Di sini akan dibahas tentang agama yang satu, yaitu Islam,
dan setiap umat punya syir’ah (syari’at), minhaj (jalan), dan mansak (tatacara
ibadah). Tentang agama yang satu, Islam,
sejak nabi pertama sampai nabi terakhir Muhammad saw agamanya tetap
Islam, walaupun syari’atnya berbeda-beda.
Tentang syari’at atau syir’atnya berbeda-beda ini bahkan
dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu sendiri ada juga
perbedaan-perbedaan antara syari’at yang pertama dan kemudian dihapus dengan
syari’at yang kedua (baru), misalnya kiblat yang semula Baitul Maqdis kemudian
dihapus dan diganti dengan Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, namun agamanya
tetap Islam. Jadi agama dari Allah tetap satu, Islam, walau syari’atnya
bermacam-macam, diganti-ganti dengan syari’at yang baru.
Agama yang lama yang dibawa oleh nabi terdahulu diganti
dengan agama yang baru yang dibawa nabi berikutnya, walaupun masih sama-sama
Islam, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang baru. Syari’at yang
lama diganti dengan yang baru, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang
baru. Sehingga dengan datangnya Nabi Muhammad saw yang diutus membawa agama
Islam sebagai nabi terakhir, nabi yang paling utama, dan tidak ada nabi
sesudahnya, wajib diikuti oleh seluruh manusia sejak zamannya sampai kelak.
Diutusnya Nabi Muhammad saw ini berbeda dengan nabi-nabi lain, karena nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad saw itu masing-masing hanya untuk kaumnya. Sedang Nabi
Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia sejak saat diutusnya (610M) sampai
hari kiamat kelak. Siapa yang tidak mengikutinya maka kafir, walaupun tadinya
beragama dengan agama nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Sedangkan orang yang
mengikuti Nabi Muhammad saw pun kalau sudah ada syari’at baru yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw pula, lalu pengikut itu menolak dan ingkar, maka menjadi
kafir pula. Misalnya, orang Muslim yang mengikuti agama Nabi Muhammad saw,
sudah mendapat penjelasan bahwa kiblat yang baru adalah Ka’bah, sedang
sebelumnya kiblatnya adalah Baitul Maqdis; lalu si Muslim itu menolak kiblat
yang baru (Ka’bah), maka kafir pula, sebab menolak ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Apalagi yang mengikuti agama nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad saw, begitu datang Nabi Muhammad saw sebagai utusan
dengan Islam yang baru, maka wajib mengikuti Nabi Muhammad saw. Bila tidak,
maka kafir.
Kelompok liberal dan juga tim penulis Fiqih Lintas Agama
dari Paramadina Jakarta mencari-cari jalan untuk mempropagandakan faham yang
melawan ketentuan Islam yaitu pluralisme agama, menganggap semua agama sama,
sejajar, parallel, dan menuju kepada keselamatan semua, hanya beda teknis.
Mereka mencari kilah-kilah, dan kadang sampai membawa-bawa ulama terkemuka
seperti Ibnu Taimiyah dikesankan membela faham pluralisme agama itu. Untuk
lebih jelasnya, kami kutip bagian-bagian yang mereka cantumkan dalam buku
mereka, Fiqih Lintas Agama.
Kutipan:
“Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap
benar, dan hukum-hukum atau syari’atnya masih berlaku untuk kaum Muslim,
sepanjang tidak dengan jelas dinyatakan telah di-nasakh atau diganti
oleh al-Qur’an.” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan
dan Kesamaan Agama-agama).
Dan atas dasar persamaan
tersebut, al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi saw agar berseru kepada
semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa (QS. 3: 64). Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk mentaati
ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak
menjalankan ajaran yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang
zalim (dialamatkan kepada kaum Yahudi), dan mereka itu orang-orang fasik
(dialamatkan kepada kaum Nasrani) (QS. 5: 44-47). (FLA, halaman 56-57).
Tanggapan:
Ungkapan FLA: “…al-Qur’an memuat perintah Allah… Bahkan kepada
kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun
diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci
mereka,…” ini adalah kata penutup dan sebagai kunci dari “aqidah kaum pluralis”
yang mereka sebut dalam sub judul Menegaskan
Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama. Kalimat itu adalah ungkapan bikinan
orang-orang berfaham liberal, berkeyakinan semua agama sama, yang tergabung
dalam kelompok penulis FLA di Paramadina. Di situ mereka telah mengadakan
pemlintiran dan pengecohan yang sangat menyesatkan, sehingga al-Qur’an mereka
tuduh terang-terangan sebagai yang memuat perintah Allah swt agar orang-orang
Yahudi dan Nasrani (sekarang pun cukup)
mentaati kitab-kitab mereka, (tanpa masuk Islam, sudah sah keimanan mereka, dan
sama dengan agama-agama lain, sama juga dengan Islam).
Secara susunan kalimat, memang kalimat bikinan FLA
Paramadina itu tidak salah. Tetapi secara isi dan kontek kalimat-kalimat yang
mereka kemukakan itu adalah sangat bertentangan dengan Islam, sebab mereka
telah menyembunyikan hal yang prinsip yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, ketika
menafsiri ayat 47 surat Al-Maaidah/5 itu menegaskan: “Dan hendaklah
orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
di dalamnya.” Maksudnya, agar mereka
beriman kepada semua yang dikandungnya dan menjalankan semua yang Allah
perintahkan kepada mereka. Dan di antara yang terdapat dalam Injil adalah
berita gembira akan diutusnya Muhammad sebagai rasul, serta perintah untuk
mengikuti dan membenarkannya jika dia telah ada. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang
beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al
Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan
kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68).
Dan firman Allah Ta’ala:
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi
yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS
Al-A’raaf: 157).
Oleh karena itu Allah berfirman di sini:
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS
Al-Maaidah/ 5: 47).
Yaitu orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rabb
mereka, dan cenderung kepada kebatilan serta meninggalkan kebenaran, dan telah
berlalu bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Nasrani dan itulah yang
tampak dari redaksionalnya.[1]
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir itu bisa dibandingkan
betapa jauhnya arah Al-Qur’anul Kariem dari faham pluralisme agama yang
menyamakan semua agama yang diusung oleh firqah liberal dan Fiqih Lintas Agama
produk Paramadina. Ternyata Yahudi dan Nasrani yang tidak mengikuti Nabi
Muhammad saw setelah beliau diutus, dan tidak mengikuti Al-Qur’an yang dibawa
Nabi Muhammad saw maka mereka adalah kafir, tidak dipandang beragama
sedikitpun.
Memlintir Ibnu Taimiyah
Sebelum memlintir Al-Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu
juga memlintir Ibnu Taimiyah sebagaimana
tertera dalam kutipan di atas. Untuk membuktikan apakah Ibnu Taimiyah seperti
yang diklaim secara plintiran oleh Tim FLA Paramadina itu atau tidak, maka
berikut ini kami kutip penjelasan Imam Ibnu Taimiyah.
Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda-bedanya
syir’ah, minhaj, dan mansak bagi setiap umat ini dijelaskan secara deteil oleh
Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu
Taimiyyah 661-728H, , 2 juz, 1406
cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya
sebagai berikut:
Allah Ta’ala berfirman:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS
Al-Baqarah: 213).
Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun,
semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan naasu ummatan wahidah (“Manusia
itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam.
Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus[2],
inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul.
Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu
termasuk (pendapat) yang batil. Karena
agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa
awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu
baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti
bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw
adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi
sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya,
sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh
Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen)
menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam-macam
syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala:
“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48).[3]
Apa yang telah Allah jadikan
bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan
tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil
sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama
Islam, walaupun syari’at untuk mereka
itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang-orang yang berpegang pada
Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam,
walaupun Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan
menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian
pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang
Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina
kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram
Makkah, pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi
Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya
da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang
diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima
(keberagamaannya oleh Allah swt).
Oleh karerna itu ketika Allah
Ta’ala menurunkan ayat, “Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS
Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang-orang
Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi
dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.” (QS Ali Imran: 97).
Dan telah diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
memiliki bekal atau unta/ kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia
tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau
sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya).
Allah Ta’ala berfirman: “Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18).
Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah
diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali
Imran: 19).
Kemudian jika mereka
mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab
dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?"
Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah).
Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20).[4]
Maka Allah Swt telah
mengabarkan bahwa agama di sisinya itu adalah al-Islam awal dan akhir, dan dia
itu agama yang satu. Kemudian Dia menjelaskan bahwa Ahli Kitab sesungguhnya
mereka berselisih hanyalah setelah ilmu datang kepada mereka lalu kedengkian
ada di antara mereka dari sebagian atas sebagian mereka, bukan karena mencari
kebenaran. Dan ini seperti Firman Allah Ta’ala:
“Dan tidaklah berpecah belah
orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang
kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al-Bayyinah: 4).
Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS
Al-Bayyinah: 5).
Dan
Allah berfirman dalam ayat-ayat yang lain:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil
Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka
rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada
masanya). (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 16).
Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan
sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat
terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya. (QS 45: 17).
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS 45: 18).
Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak
dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah
adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 19).
Perbedaan mutlak yang dicela Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an
adalah kalau setiap golongan menciptakan perkataan baru yang di dalamnya
tercampur haq dan batil, maka setiap golongan/ kelompok saling berbeda dengan
kelompok lain dan saling bermusuhan, dan masing-masing menyelisihi agama Islam
yang Allah utus para utusan dengannya. Seperti Yahudi dan Nasrani saling
berbeda mengenai Al-Masih dan lainnya. Dan para pengikut hawa nafsu dari umat
ini berbeda pula (dengan kemurnian agama Islam, pen).
Maka sesungguhnya Islam
adalah tengah-tengah di dalam (kalangan)
agama-agama. Antara “ujung-ujung yang
saling tarik menarik” dan “sunnah dalam Islam” seperti Islam dalam agama-agama.
Maka orang-orang Muslim dalam hal (sikapnya tentang) sifat Allah Ta’ala adalah
tengah-tengah antara Yahudi dan Nasrani. Yahudi menyerupakan Pencipta dengan
makhluk, maka mereka (Yahudi) menyifati Maha Pencipta dengan sifat-sifat
tertentu pada makhluk yaitu sifat kurang (tak sempurna). Mereka berkata,
sesungguhnya Allah itu fakir, dan sesungguhnya Allah itu bakhil, dan Allah itu
lelah ketika menciptakan alam maka Dia beristirahat. Dan (lain lagi) Nasrani,
mereka menyerupakan makhluk dengan Khaliq, maka mereka menyifati makhluk dengan
sifat-sifat tertentu pada Khaliq. Mereka mengatakan, dia (Isa bin Maryam, pen)
adalah Allah. Sedangkan orang-orang Muslim menyifati Khaliq dengan sifat-sifat
yang sempurna dan mensucikannya dari sifat-sifat kurang. Dan Muslimin
mensucikanNya dari adanya tandingan bagiNya dalam hal sifat-sifat kesempurnaan,
maka Dia terbebas dari sifat-sifat kurang secara mutlak. Dan makhluk-makhluk
pun dibersihkan dari sifat-sifat kesempurnaan yang menyamai-Nya.
Demikian pula dalam hal nabi-nabi, kaum Muslimin bersikap
tengah-tengah. Orang Yahudi sebagaimana Allah firmankan mengenai mereka:
“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa
sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka
beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kamu bunuh?” (QS AlBaqarah: 87).
Demikian pula mereka (Yahudi) membunuh nabi-nabi dan
membunuh orang yang memerintahkan keadilan di antara manusia.
Dan orang-orang nasrani bersikap ghuluw (ekstrim), maka
mereka menyekutukan Allah dengan mereka dan orang-orang selain mereka. Allah
berfirman mengenai mereka:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. (QS At-Taubah: 31).
Orang-orang Muslim beriman
kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan dan tidak membeda-bedakan antara
salah satu dari mereka, karena mengimani seluruh nabi-nabi itu adalah fardhu
lagi wajib, dan barangsiapa kafir/ mengingkari satu nabi (saja) dari mereka
(para nabi itu) maka sungguh dia telah kafir kepada mereka (para nabi) secara
keseluruhan. Dan barangsiapa mencaci seorang nabi dari para nabi maka dia telah
kafir, wajib dibunuh dengan kesepakatan para ulama, dan mengenai diminta
tobatnya ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama).
Firman Allah Ta’ala:
Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya". (QS Al-Baqarah: 136).
Dan Firman Allah Ta’ala:
“…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …”
(QS Al-Baqarah: 177).
Dan FirmanNya:
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka
mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a):
"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS
Al-Baqarah: 285).
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS Al_Baqarah: 286).[5]
Inti dari uraian Imam Ibnu
Taimiyah itu adalah kalimat beliau:
“Dan
siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir,
dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu
masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw,
karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).”
Maka pengutipan tim penulis FLA dari Paramadina terhadap
pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tanpa merujuk sumbernya dengan kalimat:
“Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar,…” (FLA, halaman
55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama) itu jelas-jelas satu pengelabuhan, entah itu
dengan cara memotong-motong sebagian dari kalimat-kalimat Imam Ibnu Taimiyah
hingga konteksnya jadi lain, atau dengan cara lainnya. Yang jelas, Imam Ibnu
Taimiyah justru mengkafirkan siapa saja yang tidak masuk Islam setelah sampai
kepada mereka da’wah Nabi Muhammad saw. Dan itu satu bukti nyata, bahwa faham
pluralisme agama (menyamakan semua agama) sama sekali tidak bisa dikait-kaitkan
dengan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun orang-orang yang melandasi propagandanya
tentang pluralisme agama dengan mengutip-ngutip pernyataan Ibnu Taimiyah itu
boleh dipertanyakan keilmiyahan mereka secara metodologis, dan bahkan
kejujurannya dalam pembahasan secara akademis.
Pengutipan secara panjang dari pendapat Ibnu Taimiyah yang
saya lakukan ini memang dari segi metodologi yang biasa dipakai dipandang
kurang kena. Tetapi saya mohon maaf, hal ini saya lakukan karena untuk mencari
kejelasan, seperti apa pendapat Ibnu Taimiyah dalam hal Islam dan agama-agama
terutama Yahudi dan Nasrani. Sehingga terjawablah secara tuntas apabila dengan
mengutip secara runtut walaupun panjang dari uraian Ibnu Taimiyah yang
sebenarnya, bukan hanya dicomot-comot secara semaunya model para penulis FLA,
untuk kepentingan yang bertentangan dengan Ibnu Taimiyah itu sendiri.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan:
Islam sesungguhnya hanyalah penyembahan kepada Allah
satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Dia disembah hanya
dengan apa yang Dia perintahkan. Maka setiap yang Dia perintahkan, yaitu
ketika sesuatu itu diperintahkanNya maka
termasuk bagian dari agama Islam, dan ketika (perintah itu tadi) telah Dia
larang maka tidak termasuk lagi dari bagian agama Islam. Seperti dahulu
shokhroh (batu di Baitul Maqdis sebagai kiblat) pertama dulunya adalah termasuk
dari bagian agama Islam, kemudian Dia larang (berkiblat lagi) terhadapnya maka
tidak tersisa lagi bagiannya dari Islam. Oleh karena itu yang berpegang pada
Hari Sabat (hari upacara Yahudi) dan lainnya dari syari’at-syari’at yang telah
dinasakh (dihapus) maka bukan termasuk agama Islam, lalu bagaimana lagi dengan
yang telah diganti. Allah Ta’ala sama sekali tidak rela terhadap agama selain
Islam, dan tidak satupun dari para rasulNya, lebih-lebih Nabi Muhammad penutup
para nabi, beliau tidak rela terhadap seorangpun kecuali dengan agama Islam,
tidak terhadap orang-orang musyrikin dan tidak pula terhadap orang-orang yang
telah diberi al-kitab (Ahli Kitab). [6]
Para Filosuf dan Teolog
Setelah jelas paparan Imam Ibnu
Taimiyah tentang siapa saja yang telah kedatangan seruan Islam namun tidak
masuk Islam maka kafir, pada bagian selanjutnya diuraikan pula kekafiran para
filosuf yang tidak mengikuti agama Rasul. Lalu dikemukakan pula jauhnya
kesesatan filosuf yang berdalih Islam namun jauh dari Islam, dan juga kesesatan
para teolog/ ahli kalam.
Buku Fiqih Lintas Agama adalah ditulis oleh tim
Paramadina yang rata-rata menggeluti filsafat, dan juga ilmu kalam. Bahkan di
antara mereka tidak menggeluti ilmu fiqih secara spesialistis. Ada yang tadinya
belajar fiqih, namun akhirnya “lari” pula ke filsafat. Oleh karena itu, sorotan
Ibnu Taimiyah tentang para filosuf dan teolog ini perlu kami kutip sebagai
berikut:
Apabila demikian, maka para
filosuf Yunani, filosuf Arab, Parsi, India dan semua bangsa yang tidak memiliki
kitab suci maka mereka dalam hal perkara-perkara ketuhanan bukanlah dalam
kedudukan ulama Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka adalah lebih
tahu daripada mereka mengenai perkara-perkara ketuhanan. Kemudian mereka
semuanya itu di kala seorang rasul datang kepada mereka lalu mereka
mendusktakannya maka mereka kafir. Dan apabila mereka berada di atas syari’at
rasul dengan mengerjakan syari’at itu dengan tidak ada penggantian maka mereka
mukmin muslim termasuk ahli surga. Dan apabila mereka tidak berada di atas
syari’at dan tidak datang kepada mereka seorang rasul maka mereka ahli
jahiliyah seperti ahli fatrat (masa jeda tidak ada rasul). Dan telah luas
pembicaraan mengenai mereka di lain tempat.
Para filosuf yang telah
kedatangan da’wah Nabi Muhammad saw sebagian mereka ada yang berpura-pura/
berdalih dengan Islam, sebagian ada yang dari Yahudi, dan sebagian mereka dari
Nasrani. Dan setiap orang yang menyelisihi apa (wahyu) yang dibawa oleh para
rasul maka dia sesat, dari golongan manapun dia berada. Karena Allah telah
mengutus para rasul itu dengan kebenaran, dan akal yang jelas senantiasa
menyepakati apa yang dibawa oleh para rasul, tidaklah akal yang jelas itu
menyelisihi sedikitpun dari apa yang dibawa oleh para rasul. Ini telah
dibentangkan dalam kitab Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan-Naql.
Para filosof yang berdalih
dengan Islam, mereka berkata bahwa mereka mengikuti Rasul, tetapi apabila
disingkap hakekat apa yang mereka katakan mengenai Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka jelas bedanya bagi orang
yang mengetahui apa yang dibawa oleh Rasul dan apa yang mereka katakan, dalam
perkara yang sama, bahwa perkataan mereka bukanlah perkataan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bukan perkataan Muslimin tetapi di
dalamnya ada perkataan-perkataan dari orang-orang kafir dan munafiqin serba
banyak.
Dan firqoh-firqoh ahli Kalam
(Teologi) beserta bid’ah dan kesesatan mereka lebih dekat kepada Rasul dan
kepada agama Islam (dibanding para filosuf tadi) baik firqoh Khawarij, Syi’ah,
Mu’tazilah maupun Karamiyah. Tetapi tokoh-tokoh mereka (firqoh-firqoh ahli
Kalam/ Teologi) bergumul dalam perdebatan yang rusak secara (dalil) sam’i dan akali. Mereka tidak tahu
agama Islam dalam banyak masalah yang mereka perselisihkan, bahkan mereka
menyandarkan kepada Islam apa-apa yang bukan dari Islam, dan mereka tidak
berkata dalam berdalil dan menjawab terhadap lawan mereka dengan hal yang
benar, tetapi mereka menolak kebatilan dengan kebatilan pula dan menghadapi
bid’ah dengan bid’ah pula.
Tetapi kebatilan para filosuf
lebih banyak dan mereka lebih besar penyelisihannya terhadap kebenaran yang
diketahui dengan dalil-dalil syar’I dan akali dalam perkara-perkara ketuhanan
dan agama dibanding para mubtadi’in (ahli bid’ah) dari ahli Kalam (Teologi).
Tetapi kelemahan pengetahuan para Mutakallimin (Teolog) terhadap kebenaran dan
dalil-dalilnya telah menutupi mereka, sebagaimana tentara-tentara fasik (tidak
taat aturan Islam) apabila berperang melawan tentara kafir dalam suatu
peperangan, mereka tidak jadi orang sholehnya orang-orang taqwa dan bukan orang
jahatnya orang-orang kuat (yang membela Islam). Hal itu termasuk yang
menyebabkan orang-orang kafir menguasai mereka, dan kalau kafirin mengalahkan
mereka dengan kedurjanaan dan kedhaliman pun mereka (tentara fasik itu) merasa
memperoleh kemenangan, karena perbuatan jahat itu tempat bergumulnya adalah
kejahatan pula. [7]
Demikianlah uraian Ibnu
Taimiyah, bukan hanya menegaskan kekafiran orang Yahudi dan Nasrani setelah
kedatangan Islam lalu mereka tidak mau masuk Islam, namun juga kekafiran para
filosuf yang tidak mau mengikuti Rasul. Lalu diuraikan pula posisi filosuf yang
berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dari Islam, dibandingkan dengan
para ahli bid’ah dari ahli Kalam/ Teologi. Para filosuf yang berdalih dengan
Islam namun sebenarnya jauh dengan Islam itu kebatilannya lebih jauh
dibanding firqoh-firqoh ahli kalam, baik
itu Khawarij, Mu’tazlah, Syi’ah, dan Karamiyah. Meskipun demikian,
firqoh-firqoh itu ternyata mudah sekali dikalahkan oleh orang-orang kafir,
bahkan sudah dikalahkan pun masih merasa diri mereka menang.
Setelah melihat uraian Ibnu
Taimiyah yang semacam itu, dan kini tampak jelas gejala bahwa orang-orang yang
menggeluti filsafat dan Ilmu Kalam itu menyusunya kepada kafirin orientalis di
Barat, atau menetek kepada murid dari kafirin orientalis Barat, maka bisa
diperbandingkan. Kini pemandangannya jadi aneh. Bukannya berperang melawan
kafirin, namun mencari dana dari kafirin, lalu untuk merusak Islam lewat
karya-karya yang diatas-namakan ilmu Islam. Betapa jauhnya antara generasi yang
dibahas Imam Ibnu Taimiyah dengan generasi
sekarang. Padahal, generasi yang dibahas Ibnu Taimiyah itu saja dalam menghadapi
orang kafir dan menegakkan Islam sudah tidak ada sumbangan yang menguntungkan
bagi Islam, bahkan merugikan. Apalagi generasi yang sudah nyadong catu
(minta jatah) kepada kafirin sekarang ini. #
[1]
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, Darul Fikr, Beirut, 1412H/
1992, jilid 2, halaman 81-82.
[2]
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah
telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan
itu.” (QS Yunus: 19).
[3]
Ibnu Taimiyyah 661-728H, As-Shofadiyah,
2 juz , 1406H cetakan 2, Muhaqqiq
Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307-308.
[4]
Ibid, halaman 308-309.
[5]
Ibnu Taimiyyah 661-728H, As-Shofadiyah,
2 juz , 1406H cetakan 2, Muhaqqiq
Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 310- 312.
[6]
Ibnu Taimiyah, As-Shofadiyah, juz 2, halaman 314-315
[7]
Ibnu Taimiyah, Ibid, halaman 326-327.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar