Allah telah menjanjikan kepada kalian janji
untuk memasukkan neraka kepada orang-orang kafir, maka Dia memenuhi janji-Nya,
dan aku (iblis) telah menjanjikan pertolongan, lalu aku selisihi janjiku, dan
tidak ada bagiku atas kalian alasan tetapnya kebenaran ucapanku, tetapi aku
telah mengajak kalian untuk bermaksiat kepada Allah, lalu kalian kabulkan
ajakanku, maka kalian jangan mencelaku atas pengabulan kalian terhadap
(ajakan)ku, dan cercalah diri-diri kalian sendiri atasnya. Aku tidak bisa
menolong dan menyelamatkan kalian dari adzab Allah, dan kalian tidak bisa juga
menolongku dari adzab-Nya. Sesungguhnya aku membantah terhadap kalian yang
menyekutukanku dengan Allah di dunia.”
(Ini --perkataan iblis-- khusus hanya berada pada sisi ketetapan ahli
neraka di neraka, maka iblis berdiri khutbah di hadapan mereka --ahli neraka--
untuk menambahi kesedihan kepada mereka, dan ini adalah khutbah batao’
yang iblis di dalam neraka itu mengumumkan kepada pengikut-pengikutnya hakekat
perkara sebenarnya, dan ia membenarkan di dalam neraka itu bahwa ia dulu adalah
penipu terhadap mereka di dunia, --pidato iblis ini-- untuk menambah kesedihan dan
kepedihan.). Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir terhadap Allah itu adzab
yang sangat menyakitkan.
Di situ iblis jelas masuk neraka dan tidak
bisa menolong orang-orang yang telah ditipunya. Bagaimana akal bisa menerima
paham Ibnu Arabi bahwa iblis masuk surga? Orang-orang yang ditipu saja jelas masuk neraka, apalagi yang menipunya.
Kalau yang menipu justru masuk surga,
maka berarti menipu itu adalah ibadah. Itu adalah pemikiran Setan.
Sedang keyakinan Ibnu Arabi dan kaum shufi bahwa Fir’aun
masuk surga, perlu dibantah pula dengan ayat. Karena, biar akar pemikiran
Nurcholish yang menafsirkan ayat pakai
paham shufi itu sekalian tuntas
diketahui salahnya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi
dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat):
Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (Al-Mukmin: 46)
Demikianlah,
betapa jauhnya penyelewengan pemahaman shufi sesat, tanpa menggubris ayat.
Namun justru Nurcholish Madjid merujuk pemahaman shufi sesat itu dalam menjawab
pertanyaan, hingga dia siarkan bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Itulah
kampanye model Iblis. (Dipetik dari buku Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, dalam bab Tulisan Nurcholish Madjid Berbahaya Merujuk ke
Tasawuf Sesat, dengan sedikit modifikasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar