Minggu, 29 April 2012

Agama Islam dan Syir’ah Setiap Umat


Di sini akan dibahas tentang agama yang satu, yaitu Islam, dan setiap umat punya syir’ah (syari’at), minhaj (jalan), dan mansak (tatacara ibadah). Tentang agama yang satu, Islam,  sejak nabi pertama sampai nabi terakhir Muhammad saw agamanya tetap Islam, walaupun syari’atnya berbeda-beda.

Tentang syari’at atau syir’atnya berbeda-beda ini bahkan dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu sendiri ada juga perbedaan-perbedaan antara syari’at yang pertama dan kemudian dihapus dengan syari’at yang kedua (baru), misalnya kiblat yang semula Baitul Maqdis kemudian dihapus dan diganti dengan Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, namun agamanya tetap Islam. Jadi agama dari Allah tetap satu, Islam, walau syari’atnya bermacam-macam, diganti-ganti dengan syari’at yang baru.

Agama yang lama yang dibawa oleh nabi terdahulu diganti dengan agama yang baru yang dibawa nabi berikutnya, walaupun masih sama-sama Islam, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang baru. Syari’at yang lama diganti dengan yang baru, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang baru. Sehingga dengan datangnya Nabi Muhammad saw yang diutus membawa agama Islam sebagai nabi terakhir, nabi yang paling utama, dan tidak ada nabi sesudahnya, wajib diikuti oleh seluruh manusia sejak zamannya sampai kelak. Diutusnya Nabi Muhammad saw ini berbeda dengan nabi-nabi lain, karena nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw itu masing-masing hanya untuk kaumnya. Sedang Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia sejak saat diutusnya (610M) sampai hari kiamat kelak. Siapa yang tidak mengikutinya maka kafir, walaupun tadinya beragama dengan agama nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Sedangkan orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw pun kalau sudah ada syari’at baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pula, lalu pengikut itu menolak dan ingkar, maka menjadi kafir pula. Misalnya, orang Muslim yang mengikuti agama Nabi Muhammad saw, sudah mendapat penjelasan bahwa kiblat yang baru adalah Ka’bah, sedang sebelumnya kiblatnya adalah Baitul Maqdis; lalu si Muslim itu menolak kiblat yang baru (Ka’bah), maka kafir pula, sebab menolak ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Apalagi yang mengikuti agama nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, begitu datang Nabi Muhammad saw sebagai utusan dengan Islam yang baru, maka wajib mengikuti Nabi Muhammad saw. Bila tidak, maka kafir.

Kelompok liberal dan juga tim penulis Fiqih Lintas Agama dari Paramadina Jakarta mencari-cari jalan untuk mempropagandakan faham yang melawan ketentuan Islam yaitu pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, parallel, dan menuju kepada keselamatan semua, hanya beda teknis. Mereka mencari kilah-kilah, dan kadang sampai membawa-bawa ulama terkemuka seperti Ibnu Taimiyah dikesankan membela faham pluralisme agama itu. Untuk lebih jelasnya, kami kutip bagian-bagian yang mereka cantumkan dalam buku mereka, Fiqih Lintas Agama.
           
Kutipan:

            “Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar, dan hukum-hukum atau syari’atnya masih berlaku untuk kaum Muslim, sepanjang tidak dengan jelas dinyatakan telah di-nasakh atau diganti oleh al-Qur’an.” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama).

Dan atas dasar persamaan tersebut, al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi saw agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (QS. 3: 64). Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum  Nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak menjalankan ajaran yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (dialamatkan kepada kaum Yahudi), dan mereka itu orang-orang fasik (dialamatkan kepada kaum Nasrani) (QS. 5: 44-47). (FLA, halaman 56-57).
            Tanggapan:
           
Ungkapan FLA: “…al-Qur’an memuat perintah Allah… Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum  Nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka,…” ini adalah kata penutup dan sebagai kunci dari “aqidah kaum pluralis” yang mereka sebut dalam sub judul  Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama. Kalimat itu adalah ungkapan bikinan orang-orang berfaham liberal, berkeyakinan semua agama sama, yang tergabung dalam kelompok penulis FLA di Paramadina. Di situ mereka telah mengadakan pemlintiran dan pengecohan yang sangat menyesatkan, sehingga al-Qur’an mereka tuduh terang-terangan sebagai yang memuat perintah Allah swt agar orang-orang Yahudi dan Nasrani  (sekarang pun cukup) mentaati kitab-kitab mereka, (tanpa masuk Islam, sudah sah keimanan mereka, dan sama dengan agama-agama lain, sama juga dengan Islam).

Secara susunan kalimat, memang kalimat bikinan FLA Paramadina itu tidak salah. Tetapi secara isi dan kontek kalimat-kalimat yang mereka kemukakan itu adalah sangat bertentangan dengan Islam, sebab mereka telah menyembunyikan hal yang prinsip yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, ketika menafsiri ayat 47 surat Al-Maaidah/5 itu menegaskan: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.”  Maksudnya, agar mereka beriman kepada semua yang dikandungnya dan menjalankan semua yang Allah perintahkan kepada mereka. Dan di antara yang terdapat dalam Injil adalah berita gembira akan diutusnya Muhammad sebagai rasul, serta perintah untuk mengikuti dan membenarkannya jika dia telah ada. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68).

Dan firman Allah Ta’ala:

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-A’raaf: 157).

Oleh karena itu Allah berfirman di sini:

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS Al-Maaidah/ 5: 47).

Yaitu orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka, dan cenderung kepada kebatilan serta meninggalkan kebenaran, dan telah berlalu bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Nasrani dan itulah yang tampak dari redaksionalnya.[1]

Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir itu bisa dibandingkan betapa jauhnya arah Al-Qur’anul Kariem dari faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama yang diusung oleh firqah liberal dan Fiqih Lintas Agama produk Paramadina. Ternyata Yahudi dan Nasrani yang tidak mengikuti Nabi Muhammad saw setelah beliau diutus, dan tidak mengikuti Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad saw maka mereka adalah kafir, tidak dipandang beragama sedikitpun.

 

Memlintir Ibnu Taimiyah


Sebelum memlintir Al-Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu juga  memlintir Ibnu Taimiyah sebagaimana tertera dalam kutipan di atas. Untuk membuktikan apakah Ibnu Taimiyah seperti yang diklaim secara plintiran oleh Tim FLA Paramadina itu atau tidak, maka berikut ini kami kutip penjelasan Imam Ibnu Taimiyah.

Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda-bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak bagi setiap umat ini dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661-728H, , 2 juz,  1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman:

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 213).

Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan naasu ummatan wahidah (Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus[2], inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul.

Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk (pendapat) yang batil.  Karena agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam-macam syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala:

“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48).[3]

Apa yang telah Allah jadikan bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang  dulu berpegang dengan Taurat dan Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama Islam, walaupun syari’at  untuk mereka itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang-orang yang berpegang pada Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).

Oleh karerna itu ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat,  “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman,  “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).

Dan telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa memiliki bekal atau unta/ kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya).

Allah Ta’ala berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18).

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran: 19).

Kemudian jika mereka mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20).[4]
Maka Allah Swt telah mengabarkan bahwa agama di sisinya itu adalah al-Islam awal dan akhir, dan dia itu agama yang satu. Kemudian Dia menjelaskan bahwa Ahli Kitab sesungguhnya mereka berselisih hanyalah setelah ilmu datang kepada mereka lalu kedengkian ada di antara mereka dari sebagian atas sebagian mereka, bukan karena mencari kebenaran. Dan ini seperti Firman Allah Ta’ala: 

“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al-Bayyinah: 4).
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah: 5).

Dan Allah berfirman dalam ayat-ayat yang lain:

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 16).

Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya. (QS 45: 17).

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS 45: 18).

Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 19).

Perbedaan mutlak yang dicela Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an adalah kalau setiap golongan menciptakan perkataan baru yang di dalamnya tercampur haq dan batil, maka setiap golongan/ kelompok saling berbeda dengan kelompok lain dan saling bermusuhan, dan masing-masing menyelisihi agama Islam yang Allah utus para utusan dengannya. Seperti Yahudi dan Nasrani saling berbeda mengenai Al-Masih dan lainnya. Dan para pengikut hawa nafsu dari umat ini berbeda pula (dengan kemurnian agama Islam, pen).

Maka sesungguhnya Islam adalah  tengah-tengah di dalam (kalangan) agama-agama.  Antara “ujung-ujung yang saling tarik menarik” dan “sunnah dalam Islam” seperti Islam dalam agama-agama. Maka orang-orang Muslim dalam hal (sikapnya tentang) sifat Allah Ta’ala adalah tengah-tengah antara Yahudi dan Nasrani. Yahudi menyerupakan Pencipta dengan makhluk, maka mereka (Yahudi) menyifati Maha Pencipta dengan sifat-sifat tertentu pada makhluk yaitu sifat kurang (tak sempurna). Mereka berkata, sesungguhnya Allah itu fakir, dan sesungguhnya Allah itu bakhil, dan Allah itu lelah ketika menciptakan alam maka Dia beristirahat. Dan (lain lagi) Nasrani, mereka menyerupakan makhluk dengan Khaliq, maka mereka menyifati makhluk dengan sifat-sifat tertentu pada Khaliq. Mereka mengatakan, dia (Isa bin Maryam, pen) adalah Allah. Sedangkan orang-orang Muslim menyifati Khaliq dengan sifat-sifat yang sempurna dan mensucikannya dari sifat-sifat kurang. Dan Muslimin mensucikanNya dari adanya tandingan bagiNya dalam hal sifat-sifat kesempurnaan, maka Dia terbebas dari sifat-sifat kurang secara mutlak. Dan makhluk-makhluk pun dibersihkan dari sifat-sifat kesempurnaan yang menyamai-Nya. 

Demikian pula dalam hal nabi-nabi, kaum Muslimin bersikap tengah-tengah. Orang Yahudi sebagaimana Allah firmankan mengenai mereka:

“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”  (QS AlBaqarah: 87).

Demikian pula mereka (Yahudi) membunuh nabi-nabi dan membunuh orang yang memerintahkan keadilan di antara manusia.

Dan orang-orang nasrani bersikap ghuluw (ekstrim), maka mereka menyekutukan Allah dengan mereka dan orang-orang selain mereka. Allah berfirman mengenai mereka:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At-Taubah: 31).

Orang-orang Muslim beriman kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan dan tidak membeda-bedakan antara salah satu dari mereka, karena mengimani seluruh nabi-nabi itu adalah fardhu lagi wajib, dan barangsiapa kafir/ mengingkari satu nabi (saja) dari mereka (para nabi itu) maka sungguh dia telah kafir kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan. Dan barangsiapa mencaci seorang nabi dari para nabi maka dia telah kafir, wajib dibunuh dengan kesepakatan para ulama, dan mengenai diminta tobatnya ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama).

Firman Allah Ta’ala:
Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS Al-Baqarah: 136).

Dan Firman Allah Ta’ala:
“…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …” (QS Al-Baqarah: 177).

Dan FirmanNya:
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS Al-Baqarah: 285).

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS Al_Baqarah: 286).[5]
           
Inti dari uraian Imam Ibnu Taimiyah itu adalah kalimat beliau:

“Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).”

Maka pengutipan tim penulis FLA dari Paramadina terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tanpa merujuk sumbernya dengan kalimat:

“Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar,…” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama)  itu jelas-jelas satu pengelabuhan, entah itu dengan cara memotong-motong sebagian dari kalimat-kalimat Imam Ibnu Taimiyah hingga konteksnya jadi lain, atau dengan cara lainnya. Yang jelas, Imam Ibnu Taimiyah justru mengkafirkan siapa saja yang tidak masuk Islam setelah sampai kepada mereka da’wah Nabi Muhammad saw. Dan itu satu bukti nyata, bahwa faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) sama sekali tidak bisa dikait-kaitkan dengan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun orang-orang yang melandasi propagandanya tentang pluralisme agama dengan mengutip-ngutip pernyataan Ibnu Taimiyah itu boleh dipertanyakan keilmiyahan mereka secara metodologis, dan bahkan kejujurannya dalam pembahasan secara akademis.

Pengutipan secara panjang dari pendapat Ibnu Taimiyah yang saya lakukan ini memang dari segi metodologi yang biasa dipakai dipandang kurang kena. Tetapi saya mohon maaf, hal ini saya lakukan karena untuk mencari kejelasan, seperti apa pendapat Ibnu Taimiyah dalam hal Islam dan agama-agama terutama Yahudi dan Nasrani. Sehingga terjawablah secara tuntas apabila dengan mengutip secara runtut walaupun panjang dari uraian Ibnu Taimiyah yang sebenarnya, bukan hanya dicomot-comot secara semaunya model para penulis FLA, untuk kepentingan yang bertentangan dengan Ibnu Taimiyah itu sendiri.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan:

Islam sesungguhnya hanyalah penyembahan kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Dia disembah hanya dengan apa yang Dia perintahkan. Maka setiap yang Dia perintahkan, yaitu ketika  sesuatu itu diperintahkanNya maka termasuk bagian dari agama Islam, dan ketika (perintah itu tadi) telah Dia larang maka tidak termasuk lagi dari bagian agama Islam. Seperti dahulu shokhroh (batu di Baitul Maqdis sebagai kiblat) pertama dulunya adalah termasuk dari bagian agama Islam, kemudian Dia larang (berkiblat lagi) terhadapnya maka tidak tersisa lagi bagiannya dari Islam. Oleh karena itu yang berpegang pada Hari Sabat (hari upacara Yahudi) dan lainnya dari syari’at-syari’at yang telah dinasakh (dihapus) maka bukan termasuk agama Islam, lalu bagaimana lagi dengan yang telah diganti. Allah Ta’ala sama sekali tidak rela terhadap agama selain Islam, dan tidak satupun dari para rasulNya, lebih-lebih Nabi Muhammad penutup para nabi, beliau tidak rela terhadap seorangpun kecuali dengan agama Islam, tidak terhadap orang-orang musyrikin dan tidak pula terhadap orang-orang yang telah diberi al-kitab (Ahli Kitab). [6]

Para Filosuf dan Teolog


            Setelah jelas paparan Imam Ibnu Taimiyah tentang siapa saja yang telah kedatangan seruan Islam namun tidak masuk Islam maka kafir, pada bagian selanjutnya diuraikan pula kekafiran para filosuf yang tidak mengikuti agama Rasul. Lalu dikemukakan pula jauhnya kesesatan filosuf yang berdalih Islam namun jauh dari Islam, dan juga kesesatan para teolog/ ahli kalam.

Buku Fiqih Lintas Agama adalah ditulis oleh tim Paramadina yang rata-rata menggeluti filsafat, dan juga ilmu kalam. Bahkan di antara mereka tidak menggeluti ilmu fiqih secara spesialistis. Ada yang tadinya belajar fiqih, namun akhirnya “lari” pula ke filsafat. Oleh karena itu, sorotan Ibnu Taimiyah tentang para filosuf dan teolog ini perlu kami kutip sebagai berikut:   

Apabila demikian, maka para filosuf Yunani, filosuf Arab, Parsi, India dan semua bangsa yang tidak memiliki kitab suci maka mereka dalam hal perkara-perkara ketuhanan bukanlah dalam kedudukan ulama Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka adalah lebih tahu daripada mereka mengenai perkara-perkara ketuhanan. Kemudian mereka semuanya itu di kala seorang rasul datang kepada mereka lalu mereka mendusktakannya maka mereka kafir. Dan apabila mereka berada di atas syari’at rasul dengan mengerjakan syari’at itu dengan tidak ada penggantian maka mereka mukmin muslim termasuk ahli surga. Dan apabila mereka tidak berada di atas syari’at dan tidak datang kepada mereka seorang rasul maka mereka ahli jahiliyah seperti ahli fatrat (masa jeda tidak ada rasul). Dan telah luas pembicaraan mengenai mereka di lain tempat.

Para filosuf yang telah kedatangan da’wah Nabi Muhammad saw sebagian mereka ada yang berpura-pura/ berdalih dengan Islam, sebagian ada yang dari Yahudi, dan sebagian mereka dari Nasrani. Dan setiap orang yang menyelisihi apa (wahyu) yang dibawa oleh para rasul maka dia sesat, dari golongan manapun dia berada. Karena Allah telah mengutus para rasul itu dengan kebenaran, dan akal yang jelas senantiasa menyepakati apa yang dibawa oleh para rasul, tidaklah akal yang jelas itu menyelisihi sedikitpun dari apa yang dibawa oleh para rasul. Ini telah dibentangkan dalam kitab Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan-Naql.  

Para filosof yang berdalih dengan Islam, mereka berkata bahwa mereka mengikuti Rasul, tetapi apabila disingkap hakekat apa yang mereka katakan mengenai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka jelas bedanya bagi orang yang mengetahui apa yang dibawa oleh Rasul dan apa yang mereka katakan, dalam perkara yang sama, bahwa perkataan mereka bukanlah perkataan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bukan perkataan Muslimin tetapi di dalamnya ada perkataan-perkataan dari orang-orang kafir dan munafiqin serba banyak.

Dan firqoh-firqoh ahli Kalam (Teologi) beserta bid’ah dan kesesatan mereka lebih dekat kepada Rasul dan kepada agama Islam (dibanding para filosuf tadi) baik firqoh Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah maupun Karamiyah. Tetapi tokoh-tokoh mereka (firqoh-firqoh ahli Kalam/ Teologi) bergumul dalam perdebatan yang rusak secara  (dalil) sam’i dan akali. Mereka tidak tahu agama Islam dalam banyak masalah yang mereka perselisihkan, bahkan mereka menyandarkan kepada Islam apa-apa yang bukan dari Islam, dan mereka tidak berkata dalam berdalil dan menjawab terhadap lawan mereka dengan hal yang benar, tetapi mereka menolak kebatilan dengan kebatilan pula dan menghadapi bid’ah dengan bid’ah pula.

Tetapi kebatilan para filosuf lebih banyak dan mereka lebih besar penyelisihannya terhadap kebenaran yang diketahui dengan dalil-dalil syar’I dan akali dalam perkara-perkara ketuhanan dan agama dibanding para mubtadi’in (ahli bid’ah) dari ahli Kalam (Teologi). Tetapi kelemahan pengetahuan para Mutakallimin (Teolog) terhadap kebenaran dan dalil-dalilnya telah menutupi mereka, sebagaimana tentara-tentara fasik (tidak taat aturan Islam) apabila berperang melawan tentara kafir dalam suatu peperangan, mereka tidak jadi orang sholehnya orang-orang taqwa dan bukan orang jahatnya orang-orang kuat (yang membela Islam). Hal itu termasuk yang menyebabkan orang-orang kafir menguasai mereka, dan kalau kafirin mengalahkan mereka dengan kedurjanaan dan kedhaliman pun mereka (tentara fasik itu) merasa memperoleh kemenangan, karena perbuatan jahat itu tempat bergumulnya adalah kejahatan pula. [7]

Demikianlah uraian Ibnu Taimiyah, bukan hanya menegaskan kekafiran orang Yahudi dan Nasrani setelah kedatangan Islam lalu mereka tidak mau masuk Islam, namun juga kekafiran para filosuf yang tidak mau mengikuti Rasul. Lalu diuraikan pula posisi filosuf yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dari Islam, dibandingkan dengan para ahli bid’ah dari ahli Kalam/ Teologi. Para filosuf yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dengan Islam itu kebatilannya lebih jauh dibanding  firqoh-firqoh ahli kalam, baik itu Khawarij, Mu’tazlah, Syi’ah, dan Karamiyah. Meskipun demikian, firqoh-firqoh itu ternyata mudah sekali dikalahkan oleh orang-orang kafir, bahkan sudah dikalahkan pun masih merasa diri mereka menang.

Setelah melihat uraian Ibnu Taimiyah yang semacam itu, dan kini tampak jelas gejala bahwa orang-orang yang menggeluti filsafat dan Ilmu Kalam itu menyusunya kepada kafirin orientalis di Barat, atau menetek kepada murid dari kafirin orientalis Barat, maka bisa diperbandingkan. Kini pemandangannya jadi aneh. Bukannya berperang melawan kafirin, namun mencari dana dari kafirin, lalu untuk merusak Islam lewat karya-karya yang diatas-namakan ilmu Islam. Betapa jauhnya antara generasi yang dibahas Imam Ibnu Taimiyah dengan generasi  sekarang. Padahal, generasi yang dibahas Ibnu Taimiyah itu saja dalam menghadapi orang kafir dan menegakkan Islam sudah tidak ada sumbangan yang menguntungkan bagi Islam, bahkan merugikan. Apalagi generasi yang sudah nyadong catu (minta jatah) kepada kafirin sekarang ini. #



[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, Darul Fikr, Beirut, 1412H/ 1992, jilid 2, halaman 81-82.
[2] “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS Yunus: 19).
[3] Ibnu Taimiyyah 661-728H, As-Shofadiyah,  2 juz ,  1406H cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307-308.

[4] Ibid, halaman 308-309.

[5] Ibnu Taimiyyah 661-728H, As-Shofadiyah,  2 juz ,  1406H cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 310- 312.

[6] Ibnu Taimiyah, As-Shofadiyah, juz 2, halaman 314-315

[7] Ibnu Taimiyah, Ibid, halaman  326-327.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar