Minggu, 29 April 2012

Buku-buku Karya Penulis


01.  Solidaritas Islam, Jakarta: Darul Haq, 1993 M/1414 H, ditulis bersama Farid Achmad Okbah.

02.  Bila Hak Muslimin Dirampas, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994.

03.  Ragam Berkeluarga --Serasi tapi Sesat, ditulis bersama isteri, Mulyawati Yasin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994.

04.  Meluruskan  Da'wah dan Fikrah, Jakarta: Pustaka  Al-Kautsar, 1996.

05.  Rukun  Iman Digoncang, Jakarta: Azmy Press, 1997.

06.  Kematian Lady Diana Menggoncang Akidah Umat, ditulis bersama Ainul Haris Umar Thayib Lc dan Al-Chaidar, Jakarta: Darul Falah, 1418 H.

07.  Kekeliruan Logika Amien Rais, Jakarta: Darul Falah, 1998.

08.  Polemik Presiden Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Desember 1998.

09.  Bahaya Islam Jama'ah-Lemkari-LDII, (sebagai editor), Jakarta: LPPI, Syawal 1419 H/Januari 1999 M.

10.  Di Bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto: Tragedi Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Darul Falah, Dzulqa'dah 1419 H.

11.  Bahaya Pemikiran Gus Dur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, April 1999.

12.  Ambon Bersimbah Darah: Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani, Jakarta: Dea Press, Jakarta, 1999.

13.  Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali? Jakarta: Darul Falah, Ramadhan 1420 H/Desember 1999M.

14.  Bahaya Pemikiran Gus Dur II: Menyakiti Hati Umat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Mei 2000 M.

15.  Rukun Iman Diguncang, Edisi kedua (revisi), diperbaiki dengan berbagai penambahan pada cetakan kedua, Jakarta: Pustaka An-Naba’, 1421 H/ 2000 M.

16.  Tasawuf Belitan Iblis, (cetakan ke-3 edisi revisi dari “Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali?”) Jakarta: Darul Falah, April 2001.

17.  Bila Kyai Dipertuhankan: Membedah Sikap Beragama NU, ditulis bersama Abduh Zulfidar Akaha, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001 M.

18.  Bahaya Islam Liberal, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002 M.

19.  Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002 M/1422 H..

20.  Gus Dur Menjual Bapaknya: Bantahan Pengantar Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta: Darul Falah, 2002.

21.  Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003.

22.  Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2004.

23.  Apaitu Salafi, Darul Falah, Jakarta, Mei 2004.

Penutup


Rekadaya dan rekayasa panjang yang melelahkan yang dilakukan dengan susah payah oleh orang-orang kafir orientalis untuk merusak dan memperburuk citra Islam sekaligus menipu umat Islam, mereka rasakan sudah sangat melelahkan. Dari abad 16 hingga menjelang akhir abad 20, mereka kerja siang malam tak henti-hentinya, namun Islam belum bisa mereka robohkan, dan umat Islam belum bisa mereka tipu sejadi-jadinya. Sementara itu penyerangan terhadap umat Islam lewat fisik, senjata yang dimuntahkan dari udara dan daratan serta lautan untuk memusnahkan umat Islam di berbagai belahan dunia ini kadang justru membuat  para pengangkat senjata itu sendiri berbalik masuk Islam. Maka pihak kafirin yang tak henti-hentinya untuk menghancurkan umat Islam ini menemukan kembali pepatah lama, “Memotong kayu harus dengan kayu.” Maksudnya, memotong kayu adalah pakai kapak, tetapi kapak itu tidak efektif bila tanpa tangkai kayu. Demikian pula, untuk menghancurkan Islam dan umat Islam tidak cukup efektif bila hanya tenaga-tenaga kafirin belaka. Mesti perlu pakai pula tenaga-tenaga dari umat Islam. Maka dicarilah orang dari dalam Islam itu sendiri yang kira-kira rakus dunia dan tidak begitu sayang kepada Islamnya. Ketemulah.

            Singkat cerita, bermunculanlah orang-orang sewaan kafirin/ orientalis yang sudah diberi materi dan senjata untuk meracuni Islam dan dibekali secukupnya untuk bertandang menghadapi Islam dan umatnya. Ada yang sudah berlama-lama mengabdi kepada orientalis dan memang didikan/ asuhan  langsung para orientalis di negeri-negeri kafir Barat atas nama belajar Islam di Barat. Ada juga yang dikader oleh anak buah orientalis, jadi statusnya sebagai generasi cucu orientalis, bukan langsung generasi anak orientalis. Bahkan ada pendatang baru yang baru kemarin sore, namun kadang lebih lantang dibanding anak dan cucu orientalis itu sendiri. Mereka maju bersama dengan senjata, materi, bekal dan sangu untuk bertandang sesuai apa yang pernah dilakukan para orientalis atau sesuai perintah kafirin yang membekalinya.

            “Dododdeet… dombreng….! Deng gedombreng…., deng gedombreng…., deng gedombreng, breng, breng!!!” Genderang pun dimainkan oleh para anak cucu orientalis namun berbaju Islam ini, mereka tabuh beramai-ramai bertalu-talu. Riuh rendah. Ramai banget. Lalu ada yang maju ke panggung dengan ucapan-ucapan enehnya. Disusul oleh yang lain dengan celoteh-celoteh model orientalis tapi tidak diakui bahwa itu dari kafirin orientalis. Ada yang tak segan-segan menyakiti hati umat Islam. Ada yang dengan gagahnya tampil dengan berteriak siap mengganjal syari’at Islam. Langkahi mayit saya dulu kalau mau menegakkan syari’at Islam. Itu konon di negara tetangga ada yang sampai seperti itu perkataannya. Masyarakat Islam ribut, bingung, dan campur heran.

            Para pemain pesanan ini kemudian berkumpul, kongkow-kongkow. Mengevaluasi tingkah polah dan permainan yang telah mereka lakukan. Sesuai pesanan atau tidak. Efektif atau tidak. Peningkatannnya harus dengan jalan apa.

            Di tengah-tengah orang ramai yang lagi sedang-sedangnya tercengang karena ada permainan pesanan yang aneh-aneh itu tiba-tiba ada pemain pesanan (yakni Ulil Abshar Abdalla, kordinator JIL –Jaringan Islam Liberal) yang teriak sekencang-kencangnya, melebihi batas. “Saya tidak percaya adanya hukum Tuhan!”   Pemain yang satu ini pilih berteriak lewat Koran Katolik, Kompas, di Jakarta, 18 Nopember 2002, karena dipandang sebagai koran terbesar di Indonesia.  Dan tentu saja karena sudah dimaklumi bahwa itu sama-sama kepentingan orang kafir, maka bagai tumbu (wadah) mendapatkan tutup alias klop. Ributlah di masyarakat. Pemain pesanan yang teriaknya melampaui batas kewajaran itu lalu diancam mati orang. Takutlah dia, hingga minta perlindungan ke mana-mana. Bukan hanya dia yang ketakutan. Namun para pemain pesanan lainnya pun demikian. Mereka resah. Hingga untuk sementara waktu mereka tidak berteriak-teriak dulu, cukup menyuara soal pembelaan terhadap pemain pesanan yang sedang terancam itu. Setelah kira-kira reda, barulah nanti main lontar-lontaran yang aneh-aneh lagi. Ternyata pemain yang terancam itu selamat. Maka mereka mulai bertandang lagi bahkan secara ramai-ramai, lebih dikompakkan lagi.

            Bila digambarkan sebagai drama, maka ibaratnya para pemain pesanan itu kemudian kumpul-kumpul membicarakan apa yang akan dimainkan dan lebih dahsyat lagi. Perkenankanlah kami menggambarkannya secara dramatis, agar lebih mudah dicerna. Kira-kira saja sebagai berikut.

            “Rekan kita yang tadinya terancam, toh akhirnya selamat, tidak apa-apa. Jadi kondisi dan situasi sebenarnya sudah kondusif bagi kita untuk bermain sesuai pesanan.” Ucap seorang pemain pesanan dalam rapat terbatas tentang rancangan permainan, dengan mengelus-elus dagunya yang tanpa jenggot, karena kelompok liberal ini anti jenggot dan anti orang yang berjenggot.

            “Kalau memang kenyataannya sudah kondusif, kenapa kita tidak bersuara secara bersama-sama? Selama ini kan kita hanya bersuara sendiri-sendiri. Tampaknya akan lebih efektif kalau kita menyuara itu bareng-bareng,” ucap pemain pesanan yang sejak tadi sering membetulkan letak kacamatanya, yang biasanya hanya bekerja di belakang meja dan mejanya rapat dengan meja pekerja perempuan, karena orang model liberal begini tidak mempermasalahkan tentang ikhtilath (campur aduk) laki perempuan.

            Dari rapat itu maka ditentukan rapat berikutnya untuk membagi tugas dan merancang apa yang akan mereka mainkan lebih lanjut. Dalam rapat berikutnya, diputuskanlah bahwa mereka sudah harus mengejawantahkan alias menjabarkan hal-hal yang praktis dari keyakinan mereka yang bernama pluralisme agama, menyamakan dan menyejajarkan semua agama itu. Mereka memutuskan bahwa perlu  panduan praktis untuk pengamalan akidah pluralis itu, yaitu harus ada fiqih pluralis. Dibuatlah fiqih pluralis, dengan nama Fiqih Lintasa Agama, ditulis 9 orang, tim penulis Paramadina.

            Ada yang bagian menulis bahwa semua agama itu sama. Ada yang bagian menjelaskan bahwa Ahli Kitab itu bukan hanya Yahudi dan Nasrani. Lalu ada yang melanjutkan bahwa menikahi wanita Ahli Kitab itu boleh, maka menikahi wanita selain Yahudi dan Nasrani juga boleh, karena Ahli Kitab bukan hanya Yahudi Nasrani. Dan Paramadina telah menyelenggarakannya, di antaranya menikahkan lelaki Muslim dengan wanita Konghucu, pertengahan tahun 2003. Setelah itu ada yang bagian menulis bahwa menikah dengan lelaki Ahli Kitab juga boleh. Lalu diperluas lagi, selain Ahli Kitab juga boleh. Bahkan sampai ditegaskan bahwa menikah dengan orang dari agama dan aliran kepercayaan apapun ya boleh.

            Di situlah puncak penghujatan dan pembatalan hukum Allah swt.

            “Okey, saudara-saudara?” ucap orang yang berkacamata, tampak sudah puas dengan rancangan itu, ketika rapat di satu tempat yang cukup memadai di Jakarta, ketika draf-draf buku Fiqih Lintas Agama sudah mau dimasukkan ke percetakan.

            “Okey ya okey. Tapi itu bagian yang depan dari naskah calon buku ini, kenapa hanya dalil-dalil yang pro pluralisme dan tidak menampilkan dalil-dalil yang sebaliknya. Apakah itu nanti tidak malah kita ini terlalu merangkul teman dari agama lain, namun justru mencari musuh dari kalangan Islam sendiri?” ucap seorang yang termasuk penulis FLA (dialog ini meskipun pakai tanda kutip, namun ini hanya untuk mempermudah pemahaman. Sekali lagi, ini dramatisasi untuk mempermudah belaka. Tetapi juga bukan berarti ini bohong-bohongan).

            Benar. Dikeluarkanlah buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina Jakarta, bekerjasama dengan The Asia Foundation, satu yayasan berpusat di Amerika, dan duitnya dari orang Amerika.

            Isi buku itulah yang kini disoroti dalam buku yang kami tulis ini, di samping  lontaran-lontaran “liar” yang telah mereka mainkan di mana-mana. Tidak lain hanyalah materi pesanan yang dimainkan oleh para pemain pesanan. Apakah kita mau mempercayai mereka?

            Allah swt telah memperingatkan dengan tegas:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS Al-A’raf: 175-176).

Dalam catatan kaki Mukhtashar (ringkasan) Tafsir At-Thabari disebutkan: Dulu ada lelaki (tokoh) di kalangan Bani Israil bernama Bal’am bin Ba’ura’ yang telah diberi ilmu dan hikmah oleh Allah SWT, lalu ia cenderung kepada dunia dan ingin terus menerus menikmatinya. Ia menjual agamanya untuk harta dunia yang sedikit. Bal’am itu lah suatu perumpamaan (matsal) bagi ulama’ suu’ (jahat) yang membuat tipuan dunia dengan (menjual) agama, berjalan bersama orang-orang pemerintah (para pejabat) dengan rayuan/ sanjungan yang licin menggelincirkan. Maka betapa buruknya nasib akhir mereka, dan betapa buruknya keadaan mereka ketika Al-Qur’an menggambarkan mereka dengan bentuk anjing yang melet-melet, menjulurkan lidahnya: “maka perumpamaannya seperti anjing.....”!![1]

Perumpamaan itu dalam ilmu balaghah (sastra Arab) disebut Tasybih Tamtsili, yaitu perumpamaan dalam hal puncak kehina dinaan. Perumpamaan orang yang meninggalkan agamanya untuk tujuan dunianya, dan merelakan hancurnya keni’matan abadi (di akherat) demi meraih kehidupan fana’ (di dunia sementara) ini adalah seperti anjing yang melet-melet. Ia tetap akan melet-melet, baik itu kamu usir atau kamu biarkan, dia keadaannya tetap begitu (melet-melet), karena hal itu sudah tabiatnya. Perumpamaan ini jelas cantik dan nyata-nyata membuat tak berdayanya lawan.[2]

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Tafsir Al-Qayyim, mengulas ayat-ayat tersebut sebagai berikut:

Orang yang diberi Al-Kitab oleh Allah dan yang diberi-Nya ilmu, padahal orang lain tidak diberi-Nya, namun dia tidak mau mengamalkannya dan lebih suka mengikuti hawa nafsunya, lebih suka memilih kemurkaan Allah daripada ridha-Nya, lebih menyukai dunianya daripada akhiratnya, lebih menyukai makhluk daripada Khaliq, diserupakan Allah dengan anjing, binatang yang paling hina dan rendah,yang ambisinya tidak lebih sekedar urusan perut. yang paling lahap dan rakus. Di antara gambaran kerakusannya, dia tidak berjalan melainkan merunduk ke tanah sambil mengendus-endus untuk mengumbar kerakusan dan kelahapannya. Bahkan anus (bol)nya sendiri diendus-endus, sementara bagian tubuh yang lain tidak diendusnya. Jika engkau melemparkan sekepal batu di dekatnya, maka dia akan menghampirinya, karena kerakusannya yang kelewat batas. Dia adalah binatang yang paling hina dan paling patut untuk dihinakan. Dia adalah binatang yang paling suka dengan hal-hal yang hina, kotor dan busuk. Barang-barang ini lebih dia sukai daripada daging yang segar. Makanan yang kotor lebih dia sukai daripada manisan yang bersih. Jika ada satu bangkai, maka itu cukup untuk seratus anjing. Tak seekor anjing yang ketinggalan mencicipi bagian dari bangkai itu. Jika sudah mendapatkan sebagian, maka dia akan mendekap dan menguasainya, sekedar gambaran tentang kerakusan, kekikiran dan kelahapannya.

Yang lebih mengherankan lagi tentang kerakusannya, bahwa jika ia melihat sesuatu yang sudah usang dan kain yang kotor, maka dia pun mengonggong sambil mengeluarkan taringnya untuk mengigitnya, lalu dia menghampirinya, seakan-akan dia menghampirinya, seakan-akan dia menggambarkan bahwa kain yang kotor itu hendak menjadi sekutu baginya dan menantang kekuatannya. Tapi jika dia melihat bentuk yang baik dan kain yang bersih, maka dia meletakkan moncongnya ke tanah, tunduk di hadapannya dan tidak berani mengangkat kepala.

Orang yang lebih mementingkan dunia daripada Allah dan akhirat, padahal ilmu sudah banyak diberikan Allah kepadanya, diserupakan dengan anjing saat menjulurkan lidahnya,  merupakan rahasia yang sangat mengagumkan. Keadaan yang disebut Allah ini, merupakan gambaran keberpalingannya dari ayat-ayat-Nya dan tindakannya yang mengikuti hawa nafsu. Itu terjadi hanya karena keinginan yang besar dan kerakusannya kepada dunia, karena hatinya terputus dari Allah dan hari akhirat. Dia rakus pada dunia seperti kerakusan anjing yang tak pernah putus, saat dia dalam keadaan terguncang atau saat dibiarkan. Al-Lahfu wa al-lahtsu (kerakusan dan menjulurkan lidah) merupakan pasangan kembar dan mirip dalam lafadz dan maknanya.

Menurut Ibnu Juraij, anjing tidak memiliki qalbu dan perasaan. Jika engkau menghalaunya, maka dia menjulurkan lidah, dan jika engkau membiarkannya dia juga menjulurkan lidahnya. Dia seperti orang yang meninggalkan petunjuk, yang tidak memiliki qalbu, karena qalbunya terputus.

Apapun keadaannya, anjing adalah binatang yang paling rakus, selalu menjulurkan lidah ketika dalam keadaan berdiri, duduk, berjalan, dan diam. Hal ini merupakan gambaran tentang kerakusannya yang selalu bergolak dalam qalbunya, mengharuskan dia untuk selalu menjulurkan lidah.

Begitulah perumpamaan tentang kerakusan yang tak terbendung dan syahwat yang selalu menghangat di dalam hatinya, yang mengharuskan dia selalu menjulurkan lidah. Jika engkau menghardiknya dengan peringatan dan nasihat, maka dia menjulurkan lidah. Jika engkau membiarkannya, diapun tetap menjulurkan lidah.

Menurut Mujahid, begitulah perumpamaan orang yang diberi Al-Kitab, namun dia tidak mengamalkannya. Menurut Ibnu Abbas, jika engkau membebankan al-hikmah kepadanya, maka dia tidak mau memikulnya, dan jika engkau membiarkannya, maka dia tidak tertuntun kepada kebaikan. Keadaan ini mirip dengan anjing. Jika dia disodori makanan, dia menjulurkan lidah, dan jika diusir, diapun menjulurkan lidah.

Menurut Al-Hasan (Al-Basri), itu adalah gambaran orang munafik yang tidak memiliki keteguhan hati pada kebenaran, baik dia diseru maupun tidak diseru, diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan, seperti anjing yang menjulurkan lidah ketika dia diusir atau ketika dibiarkan.[3]

Gejala menjual agama demi kepentingan dunia kini sangat mencolok mata dan secara ramai-ramai, tanpa malu-malu lagi. Walaupun sudah ada peringatan nyata dari ayat Allah, yang kisahnya adalah Bal’am bin Ba’uro’ seorang ulama yang mengikuti hawa nafsu pejabat untuk mendo’akan buruk terhadap Nabi Musa as, sehingga akhirnya lidah Bal’am menjulur  keluar dan tak dapat ditarik lagi --akibat menjual agama demi dunia itu-- namun sebagian orang tidak memperdulikan peringatan itu.
           
Mudah-mudahan umat Islam terhindar dari tingkah sangat buruk yang amat berbahaya dan telah dikecam langsung oleh Allah swt itu. Hanya Allah lah tempat kita berlindung dan meminta pertolongan. Jauhkanlah kami ya Allah dari segala keburukan, yang lahir maupun yang batin. Amien. Tiada daya dan upaya untuk menghindari aneka keburukan yang mereka sebar-sebarkan itu kecuali dengan pertolongan-Mu, ya Allah.


[1]  Lihat catatan kaki  Mukhtashor Tafsir at-Thabari, diringkas oleh Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, Darus Shabuni, Kairo, 1402H, juz 1,  halaman 291.

[2] Mukhtashor Tafsir At-Thabari, juz 1, hal 292.
[3] Imam Ibnul Qayyim,  At-Tafsir Al-Qayyim, Darul Fikr, Beirut,  1408H/ 1988M, hal 280-282.

Masalah Nikah Beda Agama


Tim Penulis FLA Paramadina Membatalkan Syari’at Allah

Pada bagian ketiga dari buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina yang bekerjasama dengan The Asia Foundation dipampangkan judul Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-agama. Dari judul itu saja saya membacanya merinding. Sebab yang dibangun di situ adalah sinergi agama-agama, yang hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Yang ada, perintah Allah swt di antaranya dalam Surat Al-Kafirun.

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS Al-Kafirun: 1-6).

            Imam Ibnu Katsir mengaitkan ayat itu dengan perkataan Nabi Ibrahim as dan pengikut-pengikutnya kepada kaumnya yang musyrik:

"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.(QS Al-Mumtahanah/ 60: 4).[1]
           
Al-Qur’an wahyu Allah swt telah menegaskan sejelas-jelasnya seperti itu, namun orang-orang Paramadina yang bekerjasama dengan lembaga kafirin ini menentang Al-Qur’an dengan membuat “jalan baru” yang justru bertentangan langsung dengan ayat-ayat tersebut.

            Dalam membuat “jalan baru” itu dibuatlah syari’at baru pula, yaitu:

1.      Membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan, “karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). (FLA, halaman 163).

2.      “…Amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. (QS 2: 62) (FLA, halaman 164).

3.      Membolehkan orang kafir mewaris harta orang Muslim. Alasannya, “Dan ligikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA, halaman 167).

Tanggapan:

Wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu haram. Sebab Ahli Kitab itu adalah kafir. Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).

      Orang kafir itu tidak halal bagi wanita Muslimah. Allah swt berfirman:

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang isteri telah masuk Islam berarti sejak ia masuk Islam itu telah bercerai dengan suaminya yang kafir, karena itu ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimat kawin dengan laki-laki kafir.[2]

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyyah  memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membuat konsep perjanjian itu, maka Ali pun menulisnya: “Dengan menyebut nama Engkau, wahai Tuhan kami, ini adalah perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Mereka telah menyatakan perdamaian dengan menghentikan peperangan selama 10 tahun, saling berusaha menjaga keamanan dan menahan serta menjaga terjadinya perselisihan. Barangsiapa di antara orang-orang Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, hendaklah orang itu dikembalikan sedangkan kaum muslimin yang datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan,…” dan seterusnya.

Demikianlah Rasulullah saw mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada orang-orang Quraisy dan tidak ada seorangpun yang ditahan bel.iau, walaupun ia seorang mukmin. Maka datanglah kepada Rasulullah, seorang wanita mukminah dari daerah kafir yang bernama Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith. Maka datanglah kepada Rasulullah dua orang saudara dari perempuan itu yang bernama ‘Ammar dan Walid yang meminta agar wanita itu dikembalikan. Maka turunlah ayat ini yang melarang Rasulullah mengembalikannya. Kemudian wanita itu dikawini oleh Zaid bin Haritsah.

Dari tindakan Rasulullah ini nyatalah bahwa yang wajib dikembalikan menurut perjanjian itu hanyalah laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dikembalikan.[3]

Menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam diterangkan bahwa setelah Rasulullah menandatangani perjanjian Hudaibiyyah dengan orang-orang kafir Quraisy, banyaklah wanita-wanita mukminat berdatangan dari Makkah ke Madinah. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Rasulullah menguji mereka lebih dahulu dan melarang beliau mengembalikan wanita-wanita yang benar-benar mukminat ke Makkah.

Dalam pada itu kepada kaum muslimin dibolehkan mengawini wanita-wanita mukminat yang berhijrah itu dengan membayar maskawin. Hal ini berarti bahwa wanita itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah swt menganjurkan kaum muslimin mengawini mereka itu agar diri mereka terpelihara. Jika mereka tidak dikawini, mereka akan sendirian karena mereka telah bercerai dari suami mereka itu dengan masuk islamnya mereka itu.

Allah menerangkan sebab larangan melanjutkan perkawinan isteri mukminat dengan suami yang kafir itu, karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara orang-orang yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir. Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak isteri masuk Islam.[4]
  
Lelaki Ahli Kitab (Yahudi ataupun Nasrani) Haram Menikahi Muslimah

Mengenai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita Muslimah tidak ada kesamaran lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah/ 60: 10 dan Al-Baqarah/ 2: 221. Maka Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menegaskan:

“Dan tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaannya kafir kitabi (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi. Karena Allah Ta’ala berfirman:

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. (QS Al-Baqarah: 221).

Dan firmanNya:

“… Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).[5]

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan.[6] Ia mendasarkan pada firman Allah QS Al-Mumtahanah/ 60: 10.

Para ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab atau non Muslim itu sebagian cukup menyebutnya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musyrik. Di samping itu tidak ada ayat atau hadits yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat Al-Mumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walaupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir musyrik. Bahkan lafal musyrik saja, para ulama sudah memasukkan seluruh non Muslim dalam hal lelaki musyrik dilarang dinikahkan dengan wanitra Muslimah.

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (QS Al-Baqarah/ 2: 221).

Muhammad Ali As-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah swt melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembah berhala, majusi, yahudi, Nasrani dan orang yang murtad dari Islam.[7]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mu’minah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap Islam.[8]

Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi isteri orang kafir.[9]

Syaikh Shalih Al-fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: ” Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (QS Al-Baqarah/ 2: 221).[10]

Mencari Celah dengan Memlintir Imam At-Thabari

Meskipun hukum tentang haramnya wanita muslimah dinikahi lelaki kafir secara mutlak, baik kafir Ahli Kitab maupun musyrik itu sudah jelas dan tegas, namun karena firqah liberal punya misi tertentu di antaranya mengusung kepentingan orang kafir, maka diteroboslah apa-apa yang mereka anggap ada celah-celahnya. Dalam hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”. Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.” (FLA, halaman 164).

          Firqah liberal itu terang-terangan membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan, “karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). (FLA, halaman 163). Dalam catatan kaki (FLA, halaman 191) hadits yang mereka sebut tidak begitu jelas kedudukannya itu dikutip dari Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an ta’wi Ay al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2001, halaman 465.

Benarkah Imam At-Thabari mengemukakan hadits itu untuk dijadikan landasan dalam hal tidak sharih (tidak jelas)nya larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah, karena hadits itu kedudukannya masih ada masalah?

Sama sekali tidak. Pembicaraan Imam At-Thabari bukan mengenai larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah (karena sudah jelas haramnya), namun adalah pembicaraan tentang riwayat-riwayat mengenai wanita muhshonat (wanita merdeka yang menjaga diri dan kehormatannya) dari kalangan Ahli Kitab. Ini berkaitan dengan ada perbedaan di kalangan Ahli Tafsir dalam hal wanita musyrikat dalam QS 2: 221, haram dinikahi, maka apakah di dalamnya termasuk wanita Ahli Kitab. Dan karena ada riwayat, Umar bin Khatthab menyuruh talak beberapa orang sahabat ( Hudzaifah dan Thalhah) yang menikahi wanita Ahli Kitab. Berikut ini uraian Imam At-Thabari, kami kutip dengan diringkas dari Fathul Qadir-nya Imam As-Syaukani (yang sudah dibuat lebih komunikatif), dan bisa dirujuk ke Tafsir At-Thabari juz 2 halaman : 378.

Abu Ja’far Ibnu Jarir At-Thabari berkata, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini (QS 2: 221): Apakah ayat itu diturunkan dengan maksud setiap musyrikah (dilarang dinikahi) atau maksud hukumnya mengenai sebagian musyrikah saja bukan yang lainnya? Dan apakah ada sesuatu yang dinasakh (dihapus) setelah adanya kewajiban hukum padanya itu atau tidak?

Sebagian Ahli Tafsir berpendapat: Diturunkan ayat itu dimaksudkan pengharaman atas setiap muslim nikah dengan setiap wanita musyrikat dari jenis manapun kesyirikannya, baik itu wanita penyembah berhala, ataupun wanita Yahudi, Nasrani, Majusi, atau lainnya dari macam-macam kemusyrikan. Kemudian pengharaman menikahi wanita Ahli Kitab dinasakh (dihapus) dengan Firman-Nya: QS Al-Maaidah: 4-5).
(Ada juga yang mengecualikan wanita Ahli Kitab) riwayat dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, Firman-Nya (QS 2:221) itu kemudian Dia mengecualikan wanita-wanita Ahli Ktab, maka Dia berfirman QS Al-Maaidah: 5.

            Ahli Tafsir yang lain berkata: Bahkan ayat ini (QS 2:221) diturunkan dengan maksud hukumnya mengenai wanita musyrikat Arab, tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan tidak dikecualikan. Ayat itu hanyalah umum secara lahiriyahnya tetapi khusus maknanya. Riwayat dari Qatadah, QS 2:221, Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikat sehingga mereka beriman, artinya wanita musyrikat Arab yang tidak memiliki kitab (suci) yang mereka baca. Sa’id bin Jubair berkata, maksudnya wanita musyrikat ahlil autsan (penyembah berhala).

            Ahli tafsir yang lain berkata:  Bahkan ayat ini QS 2: 221 diturunkan dimaksukan mengenai setiap wanita musyrikat dari jenis apa saja dia, tidak dikhususkan satu jenis musyrikat saja, baik itu wanita berhalais atau wanita Majusi, atau wanita Ahli Kitab, dan tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya).

            Abu Ja’far At-Thabari berkata: yang paling utama dari pendapat-pendapat penafsiran ayat ini adalah pendapat Qatadah: bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrikat sehingga mereka beriman” adalah orang yang bukan Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrikat. Ayat itu umum secara lahiriyahnya, khusus secara batiniyahnya, tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan wanita-wanita Ahli Kitab tidak termasuk di dalamnya. Dan hal yang demikian itu karena Allah Ta’ala menyebutkan halal dengan firman-Nya QS Al-Maaidah: 5 Dan wanita-wanita muhshonat dari kalangan orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu— bagi laki-laki mukmin untuk menikahi wanita-wanita muhshonat (menjaga diri dan kehormatan) dari mereka, seperti yang dibolehkan kepada lelaki mukminin untuk menikahi wanita-wanita mukminat.

            Adapun perkataan yang diriwayatkan dari Syahr bin Husyib, dari Ibnu Abbas, dari Umar ra: tentang pemisahannya antara Thalhah dan Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu wanita kitabiyah, maka adalah perkataan yang tidak ada maknanya, karena menyelisihi apa yang disepakati umat atas kehalalannya berdasarkan Kitab Allah Ta’ala yang telah menyebutkannya, dan Hadits rasul-Nya saw. Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Khatthab ra dari perkatan yang berbeda dengan itu, dengan sanad yang lebih shahih, yaitu apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata,

Umar berkata: Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak menikahi wanita Muslimah.

Umar membenci Thalhah dan Hudzaifah ra menikahi wanita Yahudi dan Nasrani hanyalah khawatir kalau orang-orang mengikuti keduanya dalam hal itu, lalu mereka tidak membutuhkan wanita Muslimat, atau makna-makna selainnya. Maka Umar memerintahkan keduanya untuk menceraikan  dua wanita kitabiyah itu. Sebagaimana riwayat dari Syaqiq, ia berkata: Hudzaifah beristerikan wanita Yahudi, lalu Umar menulis surat kepadanya: “Lepaskanlah dia.” Lalu Hudzaifah membalas surat kepada Umar: Apakah kamu kira bahwa ia haram maka aku (harus) melepaskannya? Lalu Umar menjawab: Aku tidak mengira bahwa dia haram, tetapi aku takut kalau kalian mendapatkan al-muumisaat (wanita-wanita lacur) dari kalangan mereka (Ahli Kitab).

Dan riwayat dari al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:  Rasulullah saw bersabda: “Kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami.” Hadits ini –walaupun dalam sanadnya ada sesuatu—maka berpendapat dengannya, karena kesepakatan keseluruhan atas benarnya perkataan dengannya, itu lebih utama daripada khabar dari Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Husyib (tentang Umar memisahkan Thalhah dan Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu wanita kitabiyah). Maka arti pembicaraan itu, jadinya: “ Wahai orang-orang Mukmin, janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat, selain wanita Ahli Kitab, sehingga mereka beriman lalu membenarkan Allah, Rasul-Nya, dan apa yang diturunkan kepadanya.[11]
               
Para pembaca, kami mohon maaf, pengutipan ini panjang pula, karena untuk membuktikan, sebenarnya Imam At-Thabari apakah meriwayatkan hadits yang kedudukannya masih ada masalah itu untuk membahas masih diragukannya keharaman lelaki non Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kafirin lainnya) ataukah membahas tentang wanita muhshonat Ahli Kitab. Ternyata Imam At-Thabari hanyalah membicarakan wanita muhshonat Ahli Kitab, sama sekali tidak membicarakan lelaki Ahli Kitab dalam hal periwayatan hadits tersebut.
           
Bagaimana tim penulis Paramadina ini mau dipercaya? Zuhairi Misrawi salah seorang tim penulis FLA ketika jadi utusan Paramadina dalam berdebat dengan Majelis Mujahidin Indonesia 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Jakarta mengatakan, Landasan penulisan FLA di antaranya adalah Tafsir At-Thabari. Ternyata Tafsir At-Thabari yang jadi landasan itu mereka plintir pula. Tafsir At-Thabari bicara tentang wanita muhshonat Ahli Kitab, sedang FLA menjadikannya sebagai alasan untuk membolehkan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah. Ini cara penulisan fiqih model apa?
           
Dalam hal lelaki non Islam haram menikahi wanita Muslimah sudah jelas berdasarkan Al-Qran  2:221  dan 60: 10.  Sebagai tambahan bisa dikemukakan hadits dan atsar (perkataan) sahabat Nabi saw.

Riwayat dari Hasan, dari Jabir ditanyakan kepadanya, disebutkan Nabi saw bersabda, ya, beliau bersabda: Kami tidak mewaris (harta) Ahli Kitab dan mereka tidak mewaris (harta) kami kecuali apabila lelaki mewaris hambanya atau amatnya (budak wanitanya), dan kami menikahi wanita-wanita mereka (ahli kitab) dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami. (HR At-Thabrani dalam Al-Awsath, dan rijal –tokoh periwayat-periwayatnya tsiqot, terpercaya).[12]

Bagi Abdur Razaq dan Ibnu jarir, dari Umar bin Khatthab, ia berkata:  “Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak menikahi Muslimah”.   Dan bagi Abd bin Humaid dari Qatadah berkata: “Allah menghalalkan untuk kita (Muslimin) muhshonatain (dua macam wanita muhshonah/ yang menjaga diri): Muhshonah mu’minah dan muhshonah dari Ahli Kitab. Wanita-wanita kami (Muslimah) haram atas mereka (lelaki Ahli Kitab), dan wanita-wanita mereka (Ahli Kitab) bagi kami (Muslimin) halal.[13]
           
Tidak diragukan lagi, wanita Muslimah haram dinikahi oleh lelaki non Muslim secara mutlak, baik mereka itu Yahudi, Nasrani, Majusi, Konghucu, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , Sikh, dukun/ paranormal penyembah jin- syetan atau kafirin lainnya.  

Isteri masuk Islam

Setelah terbukti ngawurnya tim penulis FLA Paramadina, di sini perlu dikemukakan, yang jadi bahan pembahasan para ulama adalah apabila isteri masuk Islam di bawah suami yang musyrik, Nasrani, Yahudi, ataupun Majusi dan agama-agama selain Islam. Ini perlu ditambahkan di sini untuk lebih memantapkan bahwa lelaki non Islam (baik Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun agama-agama selain Islam) haram bagi wanita Muslimah, walau ketika sebelum itu si wanita itu kafir juga. Namun ketika si wanita masuk Islam maka suaminya yang kafir itu jadi haram atasnya.

Di dalam Kitab Shahih Bukhari dikemukakan:

Bab: Apabila wanita musyrikah atau Nasrani masuk Islam di bawah (suami) kafir dzimmi atau kafir harbi (musuh).

Abdul Warits berkata, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “Apabila wanita Nasrani masuk Islam satu saat sebelum suaminya, maka dia haram atas suaminya.”
Imam Ibnu Hajar menjelaskan atsar yang dikutip Imam Bukhari tersebut, dalam Kitab Fathul Bari, di antaranya:

At-Thahawi  mengeluarkan/ mentakhrij dari jalan Ayub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada di bawah (suami) Yahudi atau Nasrani lalu wanita itu masuk Islam, maka dia (Ibnu Abbas) berkata, Dipisahkan antara keduanya (suami isteri) oleh Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli atasnya.”  Sanadnya shahih.  (Itulah teks dalam Kitab Shahih Bukhari dan sebagian penjelasan di Kitab Fathul Bari).

Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni menjelaskan:

Fasal kelima: Apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama. Ibnu Abdil Barr berkata, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, kecuali sedikit yang diriwayatkan dari An-Nakho’I, ada keanehan menurut jama’ah ulama, maka tidak diikuti oleh seorang pun.  (An-Nakho’I) mengira bahwa (isteri yang telah habis iddahnya) dikembalikan kepada suaminya, walaupun telah lama waktunya, karena apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw mengembalikan Zainab kepada suaminya, Abil Ash, dengan nikahnya yang awal, driwayatkan oleh Abu Daud. Dan Imam Ahmad mengajukan alasan      padanya. Ia ditanya, tidakkah diriwayatkan bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) dengan nikah lanjutan? Dia (Ahmad) menjawab: Itu tidak ada sumbernya. Dan dikatakan, antara keislaman Zainab dan dikembalikannya kepada suaminya (Abil Ash yang tadinya kafir kemudian masuk Islam) itu 8 tahun.
           
Dan bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta’ala:

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10). Dan (juga adanya) kesepakatan yang kental (ijma’ mun’aqod) atas pengharaman perkawinan Muslimat dengan lelaki kafir. Adapun kisah Abil Ash dengan isterinya (Zainab. puteri Nabi saw), maka Ibnu Abdil Barr berkata, tidak sunyi dari  bahwa kejadiannya sebelum turunnya pangharaman nikah Muslimat dengan lelaki kafir, lalu dinasakh (dihapus) dengan (ayat) yang datang setelahnya, atau isteri itu hamil yang berlangsung kehamilannya sampai suaminya masuk Islam, atau istri sakit tidak haidh 3 kali haidh sehinga lelakinya masuk Islam, atau iseri itu dikembalikan kepada suaminya dengan nikah yang baru. Sungguh telah meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Sunannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) kepada Abil Ash dengan nikah yang baru. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata, Aku mendengar Abd bin Humaid berkata, aku dengar Yazid bin Harun berkata: Hadits Ibnu Abbas adalah sebaik-baik sanad, dan pengamalannya itu atas hadits Amru bin Syuaib).[14] 
           
Demikian pembahasan tentang apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama, apabila isteri yang tadinya kafir kemudian masuk Islam lebih dulu dari suaminya.
           
Pembahasan itu lebih menguatkan bahwa lelaki kafir jenis apapun (Yahudi, Kristen, katolik, Majusi, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , dan musyrikin lainnya) haram menikahi wanita Muslimah.  
           
Masalah Menikahi Wanita Muhshonat dari Kalangan Ahli Kitab

            Masalah menikahi wanita muhshonat (merdeka dan menjaga diri serta kehormatannya) yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka pembicaraan ulama di antaranya sebagai berikut:

          Masalah Perkataan, “ wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan sembelihan mereka halal bagi Muslimin” tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli ilmu, alhamdulillah, mengenai halalnya wanita Ahli Kitab yang merdeka. Di antara yang diriwayatkan mengenai hal itu di antaranya Umar, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, salman, jabir dan lainnya. Ibnu Mundzir berkata: Tidak sah dari seorang pun dari generasi awal-awal yang mengharamkan itu. Al-Khalal meriwayatkan dengan snadnya, bahwa Khudzaifah, Thalhah, al-Jarud bin  al-Mu’alla, dan Udzainah bin al-‘abdi  beristerikan wanita-wanita ahli Kitab. Para ahli ilmu berpendapat dengan khabar itu.

            Syi’ah Imamiyah mengharamkannya (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firmanNya Ta’ala, dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman (QS 2: 221), dan ayat,  Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10). 

Bagi kami firman Allah Ta’ala: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS Al-Maaidah: 5).[15]

Ketika hal itu sudah tsabat (kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (ahli kitab), karena Umar berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, "talaklah mereka", maka mereka pun menalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), "talaklah". Dia (Hudzaifah) berkata, " Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?"

Umar berkata,  "dia itu jamrah (batu bara aktif), talaklah dia".

(Hudzaifah) berkata, " Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?"

Umar berkata, dia itu jamrah.

Hudzaifah berkata, saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal. Maka setelah itu ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah) ia ditanya (orang), kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar?

Hudzaifah mengatakan, aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan karena barangkali hati Umar cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu) lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah/ menguji Umar,  dan barangkali di antara keduanya ada anak maka cenderung kepadanya (wanita kitabiyah).[16] 

 

Wanita Kitabiyah Hanya Yahudi dan Nasrani


            Fasal: Ahli Kitab yang mereka hukumnya seperti ini (boleh menikahi wanitanya yang muhshonat tetapi yang lebih utama adalah tidak usah menikahinya) adalah ahli kitab Taurat dan Injil. Allah Ta'ala berfirman, (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, (QS Al-An'aam: 156). Maka pengikut Taurat adalah Yahudi dan As-Samirah (Orang Sameria), dan pengikut Injil adalah Nasrani dan orang-orang yang berdiri dengan mereka dalam agama asli mereka yaitu Ifrinji (orang Eropa), Arman (Roman) dan lainnya. Adapun Shobi’un maka kaum salaf banyak berbeda pendapat mengenainya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa mereka (shobi'un) adalah dari jenis Nasrani.

Adapun orang kafir selain mereka (ahli kitab) seperti yang mengikuti (berpedoman) dengan  shuhuf Ibrahim dan Syit, dan (berpedoman dengan) zabur Daud maka mereka bukanlah ahli kitab. Tidak halal menikahi mereka, dan tidak pula sembelihannya. Ini pendapat Syafi'i.

Pada bagian selanjutnya dijelaskan:

Bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta'ala, Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat (QS Al-Baqarah/ 2: 221), dan firmanNya, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10) lalu Dia memberi rukhshoh (keringanan)  dari (larangan) yang demikian itu mengenai ahli kitab. Maka orang-orang kafir selain ahli kitab tetap di atas keumuman (ayat larangan itu). Dan tidak ada dalil kuat (lam yatsbut) bahwa Majusi memiliki ktab. Imam Ahmad ditanya, apakah benar riwayat dari Ali bahwa Majusi itu memiliki kitab. Lalu dia menjawab, ini batil, dan dibesar-besarkan sekali. Seandainya ada riwayat kuat (tsabat) bahwa mereka memiliki kitab, maka sungguh telah kami jelaskan bahwa hukum ahli kitab tidak kuat (laa yatsbut) untuk selain dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, pen).

Dan sabda Nabi saw, perlakukanlah pada mereka (Majusi) (sebagaimana) perlakuan terhadap ahli kitab itu adalah dalil bahwasanya Majusi tidak memiliki kitab. Nabi saw hanya lah menginginkan perlakuannya itu dalam penahanan darah mereka dan pengakuan mereka dengan jizyah (upeti), tidak ada lain.[17]

Pasal: Seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dianggap bagus yaitu berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ahli ilmu dalam mengharamkan (nikah dengan) perempuan-perempuan mereka dan (haram makan) sembelihan mereka. Hal itu berdasarkan dua ayat yang telah kami sebutkan[18], dan tidak ada yang bertentangan dengan keduanya.[19]

Puncak Pembatalan Syari’at Allah Swt


Telah tuntas pembahasan tentang nikah beda agama. Telah terkuak kesembronoan FLA yang sangat menyesatkan umat Islam dan bermuatan pemurtadan itu. Namun masih ada pernyataan yang lebih gawat lagi dari FLA, dan merupakan puncak pembatalan Syari’at Allah swt. Yaitu ungkapan FLA:

“…amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (FLA, halaman 164).
           
Ungkapan “pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya” (FLA, halaman 164) itu adalah pembatalan syari’at Allah swt yang jelas tercantum di dalam Al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

Juga ayat Al-Qur’an:

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah/ 2: 221).
           
Karena tim penulis FLA sudah terbukti ungkapannya yang menggugurkan dan membatalkan syari’at Allah dengan tulisannya seperti itu, maka pembicaraan mereka mengenai pembatalan-pembatalan syari’at Allah yang ada di dalam Hadits di antaranya tentang tidak saling mewarisi antara Muslim dan kafir, sudah kami cukupkan dengan apa yang telah kami singgung di bab lain. Astaghfirullahalazhiem!




[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, Darul Fikr, Beirut, cetakan baru, 1992M/ 1412H, jilid 2, halaman 509.
[2] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 28, halaman 113.
[3] ibid, halaman 114.

[4] ibid, halaman 114.
[5] Ibnu Qudamah, Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal, Juz 3, halaman 47. 
[6] Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy, Minhajul Muslim, halaman 563.
[7] Muhammad Ali As-Shobuni, Rowai’ul Bayan, juz 1 halaman 289.
[8] Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 3 halaman 67.
[9] Ibnu Abdil Barr, Al-Ijma’, halaman 250.
[10] Shalih Al-Fauzan, Al-Mulakkhash Al-Fiqhiy juz 2 halaman 272, seperti dikutip Buletin Dakwah An-Nur, Jakarta,  Jumadil Ula 1423H/ 12 Juli 2002M.
[11] As-Syaukani, Fathul Qadir, juz 2, halaman 388, menafsiri Surat Al-Baqarah ayat 221 merujuk pada Tafsir At-Thabari, juz 2 halaman 378, ujungnya sebagai berikut:
[12] Majma’ Az-Zawaaid, juz 4, halaman 226
[13]  Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud, juz 8, halaman 9, hadits nomor 2434.
[14] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7, halaman 118-119.
[15] Ibnu Qudamah, Al-Mughni juz 7, halaman 99
[16] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7, halaman 100
[17] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7, halaman 100-101.
[18] Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat (QS Al-Baqarah/ 2: 221), dan firmanNya, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
[19] Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 7, halaman 101.