Sabtu, 28 April 2012

Syaikh Muhammad Al-Ghazali: “Orang Sekular Itu Murtad”


Syaikh Muhammad Al-Ghazali ulama internasional di Mesir menyayangkan orang Arab dan umat Islam atas kurang gigihnya bekerja hingga hari kerjanya hanya dipakai selama sepertiga sampai setengah jam. Padahal, katanya, hari kerja di Eropa, Amerika, dan Jepang itu 8 jam.

Ulama yang kitab karangannya tersebar ke seluruh penjuru dunia ini mengemukakan keprihatinannya itu menjawab pertanyaan wartawan Majalah Al-Khairiyah Kuwait no 48/ 1414H yang menanyakan: Dunia Islam menderita krisis politik, ekonomi, sosial yang sangat mencekik, bagaimana jalan keluarnya.

Menurut Syaikh Al-Ghazali, Dunia Islam wajib bekerja keras agar sukses. Kalau kaum Muslimin dalam keadaan leha-leha atau malas maka pasti akan dihukum oleh kodrat. Oleh karena itu petani Muslim wajib meningkatkan pertaniannya sampai hasil panennya baik dan berlipat ganda, sedang Muslimin yang bekerja di lapangan-lapangan lain hendaknya bekerja keras.

Mengenai krisis politik, Syaikh Al-Ghazali penulis Fiqh Siroh (Sejarah Nabi Muhammad SAW) ini mengemukakan, penguasa adalah cerminan masyarakat. Maka apabila masyarakat ingin bebas untuk hidup dalam kemuliaan Islam, wajib atas masyarakat itu memegang teguh Islam tanpa meninggalkannya sedikitpun. Syaikh Al-Ghazali mengemukakan usahanya untuk mengembalikan hal yang telah pernah sampai pada Muslimin dulu yakni berlakunya hukum --yang diturunkan Allah-- di seluruh negeri umat Islam.

     Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang produktif menulis ini jagoan juga dalam berdebat. Setidaknya beliau telah dua kali berdebat secara resmi dengan kelompok  ilmaaniyah (sekular). Pertama, tahun 1989, Darul Hikmah (lembaga di bawah Ikatan Dokter Mesir) menyelenggarakan debat  Islam dan Sekular. Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qorodhowi dari pihak Islam, berhadapan dengan kubu sekular yang saat itu tampil Dr Fuad Zakariya. Debat kedua, 1992, diadakan oleh Asosiasi Penulis Mesir pimpinan Dr Samir Sarhan, dihadiri 30.000 hadirin. Wakil pihak Islam Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma'mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah  berhadapan dengan kelompok sekular diwakili Dr Muhammad Khalafallah[1] dan Dr Faraq Fouda. Hasilnya disebarkan ke seluruh dunia, di antaranya di Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta dengan judul Debat Islam-Sekular.
    

Tokoh Sekuler, Dr. Faraq Fouda Dibunuh


Perdebatan itu tidak berhenti begitu saja. Syaikh Muhammad Al-Ghazali didatangkan lagi di dalam pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam) Juli 1993 di Mesir atas kasus terbunuhnya tokoh sekular Dr Faraq Fouda, 8 Juni 1992. Kesaksian Syaikh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekular, karena menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sekular itu hukumnya adalah keluar dari Islam. 

Syaikh Al-Ghazali ditanya Majalah Al-Khoiriyah: Anda cukup lama menolak kebohongan orang sekular terhadap Islam, apa sebenarnya mereka itu?

Jawab Syaikh Al-Ghazali: Mereka itu adalah manusia yang telah keluar dari Islam secara nyata. Kalau toh kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di dalam rumah-rumah mereka, maka kami tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kami tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi sholat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim, pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan mereka.

Dalam perdebatan dengan kaum sekular yang dihadiri 30.000 pengunjung 1992, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan tentang sempoyongannya peradaban Barat. "Mereka berjalan sempoyongan dan tidak dapat keluar dari kegelapan dan kemuraman kecuali setelah mereka memboyong peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Umawiyah, Abbasiyah, dan Turki. Mereka ambil 'abjad-abjad', lalu mereka rangkai dan susun kata dan kalimat darinya," tuturnya.

Dalam hal kehidupan masyarakat, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan, minoritas Kristen Koptik yang ada di tengah Muslimin Mesir adalah kelompok minoritas yang paling bahagia di dunia ini. Mereka telah memperoleh segala hal yang mereka inginkan, baik yang berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrowi. Bahkan ada yang menjadi sekjen PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). "Apakah ada kelompok minoritas di dunia ini yang hidup di bawah naungan mayoritas kaum Yahudi dan Kristen yang anda jumpai seperti kehidupan sosial dalam naungan mayoritas Muslim ini?" sergah Syaikh Al-Ghazali.

Kehidupan sosial seperti ini, menurutnya, tidak lain tumbuh dari warisan peradaban Islam yang kita fahami dari agama kita, Kitab Suci kita, dan dari Sunnah Nabi kita; bahwa seluruh penduduk negeri berada dalam perlindungan dan amanah kita.

Oleh karena itu Syaikh Al-Ghazali mengingatkan kepada Umat agar digalang betul tentang pentingnya persatuan Islam di seluruh negeri dengan cara memegang teguh aqidah dan syari'ah Islam. Dengan demikian Muslimin merasa bersaudara secara internasional dan tahu betul bahwa dipecah-pecahnya umat Islam itu adalah program penjajah. Apabila umat Islam kembali pada agamanya, maka program semu yang digariskan para penjajah itu akan luntur dengan sendirinya.[2]

Peristiwa Pengedaran Brosur Bantahan Lontaran Nurcholish Madjid yang Mengutip Ibnu Arabi Bahwa Iblis Kelak Akan Masuk Surga[3]


[1] Tulisannya jadi rujukan pula di kalangan Tim Penulis Paramadina  di Jakarta yang menyusun buku Fiqih Lintas Agama.
[2] Ditampilkannya kembali pendapat almarhum Syaikh Muhammad Al-Ghazali (yang sudah kami muat di buku Bila Hak Muslimin Dirampas, 1994/ 1415H) ini untuk mengingatkan bahwa di tahun 1990-an telah terjadi pertentangan yang dahsyat di Mesir antara dua kelompok, Islamiyyun dan ‘ilmaniyyun (sekuler). Kemudian di antara orang Indonesia yang belajar di Mesir ada yang mengais-ngais rimah-rimah sampah pemikiran tokoh sekuler di sana dan diusung ke Indonesia, di antaranya ada yang tergabung dalam Tim 9 Penulis Paramadina yang membuat buku Fiqih Lintas Agama, 2003. Menampilkan kembali pendapat almarhum Syaikh Muhammad Al-Ghazali ini tidak berarti mengagungkannya atau lebih-lebih menyetujui semua pendapat beliau dalam buku-bukunya. Tidak. Karena sebaigamana dimaklumi, selain al-ma’shum (Nabi Muhammad saw), perkataannya boleh diterima dan boleh ditolak, menurut Imam Malik. Jadi dalam kaitan kasus pertentangan antara Islamiyyun dan ‘ilmaniyyun (sekuler), bagaimanapun kenyataan sejarah ini tidak bisa dinafikan, dan dalam pembahasan ini penulis anggap sangat relevan untuk mengingatkan peristiwa di dunia Islam yang masih berlangsung sampai kini.

[3] Sesatnya Ucapan Nurcholish Madjid: “Iblis Kelak Akan Masuk Surga
   Nurcholish Madjid menimbulkan kasus 23 Januari 1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: “Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?” Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria, bahwa:
“Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni.” Nurcholis juga mengatakan, “Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya, itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu tingkat iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak.” (lihat buku/ brosur Jawaban Tuntas untuk Dr. Nurcholish Madjid tentang Ibnu Arabi dan Setan Masuk Surga, Yayasan Islam Al-Qalam, 1407 H, hlm. 20). (Brosur jawaban terhadap Nurcholish Madjid inilah yang kisah penyebarannya di Paramadina diceritakan dalam judul tulisan ini: Peristiwa Pengedaran Brosur Bantahan Lontaran Nurcholish Madjid yang mengutip Ibnu Arabi bahwa Iblis Kelak Akan Masuk Surga.)
   Demikianlah jawaban Nurcholish Madjid. Mari kita perbandingkan jawaban itu dengan pendapat para ulama, terutama mengenai siapa dan bagaimanakah sebenarnya pemahaman Ibnu Arabi itu.
     Siapakah Ibnu Arabi itu?
     Ibnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Ali Muhyiddin Al-Hatimi At-Thai Al-Andalusi, dikenal dengan Ibnu Arabi.  
   Ibnu Arabi (Muhyiddin) dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, dan mati di Damaskus, Rabi’ul Tsani 638 H/Oktober 1240 M. Inti ajarannya didasarkan atas teori wihdatul wujud (satunya wujud, semua wujud di alam ini adalah –cerminan—Allah) yang menghasilkan wihdatul adyan (satunya agama, tauhid maupun syirik).
   Di antara ajaran Ibnu Arabi adalah:
-          Hamba adalah Tuhan (tercantum dalam kitab Ibnu Arabi, Fushush Al-Hikam, 92-93)
-          Neraka adalah surga itu sendiri (Fushush Al-Hikam, 93-94).
-          Perbuatan hamba adalah perbuatan Allah itu sendiri. (Fushush Al-Hikam 143).
-          Fir’aun adalah mu’min dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush Al-Hikam, 181).
-          Wanita adalah Tuhan (Fushush Al-Hikam, 216).
-          Fir’aun adalah Tuhan Musa. (Fushush Al-Hikam, 209).
-          Semua ini adalah Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah manusia besar. (Fushush Al-Hikam, 48).
-          Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush Al-Hikam, 58-59).
     Oleh karena sebegitu drastisnya penyimpangan yang ditampilkan Ibnu Arabi, maka 37 ulama telah mengkafirkannya atau memurtadkannya. Di antara yang mengkafirkan Ibnu Arabi itu adalah ulama-ulama besar yang dikenal sampai kini:
-          Ibnu Daqieq Al-‘Ied  (w 702 H).
-          Ibnu Taimiyah (w 728 H).
-          Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w 751 H).
-          Qadhi ‘Iyadh (w 744 H).
-          Al-‘Iraqi (w 826 H).
-          Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w 852 H).
-          Al-Jurjani (w 814 H).
-          Izzuddin Ibn Abdis Salam (w 660 H).
-          An-Nawawi (w 676 H).
-          Adz-Dzahabi (w 748 H).
-          Al-Bulqini (w 805 H).[3]
   Mengenai iblis dan Fir’aun masuk surga seperti yang dicantumkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya, Fushush Al-Hikam, itu jelas sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Iblis dan pengikut-pengikutnya dimasukkan dalam neraka, ditegaskan dalam ayat:
 Dan berkatalah setan, tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyelisihinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.’ Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (Ibrahim: 22)
   Setan di sini adalah iblis menurut ijma’ para mufassirin salaf (tiga generasi awal: sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in). Arti wamaa antum bimushrikhi adalah kamu tidak dapat membebaskanku dan menyelamatkanku. Itu artinya iblis adalah bersama mereka di neraka.
 Dalam Mukhtashar Tafsir At-Thabari, juz 1, hlm. 430-431,  dijelaskan:
Dan iblis berkata ketika telah selesai perkara (hisab), maka ahli surga dimasukkan ke surga dan ahli neraka dimasukkan ke neraka:
 “Allah telah menjanjikan kepada kalian janji untuk memasukkan neraka kepada orang-orang kafir, maka Dia memenuhi janji-Nya, dan aku (iblis) telah menjanjikan pertolongan, lalu aku selisihi janjiku, dan tidak ada bagiku atas kalian alasan tetapnya kebenaran ucapanku, tetapi aku telah mengajak kalian untuk bermaksiat kepada Allah, lalu kalian kabulkan ajakanku, maka kalian jangan mencelaku atas pengabulan kalian terhadap (ajakan)ku, dan cercalah diri-diri kalian sendiri atasnya. Aku tidak bisa menolong dan menyelamatkan kalian dari adzab Allah, dan kalian tidak bisa juga menolongku dari adzab-Nya. Sesungguhnya aku membantah terhadap kalian yang menyekutukanku dengan Allah di dunia.”  (Ini --perkataan iblis-- khusus hanya berada pada sisi ketetapan ahli neraka di neraka, maka iblis berdiri khutbah di hadapan mereka --ahli neraka-- untuk menambahi kesedihan kepada mereka, dan ini adalah khutbah batao’ yang iblis di dalam neraka itu mengumumkan kepada pengikut-pengikutnya hakekat perkara sebenarnya, dan ia membenarkan di dalam neraka itu bahwa ia dulu adalah penipu terhadap mereka di dunia, --pidato iblis ini-- untuk menambah kesedihan dan kepedihan.). Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir terhadap Allah itu adzab yang sangat menyakitkan.
    Di situ iblis jelas masuk neraka dan tidak bisa menolong orang-orang yang telah ditipunya. Bagaimana akal bisa menerima paham Ibnu Arabi bahwa iblis masuk surga? Orang-orang yang ditipu saja jelas masuk neraka, apalagi yang menipunya. Kalau yang menipu justru masuk  surga, maka berarti menipu itu adalah ibadah. Itu adalah pemikiran Setan.
Sedang keyakinan Ibnu Arabi dan kaum shufi bahwa Fir’aun masuk surga, perlu dibantah pula dengan ayat. Karena, biar akar pemikiran Nurcholish yang menafsirkan ayat  pakai paham shufi itu  sekalian tuntas diketahui salahnya.
   Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 “Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (Al-Mukmin: 46)
   Demikianlah, betapa jauhnya penyelewengan pemahaman shufi sesat, tanpa menggubris ayat. Namun justru Nurcholish Madjid merujuk pemahaman shufi sesat itu dalam menjawab pertanyaan, hingga dia siarkan bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Itulah kampanye model Iblis. (Dipetik dari buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dalam bab Tulisan Nurcholish Madjid Berbahaya Merujuk ke Tasawuf Sesat, dengan sedikit modifikasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar