Minggu, 29 April 2012

Sunnu Bihim Sunnata Ahlil Kitab


FLA Memlintir Pernyataan Ibnu Taimiyah

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).

Ayat itu merupakan perintah untuk memerangi Ahli Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan hina. Dalam prakteknya, Nabi Muhammad saw memungut jizyah pula kepada orang-orang Majusi dan bersabda:

“Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahli Kitab.”

Dari celah-celah ini firqah liberal dalam hal ini tim penulis Paramadina yang menulis buku Fiqih Lintas Agama mengambil kesempatan untuk memasukkan orang Majusi sebagai Ahli Kitab. Dalam mengangkat Majusi menjadi Ahli Kitab itu di antaranya mereka menempuh jalan memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah.

Langkah-langkah untuk menyamakan semua agama dan praktrek fiqihnya

Sebelum kami uraikan plintiran tim Paramadina dalam FLA-nya terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah, perlu kami gambarkan cara-cara licik mereka untuk memlintir-mlintir Islam disamakan dengan agama lain. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:

1.      Mensahkan agama-agama lain selain Islam sebagai agama-agama yang selamat, sehingga kedudukannya sejajar dengan Islam, dan selamat semuanya. Ini mereka namai teologi inklusif pluralis. Ayat yang mereka plintir di antaranya QS Al-Baqarah/ 2: 62. (lihat FLA 249, atau kutipan di buku kami ini dalam judul Memainkan Ayat, Menirukan Nasrani).

2.      Setelah mereka mendudukkan Ahli Kitab sejajar dengan Islam dan agamanya sah juga, selamat juga, (padahal menurut Al-Qur’an QS Ali Imran ayat 85, selain Islam maka tidak diterima Allah, dan di akherat termasuk orang-orang yang merugi);  lalu mereka mendudukkan orang Majusi sebagai Ahli Kitab juga, dengan cara memlintir QS 2; 62 itu pula. (Lihat FLA halaman 49), dan juga memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah yang akan dibicarakan di sini.

3.      Setelah Majusi dinaikkan sebagai Ahli Kitab, lalu agama-agama lain dinaikkan pula sebagai Ahli Kitab dengan dalih ungkapan-ungkapan Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar  (lihat FLA, halaman 51-52).. Padahal Rasyid Ridha yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab dengan landasan hadits dari Ali bin Abi Thalib itu riwayatnya dipersoalkan keshahihannya dalam kitab-kitab, dan dinilai tidak shahih.

4.      Kemudian dalam hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”. Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.” (FLA, halaman 164). Penulis FLA itu jelas telah menyembunyikan QS Al-Mumtahanah/60: 10: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 60:10). Orang-orang Ahli Kitab itu adalah termasuk orang-orang kafir, karena dalam Al-Qur’an yang disebut kafir itu adalah orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Itu ditegaskan dalam QS Al-Bayyinah: 6: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).

5.      Setelah pernikahan muslimah dengan lelaki Ahli Kitab bahkan agama-agama lain yang telah mereka angkat sebagai Ahli kitab mereka perbolehkan dengan cara menyembunyikan ayat dan memlintir dalil, lalu mereka bolehkan pula waris mewarisi antara Muslim dengan kafirin. Di antaranya ada dua dalih yang mereka bikin-bikin:

a.       Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. (FLA, halaman 167). Sanggahan terhadap pernyataan ini ada di bagian lain di buku kami ini, yang intinya bahwa ungkapan “Islam mempersilahkan pernikahan dengan agama lain” itu ungkapan bikin-bikinan yang rancu. Lalu dijadikan landasan untuk waris beda agama dengan disebut otomatis dibolehkan. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada mereka: Islam melarang ayah menikahi anak perempuannya. Apakah otomatis anak perempuan dilarang mewaris harta ayahnya, lantaran Islam melarang menikah? Rusaklah kalau cara berfikirnya seperti itu.

b.      Sedangkan hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan. (FLA halaman 167). Sanggahan: Hadits yang dimaksud adalah shahih, bahkan Muttafaq ‘alaih. Mereka tidak membantah keshahihannya, namun langsung membatalkannya, hanya beralasan semangat zamannya. Kalau kondusif otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan. Apakah ada larangan yang sudah jelas dan tegas, kemudian cukup dibatalkan dengan alasan “kondusif” seperti itu? Nanti orang akan berkata, larangan zina itu ketika suasananya tidak kondusif. Kalau kondusif maka larangan itu tidak bisa digunakan. Rusaklah agamanya, kalau model Paramadina ini.

Tahap-tahap yang mereka tempuh tu semuanya keropos. Dan marilah kita buktikan bahwa mereka itu memlintir pernyataan Ibnu Taimiyah, sebagai berikut.

Menaikkan Majusi Jadi Ahli Kitab dengan Memlintir Ibnu Taimiyah


Kutipan:

“… penggunaan perkataan : “Ahli Kitab” untuk merujuk pada Yahudi dan Nasrani dikarenakan adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka; dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka.” (FLA halaman 50).

(Kemudian untuk menguatkan pernyataan mereka ini mereka comot pernyataan Imam Ibnu Taimiyah sebagai landasan yang dikesankan seakan mendukung pernyataan kelompok Paramadinah liberal ini. Mereka nyatakan):

“Sehubungan dengan ini, Ibnu Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menuturkan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti kaum Ahli Kitab.

… Karena itulah Nabi bersabda tentang kaum Majusi, “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab”, dan beliau pun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang di kalangan mereka ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini.” (FLA, halaman 50, mengutip Minhaj al-Sunnah).

Tanggapan:

Pengutipan pernyataan Ibnu Taimiyah itu berbeda dengan maksud yang dimaui oleh Ibnu Taimiyah. Sama sekali Ibnu Taimiyah tidak memaksudkan bahwa Majusi itu termasuk Ahli Kitab. Kelompok Paramadina dengan FLA-nya ini telah mengadakan kebohongan publik dengan cara memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu, berikut ini kami kutip seperlunya, agar bisa dibedakan antara maksud Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah itu, dan agar terlihat betapa tidak jujurnya secara keilmuan apa yang dilaukan oleh kelompok Paramadina.

Ungkapan Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Minhajus Sunnah juz 8 halaman 514 dan selanjutnya sebagai berikut:

Setelah Allah memerintahkan untuk memerangi ahli kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk, maka Nabi saw memungut jizyah[1] dari orang Majusi. Orang-orang Muslim bersepakat atas pemungutan jizyah dari Ahli Kitab dan Majusi. Para ulama berselisih mengenai kafir-kafir lainnya dalam 3 pendapat.

1.      Dikatakan, semua mereka (kafirin) diperangi setelah (turunnya ayat) itu sehingga mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk apabila mereka tidak masuk Islam, inilah pendapat Imam Malik.

2.      Dikatakan, musyrikin Arab dikecualikan dari yang demikian itu, ini pendapat Abu Hanifah dan Ahmad  dalam salah satu dari dua riwayat.

3.      Dikatakan hal itu khusus pada ahli kitab, dan orang yang memiliki semacam kitab  (syubhatu kitab), ini pendapat  Syafi’i dan Ahmad dalam riwayat yang lain.[2]

Pendapat pertama dan kedua itu bersesuaian dalam makna, karena ayat jizyah belum turun kecuali setelah usai Nabi saw dari perang dengan musyrikin Arab. Akhir peperangannya dengan Arab adalah Perang Thaif, dan itu adalah setelah perang Hunain, sedang Perang Hunain adalah setelah Fathu Makkah, dan semua itu terjadi tahun 8 Hijriyah. Pada tahun kesembilan, beliau memerangi Nashrani pada Tahun (Perang) Tabuk, dan dalam tahun (kesembilan Hijriyah) itulah turun surat Baro’ah (at-Taubah), dan di dalamnya ada perintah untuk memerangi (Nasrani) sehingga mereka memberikan jizyah dan dalam keadaan tunduk. Dan Nabi saw ketika mengutus amir atas tentara atau peperangan maka beliau memerintahkannya agar memerangi mereka sehingga mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.[3]

Dan Nabi saw berdamai dengan Nasrani Najran di atas (pembayaran) jizyah sedang mereka adalah orang yang membayar jizyah, dan mengenai mereka (Nasrani Najran) lah Allah menurunkan permulaan surat Ali Imran.

Ketika tahun 9 Hijriyah, Nabi saw  meniadakan musyrikin dari Masjidil Haram, menyingkirkan ikatan-ikatan/ janji kepada mereka, dan Allah Ta’ala memerintahkannya untuk memerangi mereka, dan orang-orang musyrikin Arab masuk Islam semuanya, maka tidak tersisa seorang musyrik mu’ahid (di bawah janji) pun, tidak karena jizyah dan tidak karena lainnya.[4]

Sebelum itu beliau mengadakan perjanjian dengan mereka (musyrikin Arab) tanpa jizyah. Lalu (persoalannya), tidak adanya pemungutan jizyah atas mereka (musyrikin Arab) itu apakah karena tidak tersisa lagi dari mereka orang yang (harus) diperangi hingga memberikan jizyah lantaran mereka telah masuk Islam semua ---karena mereka melihat bagusnya Islam, dan kemenangannya, dan (melihat) kotornya kemusyrikan yang dulu ada pada mereka, dan mencabut (kewajiban) memberikan jizyah dari mereka dalam keadaan hina--, atau karena jizyah tidak boleh dipungut dari mereka (musyrikin Arab) tetapi wajib menyerang mereka sampai (masuk) Islam. Maka berdasarkan pendapat pertama dipungut (jizyah itu) dari seluruh orang kafir sebagaimana dikatakan oleh mayoritas fuqoha’ dan mereka berkata, ketika diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk, dan Allah melarang untuk mengadakan perjanjian dengan mereka (ahli kitab) tetapi (wajib dengan) jizyah --sebagaimana hukum (jizyah) yang berlaku sejak semula--, dan ini adalah penegasan bahwa orang-orang yang lebih rendah dari mereka (ahli kitab) yaitu orang-orang musyrikin lebih utama untuk tidak diadakan hudnah (perjanjian damai) tanpa jizyah, tetapi diperangi sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan hina.

Oleh karena itu Nabi saw bersabda mengenai Majusi:

“Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab”

Dan beliau mengadakan perdamaian dengan penduduk Bahrain di atas jizyah di dalam mereka itu ada orang Majusinya. Para khalifahnya (Nabi saw)  dan seluruh ulama Muslimin sepakat dalam hal itu.[5]

Perkara itu pada awal Islam bahwa beliau memerangi kafirin dan mengadakan perjanjian damai dengan mereka tanpa jizyah sebagaimana Nabi saw melaksanakannya sebelum turunnya surat Baro’ah (At-Taubah). Lalu ketika turun Surat Baro’ah, Allah memerintahkan dalam surat itu untuk menyingkirkan perjanjian-perjanjian (antara muslim dan kafir) yang mutlak ini dan memerintahkannya untuk memerangi ahli kitab sehingga mereka memberikan jizyah, maka (orang-orang kafir) selain mereka lebih utama untuk diperangi dan tidak diadakan janji perdamaian.[6]


Uraian Ibnu Taimiyah itu sama sekali tidak menggolongkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Justru menggolongkan Majusi sebagai orang-orang musyrikin yang lebih rendah daripada Ahli Kitab, maka lebih layak untuk diperangi sampai tunduk dan harus membayar jizyah.


Ibnu Taimiyah: Majusi Jelas Bukan Ahli Kitab


Lebih tegas lagi adalah pernyataan Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah:

Umar bin Khatthab ra bertawaqquf (berhenti, tidak berbuat) mengenai pengambilan jizyah dari Majusi sehingga Abdur Rahman bin Auf bersaksi bahwa Rasulullah mengambil jizyah dari Majusi Hajar, (riwayat itu) disebutkan oleh Al-Bukhari. As-Syafi’I menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab menyebutkan Majusi, lalu dia berkata, aku tidak tahu bagaimana aku perbuat mengenai perkara mereka. Lalu Abdur Rahman bin Auf  berkata kepadanya, saya bersaksi, sungguh saya telah mendengar Rasulullah berkata: Perlakukanlah kepada mereka (Majusi) seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab. (Komentar Ibnu Taimiyah) ini  jelas bahwa mereka (Majusi) bukanlah termasuk Ahli Kitab dan yang menunjukkan atasnya itu adalah firman Allah Ta’ala: (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An’aam: 156).[7]

Lalu Ibnu Taimiyah dalam lembar berikutnya (halaman 83-84 kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah juz 1) menyebutkan bahwa riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab (tercantum dalam Kitab Musnad As-Syafi’I dan Sa’id bin Manshur dan selain keduanya), tetapi telah dilemahkan/ didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits. 

Persoalan dalam pembicaraan ini, riwayat dari Ali yang dha’if itu telah dijadikan landasan oleh FLA Paramadina dalam mengangkat Majusi sebagai Ahli Kitab dengan merujuk Rasyid Ridha dalam Al-Manar.

Nah, di situlah curangnya orang Paramadina. Riwayat dari Ali dan telah didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits saja kalau sesuai dengan seleranya maka dikutip dan dijadikan landasan. Namun yang jelas-jelas hadits Nabi saw yang derajatnya shahih, muttafaq ‘alaih, tentang larangan waris mewarisi antara kafirin dan muslim, ketika tidak cocok dengan kemauan liberal mereka maka mereka tolak dengan dalih yang dibuat-buat. (lihat FLA, halaman 167).  Sekali lagi kejujuran ilmiyah mereka telah mereka pertaruhkan untuk kepentingan nafsu liar liberal mereka demi membela kafirin. 

Dalam hal Majusi itu bukan Ahli Kitab, dan diperlakukan sebagai Ahli Kitab khusus hanya dalam hal Jizyah itu justru Imam Syafi’I yang memuat riwayat Ali itu pun pendapatnya tidak seperti model Paramadina yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Kutipan pendapat Imam Syafi’I sebagai berikut:

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, Ahli Kitab yang wanita-wanita merdekanya halal dinikahi adalah penerima dua kitab yang terkenal, Taurat dan Injil, yaitu Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel bukan Majusi. Syaikh rahimahullah itu berkata, dan atsar yang masyhur ini dari Abdur Rahman bin Auf dari Nabi saw; Perlakukanlah mereka (Majusi) sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab, maka ahli ilmu memahmulkan (menafsirkan)nya beserta dalil dengan riwayat pada keadaan di atas jizyah, maka Majusi itu diikutkan pada ahli kitab dalam hal jaminan (keamanan) darah dengan jizyah, bukan dalam hal lainnya. Wallahu a’lam.[8]

Demikianlah pendapat Imam Syafi’i. Dan pendapat Ibnu Taimiyah pun jelas. Kedua-dua ulama itu tidak memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab.

Persoalannya sekarang, ketidak jujuran secara ilmiyah, ketika dilakukan oleh satu orang saja pun orang itu sudah tidak terpercaya lagi. Dalam kasus ini, ketidak jujuran dalam pengutipan dan penyampaian maksud dari ulama yang dikutip ternyata dilakukan secara beramai-ramai, dan atas nama apa yang mereka beri label “fiqih” lagi. Maka betapa tidak terpercayanya mereka itu.


[1] pembayaran dari orang kafir kepada penguasa Muslim sebagai imbalan atas perlindungan
[2]
[3] ibid
[4]
[5] Ibnu Taimiyyah, Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Juz 8, halaman 515. 

[6]Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 8, halaman 516.



[7] Ahkamu Ahlidz Dzimmah, juz 1 halaman 81-83.
[8] Sunan Al-Baihaqi al-Kubro, juz 7, halaman 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar