FLA Memlintir Pernyataan Ibnu Taimiyah
“Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).
Ayat itu merupakan perintah untuk
memerangi Ahli Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan
hina. Dalam prakteknya, Nabi Muhammad saw memungut jizyah pula kepada
orang-orang Majusi dan bersabda:
“Perlakukanlah mereka sebagaimana
perlakuan terhadap Ahli Kitab.”
Dari celah-celah ini firqah liberal
dalam hal ini tim penulis Paramadina yang menulis buku Fiqih Lintas Agama mengambil
kesempatan untuk memasukkan orang Majusi sebagai Ahli Kitab. Dalam mengangkat
Majusi menjadi Ahli Kitab itu di antaranya mereka menempuh jalan memlintir
pernyataan Imam Ibnu Taimiyah.
Langkah-langkah
untuk menyamakan semua agama dan praktrek fiqihnya
Sebelum kami uraikan plintiran tim
Paramadina dalam FLA-nya terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah, perlu kami
gambarkan cara-cara licik mereka untuk memlintir-mlintir Islam disamakan dengan
agama lain. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:
1. Mensahkan
agama-agama lain selain Islam sebagai agama-agama yang selamat, sehingga
kedudukannya sejajar dengan Islam, dan selamat semuanya. Ini mereka namai
teologi inklusif pluralis. Ayat yang mereka plintir di antaranya QS Al-Baqarah/
2: 62. (lihat FLA 249, atau kutipan di buku kami ini dalam judul Memainkan
Ayat, Menirukan Nasrani).
2. Setelah
mereka mendudukkan Ahli Kitab sejajar dengan Islam dan agamanya sah juga,
selamat juga, (padahal menurut Al-Qur’an QS Ali Imran ayat 85, selain Islam
maka tidak diterima Allah, dan di akherat termasuk orang-orang yang
merugi); lalu mereka mendudukkan orang
Majusi sebagai Ahli Kitab juga, dengan cara memlintir QS 2; 62 itu pula. (Lihat
FLA halaman 49), dan juga memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah yang akan
dibicarakan di sini.
3. Setelah
Majusi dinaikkan sebagai Ahli Kitab, lalu agama-agama lain dinaikkan pula
sebagai Ahli Kitab dengan dalih ungkapan-ungkapan Rasyid Ridha dalam tafsirnya,
al-Manar (lihat FLA, halaman
51-52).. Padahal Rasyid Ridha yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab
dengan landasan hadits dari Ali bin Abi Thalib itu riwayatnya dipersoalkan
keshahihannya dalam kitab-kitab, dan dinilai tidak shahih.
4. Kemudian
dalam hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti
keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”.
Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan
wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu,
di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam
tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang
terlarang.” (FLA, halaman 164). Penulis FLA itu jelas telah menyembunyikan QS
Al-Mumtahanah/60: 10: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 60:10). Orang-orang Ahli Kitab
itu adalah termasuk orang-orang kafir, karena dalam Al-Qur’an yang disebut
kafir itu adalah orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Itu ditegaskan
dalam QS Al-Bayyinah: 6: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab
dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).
5. Setelah
pernikahan muslimah dengan lelaki Ahli Kitab bahkan agama-agama lain yang telah
mereka angkat sebagai Ahli kitab mereka perbolehkan dengan cara menyembunyikan
ayat dan memlintir dalil, lalu mereka bolehkan pula waris mewarisi antara
Muslim dengan kafirin. Di antaranya ada dua dalih yang mereka bikin-bikin:
a. Dan
logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan
dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. (FLA,
halaman 167). Sanggahan terhadap pernyataan ini ada di bagian lain di buku kami
ini, yang intinya bahwa ungkapan “Islam mempersilahkan pernikahan dengan agama
lain” itu ungkapan bikin-bikinan yang rancu. Lalu dijadikan landasan untuk
waris beda agama dengan disebut otomatis dibolehkan. Pertanyaan yang perlu
diajukan kepada mereka: Islam melarang ayah menikahi anak perempuannya. Apakah
otomatis anak perempuan dilarang mewaris harta ayahnya, lantaran Islam melarang
menikah? Rusaklah kalau cara berfikirnya seperti itu.
b. Sedangkan
hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya,
yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila
hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara
otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan. (FLA halaman 167).
Sanggahan: Hadits yang dimaksud adalah shahih, bahkan Muttafaq ‘alaih. Mereka
tidak membantah keshahihannya, namun langsung membatalkannya, hanya beralasan semangat
zamannya. Kalau kondusif otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan.
Apakah ada larangan yang sudah jelas dan tegas, kemudian cukup dibatalkan
dengan alasan “kondusif” seperti itu? Nanti orang akan berkata, larangan zina
itu ketika suasananya tidak kondusif. Kalau kondusif maka larangan itu tidak
bisa digunakan. Rusaklah agamanya, kalau model Paramadina ini.
Tahap-tahap yang mereka tempuh tu semuanya keropos. Dan
marilah kita buktikan bahwa mereka itu memlintir pernyataan Ibnu Taimiyah, sebagai
berikut.
Menaikkan Majusi Jadi Ahli Kitab dengan Memlintir Ibnu Taimiyah
Kutipan:
“…
penggunaan perkataan : “Ahli Kitab” untuk merujuk pada Yahudi dan Nasrani
dikarenakan adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka; dan tambahan
sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli
Kitab selain mereka.” (FLA halaman 50).
(Kemudian untuk menguatkan pernyataan mereka ini mereka
comot pernyataan Imam Ibnu Taimiyah sebagai landasan yang dikesankan seakan
mendukung pernyataan kelompok Paramadinah liberal ini. Mereka nyatakan):
“Sehubungan dengan ini, Ibnu Taimiyah dalam Minhaj
al-Sunnah menuturkan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak
orang yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi
seperti kaum Ahli Kitab.
… Karena itulah Nabi bersabda tentang kaum Majusi,
“Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab”, dan beliau
pun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang di kalangan mereka ada kaum
Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal
ini.” (FLA, halaman 50, mengutip Minhaj al-Sunnah).
Tanggapan:
Pengutipan
pernyataan Ibnu Taimiyah itu berbeda dengan maksud yang dimaui oleh Ibnu
Taimiyah. Sama sekali Ibnu Taimiyah tidak memaksudkan bahwa Majusi itu termasuk
Ahli Kitab. Kelompok Paramadina dengan FLA-nya ini telah mengadakan kebohongan
publik dengan cara memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu,
berikut ini kami kutip seperlunya, agar bisa dibedakan antara maksud Imam Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah itu, dan agar terlihat betapa
tidak jujurnya secara keilmuan apa yang dilaukan oleh kelompok Paramadina.
Ungkapan Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Minhajus Sunnah
juz 8 halaman 514 dan selanjutnya sebagai berikut:
Setelah
Allah memerintahkan untuk memerangi ahli kitab sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk, maka Nabi saw memungut jizyah[1]
dari orang Majusi. Orang-orang Muslim bersepakat atas pemungutan jizyah dari
Ahli Kitab dan Majusi. Para ulama berselisih mengenai kafir-kafir lainnya dalam
3 pendapat.
1.
Dikatakan,
semua mereka (kafirin) diperangi setelah (turunnya ayat) itu sehingga mereka
memberikan jizyah dalam keadaan tunduk apabila mereka tidak masuk Islam, inilah
pendapat Imam Malik.
2.
Dikatakan,
musyrikin Arab dikecualikan dari yang demikian itu, ini pendapat Abu Hanifah
dan Ahmad dalam salah satu dari dua
riwayat.
3.
Dikatakan
hal itu khusus pada ahli kitab, dan orang yang memiliki semacam kitab (syubhatu kitab), ini pendapat Syafi’i dan Ahmad dalam riwayat yang lain.[2]
Pendapat pertama dan kedua itu
bersesuaian dalam makna, karena ayat jizyah belum turun kecuali setelah usai
Nabi saw dari perang dengan musyrikin Arab. Akhir peperangannya dengan Arab
adalah Perang Thaif, dan itu adalah setelah perang Hunain, sedang Perang Hunain
adalah setelah Fathu Makkah, dan semua itu terjadi tahun 8 Hijriyah. Pada
tahun kesembilan, beliau memerangi Nashrani pada Tahun (Perang) Tabuk, dan
dalam tahun (kesembilan Hijriyah) itulah turun surat Baro’ah (at-Taubah), dan
di dalamnya ada perintah untuk memerangi (Nasrani) sehingga mereka
memberikan jizyah dan dalam keadaan tunduk. Dan Nabi saw ketika mengutus amir
atas tentara atau peperangan maka beliau memerintahkannya agar memerangi mereka
sehingga mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim dalam kitab shahihnya.[3]
Dan Nabi saw berdamai dengan Nasrani Najran di atas (pembayaran) jizyah
sedang mereka adalah orang yang membayar jizyah, dan mengenai mereka (Nasrani
Najran) lah Allah menurunkan permulaan surat Ali Imran.
Ketika tahun 9 Hijriyah, Nabi
saw meniadakan musyrikin dari Masjidil
Haram, menyingkirkan ikatan-ikatan/ janji kepada mereka, dan Allah Ta’ala
memerintahkannya untuk memerangi mereka, dan orang-orang musyrikin Arab masuk
Islam semuanya, maka tidak tersisa seorang musyrik mu’ahid (di bawah janji)
pun, tidak karena jizyah dan tidak karena lainnya.[4]
Sebelum itu beliau mengadakan perjanjian
dengan mereka (musyrikin Arab) tanpa jizyah. Lalu (persoalannya), tidak adanya
pemungutan jizyah atas mereka (musyrikin Arab) itu apakah karena tidak
tersisa lagi dari mereka orang yang (harus) diperangi hingga memberikan jizyah
lantaran mereka telah masuk Islam semua ---karena mereka melihat bagusnya
Islam, dan kemenangannya, dan (melihat) kotornya kemusyrikan yang dulu ada pada
mereka, dan mencabut (kewajiban) memberikan jizyah dari mereka dalam keadaan
hina--, atau karena jizyah tidak boleh dipungut dari mereka (musyrikin
Arab) tetapi wajib menyerang mereka sampai (masuk) Islam. Maka berdasarkan
pendapat pertama dipungut (jizyah itu) dari seluruh orang kafir sebagaimana
dikatakan oleh mayoritas fuqoha’ dan mereka berkata, ketika diperintahkan
untuk memerangi Ahli Kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan
tunduk, dan Allah melarang untuk mengadakan perjanjian dengan mereka (ahli
kitab) tetapi (wajib dengan) jizyah --sebagaimana hukum (jizyah) yang berlaku
sejak semula--, dan ini adalah penegasan bahwa orang-orang yang lebih rendah
dari mereka (ahli kitab) yaitu orang-orang musyrikin lebih utama untuk
tidak diadakan hudnah (perjanjian damai) tanpa jizyah, tetapi diperangi sampai
mereka memberikan jizyah dalam keadaan hina.
Oleh karena itu Nabi saw bersabda
mengenai Majusi:
“Perlakukanlah mereka sebagaimana
perlakuan terhadap ahli kitab”
Dan beliau mengadakan perdamaian dengan
penduduk Bahrain di atas jizyah di dalam mereka itu ada orang Majusinya. Para
khalifahnya (Nabi saw) dan seluruh ulama
Muslimin sepakat dalam hal itu.[5]
Perkara itu pada awal Islam bahwa beliau memerangi kafirin dan mengadakan perjanjian damai dengan mereka tanpa jizyah sebagaimana Nabi saw melaksanakannya sebelum turunnya surat Baro’ah (At-Taubah). Lalu ketika turun Surat Baro’ah, Allah memerintahkan dalam surat itu untuk menyingkirkan perjanjian-perjanjian (antara muslim dan kafir) yang mutlak ini dan memerintahkannya untuk memerangi ahli kitab sehingga mereka memberikan jizyah, maka (orang-orang kafir) selain mereka lebih utama untuk diperangi dan tidak diadakan janji perdamaian.[6]
Uraian Ibnu Taimiyah itu sama sekali tidak menggolongkan
Majusi sebagai Ahli Kitab. Justru menggolongkan Majusi sebagai orang-orang
musyrikin yang lebih rendah daripada Ahli Kitab, maka lebih layak untuk
diperangi sampai tunduk dan harus membayar jizyah.
Ibnu Taimiyah: Majusi Jelas Bukan Ahli Kitab
Lebih tegas lagi adalah pernyataan Imam Ibnu Taimiyah dalam
Kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah:
Umar bin Khatthab ra bertawaqquf (berhenti, tidak berbuat)
mengenai pengambilan jizyah dari Majusi sehingga Abdur Rahman bin Auf bersaksi
bahwa Rasulullah mengambil jizyah dari Majusi Hajar, (riwayat itu) disebutkan
oleh Al-Bukhari. As-Syafi’I menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab menyebutkan
Majusi, lalu dia berkata, aku tidak tahu bagaimana aku perbuat mengenai perkara
mereka. Lalu Abdur Rahman bin Auf
berkata kepadanya, saya bersaksi, sungguh saya telah mendengar Rasulullah
berkata: Perlakukanlah kepada mereka (Majusi) seperti perlakuan terhadap Ahli
Kitab. (Komentar Ibnu Taimiyah) ini
jelas bahwa mereka (Majusi) bukanlah termasuk Ahli Kitab dan yang
menunjukkan atasnya itu adalah firman Allah Ta’ala: (Kami turunkan Al Qur'an
itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang
mereka baca." (QS Al-An’aam: 156).[7]
Lalu Ibnu Taimiyah dalam lembar berikutnya (halaman 83-84
kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah juz 1) menyebutkan bahwa riwayat dari Ali
bin Abi Thalib yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab (tercantum dalam Kitab
Musnad As-Syafi’I dan Sa’id bin Manshur dan selain keduanya), tetapi telah
dilemahkan/ didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits.
Persoalan dalam pembicaraan ini, riwayat dari Ali yang
dha’if itu telah dijadikan landasan oleh FLA Paramadina dalam mengangkat Majusi
sebagai Ahli Kitab dengan merujuk Rasyid Ridha dalam Al-Manar.
Nah, di situlah curangnya orang Paramadina. Riwayat dari
Ali dan telah didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits saja kalau sesuai
dengan seleranya maka dikutip dan dijadikan landasan. Namun yang jelas-jelas
hadits Nabi saw yang derajatnya shahih, muttafaq ‘alaih, tentang larangan waris
mewarisi antara kafirin dan muslim, ketika tidak cocok dengan kemauan liberal
mereka maka mereka tolak dengan dalih yang dibuat-buat. (lihat FLA, halaman
167). Sekali lagi kejujuran ilmiyah mereka
telah mereka pertaruhkan untuk kepentingan nafsu liar liberal mereka demi
membela kafirin.
Dalam hal Majusi itu bukan Ahli Kitab, dan diperlakukan
sebagai Ahli Kitab khusus hanya dalam hal Jizyah itu justru Imam Syafi’I yang
memuat riwayat Ali itu pun pendapatnya tidak seperti model Paramadina yang
memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Kutipan pendapat Imam Syafi’I sebagai
berikut:
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, Ahli Kitab yang
wanita-wanita merdekanya halal dinikahi adalah penerima dua kitab yang
terkenal, Taurat dan Injil, yaitu Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel bukan
Majusi. Syaikh rahimahullah itu berkata, dan atsar yang masyhur ini dari Abdur
Rahman bin Auf dari Nabi saw; Perlakukanlah mereka (Majusi) sebagaimana
perlakuan terhadap ahli kitab, maka ahli ilmu memahmulkan (menafsirkan)nya
beserta dalil dengan riwayat pada keadaan di atas jizyah, maka Majusi itu
diikutkan pada ahli kitab dalam hal jaminan (keamanan) darah dengan jizyah,
bukan dalam hal lainnya. Wallahu a’lam.[8]
Demikianlah pendapat Imam Syafi’i. Dan pendapat Ibnu
Taimiyah pun jelas. Kedua-dua ulama itu tidak memasukkan Majusi sebagai Ahli
Kitab.
Persoalannya sekarang, ketidak jujuran secara ilmiyah,
ketika dilakukan oleh satu orang saja pun orang itu sudah tidak terpercaya
lagi. Dalam kasus ini, ketidak jujuran dalam pengutipan dan penyampaian
maksud dari ulama yang dikutip ternyata dilakukan secara beramai-ramai,
dan atas nama apa yang mereka beri label “fiqih” lagi. Maka betapa tidak
terpercayanya mereka itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar