Sabtu, 28 April 2012

Fikih Paramadina Mengusung “Hak” Kafirin Menghadang Syari’ah


Maraknya artis dan sebagian orang yang nekad melaksanakan perkawinan silang antar agama dan banyaknya pejabat yang mengaku dirinya Muslim namun menghadiri upacara-upacara (ritual) agama lain serta mengucapkan selamat natal dan sebagainya, menjadikan Paramadina “punya dalih” untuk membuat fiqih yang mereka namai Fiqih Lintas Agama. Bagai pahlawan kesiangan, mereka menyatakan bahwa fiqih klasik tidak memecahkan persoalan masalah-masalah kekinian.

Dipecahkanlah pelanggaran-pelanggaran orang-orang yang melanggar agama itu dengan jalan membolehkannya, menjustifikasi pelanggaran mereka sebagai perbuatan yang boleh-boleh saja dan tak dilarang agama. Pintu kebolehan (yang aslinya dilarang) pun dibuka dengan gratis, para pelanggar yang kemudian dibolehkan itu tidak usah setor apa-apa. Barangkali di sinilah bedanya dengan sekte-sekte di agama-agama yang memberikan “jalan keluar” berupa pertobatan, namun dengan cara membayar. Adapun model Paramadina, tidak usah bayar, tidak usah tobat, dan tidak usah merasa berdosa. Para pelanggar tidak usah membatalkan atau mengurungkan pelanggarannya, langsung diterus-teruskan saja, dan cukup dicari-carikan dalihnya bahwa itu boleh-boleh saja, dan sah-sah saja.
           
Membatalkan Hadits, Membolehkan Kafir Mewaris Harta Muslim

Para pejabat ataupun orang tua yang sibuk mengurusi dunianya hingga anak-anaknya menjadi kafir pun tidak usah khawatir. Sebab, Islam yang Nabinya, Muhammad saw, telah menegaskan, “Orang Muslim tidak mewaris (harta) orang kafir dan orang kafir tidak mewaris (harta) orang Muslim”,  cukup diingkari saja oleh orang-orang Paramadina. Dan keingkarannya itu disiarkan dengan memberi petunjuk kepada umum lewat buku yang mereka klaim sebagai buku Fiqih itu. Sampai-sampai si pejabat atau orang tua yang sibuk hingga tak becus mengurus anaknya, yang akibatnya anak-anak itu diurus oleh orang-orang kafir dan jadi kafir pun dibolehkan untuk mendapat harta warisan dari orang tuanya yang Muslim. Mereka tidak menggubris lagi hadits shohih yang amat kuat yang diriwayatkan dua imam terpercaya Bukhari dan Muslim bahkan lainnya:

"Laa yaritsul muslimul kaafiro walaa yaritsul kaafirul muslima.”

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a, ia berkata: Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.” (Muttafaq 'alaih).

Untuk membatalkan hadits yang shohih dan maknanya jelas tegas itu, Paramadina (Nurcholish Madjid cs) cukup dengan ungkapan usangnya.

Kutipan:

“Sedangkan hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA –Fiqih Lintas Agama, halaman 167).

Tanggapan:

Memang benar-benar beragama menurut hawa nafsu orang kafir. Ketika berbicara tentang “hak” orang kafir, maka hadits shohih yang maknanya shorih (jelas tegas) pun oleh Nurcholish Madjid cs cukup dibatalkan begitu saja dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu apa yang mereka sebut “keadaan normal”. Sehingga hadits larangan waris mewarisi antara Muslim dengan kafir ini diperlakukan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai pengecualian, khusus dalam waktu tertentu, yang mereka sebut “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”. Sehingga hadits yang sebenarnya umum, tidak dibatasi oleh kekhususan-kekhususan tertentu ataupun pengecualian itu justru diperlakukan oleh NM cs bagai hadits rukhsoh sholat qoshor (keringanan untuk meringkas sholat 4 roka’at jadi 2 roka’at) ketika bepergian. Ketika dalam kondisi normal tidak bepergian lagi maka tak boleh memakai rukhshoh qoshor itu. Padahal, kondisionalnya hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir itu, kalau mau diberi batas-batas maka batasnya pun jelas: Selama masih kafir maka tidak ada kaitan waris dengan Muslim. Begitu sudah masuk Islam, maka punya hak waris sebagaimana muslim-muslim lainnya bila ia sebagai ahli waris. Jadi pembatasan hadits itu hanyalah “selama kafir”, baik yang asal mulanya memang kafir maupun yang kafirnya baru alias murtad dari Islam.

Nurcholish Madjid cs berani memberlakukan hadits tersebut secara temporer belaka, padahal di zaman senormal apapun, istilah kafir itu tetap kafir, tidak berubah istilahnya jadi Muslim, kecuali kalau memang dia masuk Islam. Lantas landasan pembatalan hadits itu apa? Kecuali kalau ada kaidah, “bila keadaan telah normal, maka kafir sama dengan Muslim, dan Muslim sama dengan kafir”; maka dalih “normal” itu bisa diberlakukan. Tetapi apakah ada kaidah gila seperti itu? Di zaman normal ataupun tidak normal, yang namanya kafir ya kafir, Muslim ya Muslim. Jadi hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir itu berlaku di zaman apapun.

Hadits tidak waris mewarisi antara Muslim dengan kafir itu mutlak, sebagaimana dalam hadits yang lain diriwayatkan:

Riwayat dari Jabir, dari Nabi saw bersabda, “Tidak saling mewarisi pengikut dua agama.” (HR At-Tirmidzi, para perowinya shoduq/ jujur, sanadnya marfu’ muttasil –sampai kepada Nabi saw secara bersambung).

Pengikut dua agama (antara agama satu dengan agama lainnya) tidak saling mewarisi. Di hadits yang terdahulu sudah lebih dijelaskan bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.” (Muttafaq 'alaih). Hadits itu sudah jelas maknanya, tidak ada pengecualian apa-apa, berarti sifatnya mutlak, tidak bisa diinterupsi oleh pendapat bahwa itu hanya berlaku di saat “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”.

Dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir ini memang ada pengecualian, tetapi sebenarnya hanya semacam penjelasan, dan yang menjelaskan itu Nabi Muhammad saw. Bukan orang Paramadina yang tidak punya hak apa-apa dalam membuat syari’at dalam Islam. Pengecualian yang sebenarnya merupakan penjelasan itu adalah: Kalau seorang lelaki (Muslim) memiliki budak (yang ahli kitab/ Yahudi atau Nasrani), maka tuannya (Muslim) boleh mewaris harta budaknya itu (tentu saja ketika si budak meninggal dunia, karena pembicaraan waris adalah berkaitan dengan harta peninggalan mayit). Ini karena budak itu memang dalam Islam adalah hak penuh tuannya. Jadi sifat pengecualian itu sebenarnya hanya penegasan penjelasan, dan yang menegaskan itu adalah Rasulullah saw yang memang utusan Allah swt.

Riwayat dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kami tidak mewaris (harta) Ahli Kitab dan mereka tidak mewaris (harta)  kami, kecuali laki-laki mewaris (harta) budaknya (laki-laki) atau amatnya (budaknya  perempuan).” (HR Ad-Darimi dan At-Thobroni, para perowinya tsiqot/ terpercaya).

Hadits tersebut, di samping mengandung makna pengecualian yang berisi penegasan penjelasan, masih pula mengandung penjelasan yang lebih jelas tegas lagi. Nabi saw dalam hadits itu menyebut “ahli kitab”, itu justru lebih tegas lagi dibanding lafal “kafir”. Karena tidak waris mewarisi antara Muslim dengan ahli kitab itu maknanya lebih jelas lagi; dengan ahli kitab saja Muslimin tidak waris mewarisi apalagi dengan kafir secara umum.

Sebenarnya hadits-hadits tersebut sudah sangat jelas. Ada tiga macam ungkapan untuk menegaskan tidak waris mewarisi itu.
1.      Ungkapan  “Muslim- kafir” dalam Hadits Muttafaq ‘alaih.
2.      Ungkapan “ahlu millatain” (antara pengikut dua agama) dalam Hadits   At-Tirmidzi.
3.      Ungkapan “Kami (Muslim) dan Ahli Kitab” dalam Hadits Ad-Darimi dan At-Thobroni.

Sehingga dengan adanya tiga model ungkapan, dan sudah dilengkapi dengan yang harus dikecualikan, maka semuanya sudah tidak ada kesamaran lagi.

Jadi dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir ini mutlak, dan hanya ada pengecualian: Lelaki mewaris harta budaknya.

Sebegitu jelas hukum-hukumnya di dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir. Tidak ada pengecualian, selain tuan mewaris harta budaknya. Lalu Nurcholish Madjid cs membalik 180 derajat, hingga hadits yang berlaku secara umum (tanpa kecuali, dan hanya ada pengecualian tentang harta budak itu)  dibalik menjadi bersifat khusus, yakni khusus di masa permusuhan atau yang oleh NM cs disebut saat tertentu yang “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”.. Sedang di masa normal, maka hadits itu tidak berlaku.

Kesalahan Fatal, Mengebiri Hadits demi Membela Kafirin

Keberanian mengebiri Hadits demi kepentingan kafirin dan tanpa dasar ini mengandung beberapa kesalahan sangat fatal:

1.      Membuat syari’at baru, yang hal itu sangat dilarang oleh Allah swt.

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS As-Syuuro/ 42: 21).

2.      Tidak rela dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, yang hal itu Allah telah memberikan peringatan keras.

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An-Nisaa’/ 4: 65).

3.      Mengubah pengertian hadits-hadits yang sifatnya mutlak (tidak terikat) dijadikan muqoyyad (terikat) tanpa alasan yang benar. 

4.      Kalau dalam hal waris NM cs melakukan “pencekalan” terhadap hadits-hadits yang sifatnya mutlak dijadikan muqoyyad (terikat) sebaliknya NM cs tidak malu-malu pula untuk melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu dalam hal “mengesahkan” agama-agama Yahudi dan Nasrani, Nurcholish Madjid cs terhadap ayat (QS Al-Baqarah: 62 dan Al-Maaidah: 69) justru berbalik pula, ayat yang sebenarnya mengandung pengertian diterimanya pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shobi’in secara terbatas di waktu agama mereka masih murni belum diganti dan belum dinasakh/ dihapus oleh Rasul yang baru, malahan dianggap oleh Nurcholish Madjid cs sebagai masih selamat sampai kini, sama dengan Islam. Padahal di dalam al-Qur’an, orang-orang Ahli Kitab itu adalah termasuk orang-orang kafir (lihat QS Al-Bayyinah: 6, dan bahkan Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk memerangi mereka, lihat  QS At-Taubah: 29).


Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6).

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29).

Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengimani Nabi Muhammad saw (dengan segala ajarannya) menurut Al-Qur’an adalah kafir, masuk neraka Jahannam selama-lamanya, dan seburuk-buruk makhluk (lihat QS 98: 6) dan agar diperangi (lihat QS At-taubah: 29). Sedang menurut Hadits Nabi Riwayat Muslim adalah (calon-calon) penghuni neraka (bukan sekadar masuk neraka, tetapi min ash-haabin naar, termasuk penghuni-penghuni neraka, tetap abadi).

Riwayat dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia Yahudi ataupun Nasrani yang mendengar kepadaku kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim).

Maka jelaslah Nurcholish Mad jid cs itu  hanya membalik-balikkan pengertian dengan menyembunyikan ayat-ayat dan hadits-hadits, bahkan memutar balikkan pengertian ayat-ayat dan hadits semaunya.

Ya Allah, lindungilah kami dan umat Islam dari bahaya perancuan yang sangat menyesatkan ini, ya Allah!
  
Membatalkan Hukum Islam dengan Logika Qiyas Sekenanya

Kutipan:
“Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.” (FLA, hal 167).

Tanggapan:
Dalih itu tidak kalah rancu dan sesatnya.
Lafal “mempersilahkan pernikahan dengan agama lain” itu perlu dijelaskan, tidak persis seperti itu. Yang ada adalah kebolehan lelaki Muslim menikahi  wanita-wanita muhshonat (yang menjaga diri) dari Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani).  Jadi tidak pukul rata seperti itu. Hal itu berdasarkan ayat:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS Al-Maaidah: 5).

Kemudian logika seperti itu  (“Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.”), namanya menggebyah uyah (menyama ratakan, menggeneralisir) secara logika awur-awuran. Pengqiyasan (analogi) tentang nikah dengan waris bahkan disebut “otomatis” seperti yang dilakukan Nurcholish Madjid cs itu adalah bentuk qiyas batil yang sangat nyata. Karena hukum nikah ada terinci sendiri, sedangkan hukum waris terinci sendiri. Ambil contoh, hukum Islam melarang menikahi ibu, anak dan seterusnya, yang hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an[1]. Apakah terus bisa dilogika-logikakan: Karena hukum Islam melarang menikahi ibu, anak dst, berarti otomatis ibu, anak dst itu dilarang mendapatkan waris. Betapa rusaknya main logika-logikaan seperti itu.

Paramadina di Jakarta yang ditokohi oleh Dr Nurcholish Madjid dan kini diketuai oleh Prof Dr Azzumardi Azra (yang juga rector UIN –Universitas Islam Negeri – dahulu IAIN Jakarta) menggantikan Dr Komaruddin Hidayat, menerbitkan buku model “penghalalan apa-apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya” ini dengan mengerahkan orang-orangnya, yaitu Tim Penulis Paramadina. Mereka yang dikerahkan sebagai tim penulis Fiqih Lintas Agama itu adalah:

Nurchlish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, ZainunKamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rahman, Ahmad Gaus AF, dan editornya: Mun’im A. Sirry.

Mereka ini menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2003.

Dialog antar agama menirukan kafir Quraisy


Kerja keras Paramadina ini kalau ditilik dari sejarah Islam, maka tidak lebih dari kerja keras kaum kafir Quraisy yang menentang da’wah Nabi Muhammad saw dengan aneka cara, dan di antara caranya adalah mengadakan dialog antar agama. Penawaran-penawaran dari kalangan kafir Quraisy bermacam-macam, di antaranya meminta agar Nabi Muhammad saw menghentikan dakwahnya, dengan imbalan akan diberi kedudukan, wanita sebagai isteri, dan kekayaan. Langsung Nabi Muhammad saw menolaknya, walaupun misalnya sampai mereka memberi matahari dan bulan pun, Nabi saw takkan mau menuruti kemauan mereka untuk menghentikan da’wahnya. 

Penawaran yang tampaknya kerjasama dalam agama (kalau sekarang ya do’a bersama antar berbagai agama, kira-kira), agar Nabi Muhammad saw bersikap toleran, kerjasama dalam agama, maka mereka (kafirin) akan mau menyembah Tuhan --yang Muhammad saw sembah-- selama waktu tertentu, dan sebagai rasa toleran dan kerjasama maka Nabi saw diminta menyembah pula Tuhan yang mereka sembah (berhala-berhala), selama tempo tertentu.[2] Penawaran itu pun langsung mendapatkan tanggapan keras dari Allah SWT:

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (Al-Kaafiruun: 1-6).

Kemudian penawaran yang lebih lunak lagi disampaikan pula oleh kaum kafir. Nabi Muhammad saw diharapkan mengelus atau sekadar mengusap berhala sesembahan mereka. Imbalannya pun mereka akan mengikuti Nabi Muhammad saw. Namun Nabi Muhammad saw langsung mendapatkan ancaman dari Allah swt.

Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (Al-Israa’: 73-75).

Ancaman seberat itu penyebabnya adalah bujukan orang kafir yang menginginkan Nabi saw menyentuh berhala mereka.

Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, “Mereka (orang-orang musyrikin) berkata kepadanya (Nabi saw), datangilah tuhan-tuhan kami dan sentuhlah mereka,  maka demikian itulah Firman-Nya (“sesuatu yang sedikit”) –ayat 74.[3]

Penawaran jenis yang agak lunak pula, Nabi saw agar mengajar mereka kaum kafir dari kalangan tingkat menengah (kelas sosial lebih tinggi dari orang umum) di tempat tertentu, dibedakan tempatnya dengan orang umum biasa. Maka Allah swt memperingatkan pula kepada Nabi Muhammad saw.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28).

Dalam Tafsir Ath-Thabari diriwayatkan,

Ibnu Zaid berkata mengenai firman-Nya: …….. dan seterusnya, ia katakan, satu kaum berkata kepada Nabi saw, kami malu kalau kami duduk bersama Fulan, Fulan, dan Fulan; maka jauhkanlah mereka wahai Muhammad dan duduklah bersama orang-orang mulia Arab. Maka turunlah Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini….[4]

            Semua upaya itu tujuan akhirnya sama dengan orang-orang kafir di setiap masa, dari zaman nabi-nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad saw dan sepanjang zaman, yaitu menghalangi sekeras-kerasnya akan tegaknya hukum Allah di bumi.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An-Nisaa’: 61).

Mencela Imam As-Syafi’i dan Menggugat Fiqih Jihad


            Dalam buku FLA pada sub judul “Menuju Fiqih yang Peka terhadap Pluralisme”,  ditulis

Kutipan:
“Fiqih klasik sepertinya tak mampu menjawab tantangan zaman. Dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam melihat agama lain. Kritik yang sangat menonjol terutama mesti ditujukan kepada fiqih Mazhab Syafi’I, karena saking kuatnya paradigma teosentris yang dipedomani Imam al-Syafi’I, terutama dalam konsep ahl-al-dzimmah, maka terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain. Syafi’I seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai sapi perahan yang dituntut dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak yang setimpal. Bukan hanya itu, seruling jihad pun ditiupkan kepada kelompok non Muslim. Hampir dalam seluruh kitab fiqih ada bab tersendiri  yang membahas masalah jihad.”  (FLA, halaman 167-168).

            Tanggapan:
Tulisan orang Paramadina itu bisa lebih punya tata krama dan etika bila dikemukakan kutipan dari pernyataan Imam Al-Syafi’I secara seutuhnya, baru kemudian ditanggapi secara ilmiah. Bukan sekadar hanya berupa kecaman kasar, tuduhan tanpa bukti ilmiyah, bahkan penuh kebencian seperti itu. Kalau yang menulis itu memang orang anti Islam semacam Gato Loco –Darmo Gandul, maka masih agak bisa dimaklumi. Namun, ternyata kecaman dari Paramadina ini bisa dibandingkan dengan celoteh Darmogandul:

“…Bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa pahit dan asin.”[5]

Kelompok Paramadina ini saking membabi butanya, pembahasan tentang jihad di hampir setiap kitab fiqih pun dipersoalkan. Padahal, fiqih itu artinya adalah faham atau pemahaman, yang memang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di Al-Qur’an terdapat berbagai ayat tentang jihad. Di As-Sunnah terdapat berbagai hadits tentang jihad, dan bukan sekadar diucapkan Nabi saw, tetapi Nabi sendiri memimpin berjihad 27 kali, di samping jihad-jihad yang tidak langsung beliau pimpin. Apakah ulama pewaris para Nabi tidak boleh membahas tentang jihad itu dalam kitab-kitab fiqih? Dan kalau ulamanya sudah  tidak berbicara tentang jihad lagi, apakah kemudian berarti Islam ini menjadi jaya akibat tidak adanya pembahasan jihad lagi itu? Bukankah itu justru sebaliknya, Muslimin dibantai oleh kafirin, sedang munafiqin bersorak sorai menyemangati “jihad”nya kafirin terhadap Muslimin?

Setiap muslim mestinya berniat jihad, kecuali orang munafiq. Karena Nabi saw bersabda:
“Man maata walam yaghzu walam yuhaddits nafsuhu bil ghozwi maata ‘alaa syu’batim minan nifaaqi.”
“Barangsiapa yang mati dan tidak pernah berperang, dan tidak pernah berniat pada dirinya untuk berperang, maka dia mati di atas satu cabang dari kemunafikan.” (HR Muslim).

Adab Jihad; Yang Tidak Boleh Dibunuh dan Larangan Melampaui Batas

Perlu difahami, para ulama menampilkan Jihad dalam kitab-kitab fiqih itu bukan sekadar seperti yang dibilang Paramadina meniup apa yang mereka sebut seruling jihad. Tetapi akhlaq berjihad pun dibeberkan dengan terang.

Di antaranya:    

Dalam perang jihad, Allah SWT mengharamkan tindak melampaui batas dalam firman-Nya:

“ ...dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190).

Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuni menjelaskan pendapat mengenai larangan melampaui batas itu:

Termasuk dalam kategori “melampaui batas” ialah melanggar larangan, sebagaimana dikatakan Hasan al-Basri, seperti: mencincang, berkhianat, membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua, orang yang tidak memiliki kemampuan berperang, membunuh pendeta-pendeta, memusnahkan tanaman dan membinasakan binatang tanpa ada mashlahatnya. Semuanya itu termasuk larangan dalam firman Allah “... dan janganlah kamu melampaui batas...”

Nabi SAW bersabda:
“Ukhrujuu bismillaahi, tuqootiluuna fii sabiilillaahi man kafaro billaahi, laa taghdiruu walaa taghluu,  walaa tumatstsiluu, walaa taqtulul wildaan, walaa ash-haabash showaami’i. (Ahmad)

“Keluarlah kalian dengan atas nama Allah, kalian berperang di jalan Allah, terhadap orang yang kufur kepada Allah, jangan berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan mencincang, jangan membunuh anak-anak, dan penghuni-penghuni gereja-gereja.” (HR Ahmad dan Muslim, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir 1: 226 seperti dikutip As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, buku I, 1 hal 184/ terjemahan Rowai’ul Bayan).

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata:

“Ditemukan seorang perempuan terbunuh dalam salah satu pertempuran yang dipimpin Nabi SAW, maka Nabi SAW tidak membenarkan pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak.” (HR Bukhari-Muslim, lihat juga tafsir al-Qurthubi, 2:327 seperti dikutip As-Shobuni, ibid 1: 184). 

Perintah Rasulullah SAW itu dilanjutkan pula oleh Khulafaur Rasyidin. Seperti wasiat Abu Bakar ash-Shiddiq ra kepada Usamah bin Zaid tatkala mengutusnya (untuk berperang) ke Syam (Suriyah):

“Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang dan jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua dan jangan membunuh perempuan, dan janganlah menebang pohon-pohon kurma dan jangan pula membakarnya, janganlah kamu menebang pohon yang berbuah dan janganlah menyembelih kambing, lembu atau onta kecuali untuk dimakan! Nanti kamu akan melewati kaum-kaum yang mengabdikan diri di gereja-gereja yaitu para pendeta maka biarkanlah mereka beserta pengabdian mereka itu!” (Ash-Shobuni, ibid, 3: 93).

Dari sini ada 6 gambaran yang dirumuskan para ulama:
1.      Bahwa perempuan, jika memerangi maka boleh diperangi. Ini berdasarkan keumuman firman Allah: Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangi kamu..
2.      Anak-anak tidak boleh dibunuh sebab ada larangan yang tegas  an karena mereka belum mukallaf (terbebani hukum).
3.      Pendeta-pendeta tidak boleh dibunuh sebagaimana pernah dipesankan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu.
4.      Orang-orang cacat (tak boleh dibunuh) kecualikalau dipandang membahayakan.
5.      Orang-orang tua tidak boleh dibunuh. Begitulah pendapat jumhur fuqaha (sebagian besar ahli tafsir).
6.      Para pekerja dan petani (juga tidak boleh dibunuh). Dalamhal ini Umar bin Khathab pernah berkata: Takutlah kamu kepada Allah terhadap keluarga-keluarga, dan petani-petani yang tidak menjadi lawanmu dalamperang. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 2:237; Ahkamul Quran oleh Ibnul Arabi 1:105, dan Ahkamul Quran oleh Al-Jashash 1:302, seperti dikutip Ash-Shabuni, ibid, 1:185).

Demikianlah di antara adab berjihad mengenai hal-hal yang harus dihindari. Bukan seperti kecaman membabi buta dari kelompok Paramadina.

Melandasi Kecaman dengan Celoteh Musuh Agama

Ulama fiqih klasik yang telah sangat berjasa menuntun umat Islam agar memahami agama, tahu-tahu mendapat kecaman sebegitu pedasnya dari orang-orang Paramadina. Sementara itu, pengecam ini untuk melandasi kecamannya terhadap Imam As-Syafi’I dalam buku FLA halaman 167-168 itu begitu tidak risihnya menampilkan dan mengutip-kutip musuh-musuh agama dengan celoteh usangnya.

Kutipan:
“Karl Marx dalam sebuah kritiknya menyebut agama sebagai candu. Nitzche dalam refleksi filsafatnya menyebut, Tuhan telah mati. Jacques Derrida menyebut, kebenaran makna selalu tertunda. Huston Smith dalam Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief mempertanyakan apakah agama telah menemukan ajalnya? (!) Dan dalam banyak buku, para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang tak mengakomodasi agama lain.” (FLA, halaman 168).

Tanggapan:
Perkara Karl Marx mengecam agama, apakah memang ada kaitannya dengan Imam Al-Syafi’i? Dan agama yang dikatakan Karl Marx itu maksudnya langsung Islam, atau justru Kristen? Demikian pula Nitzche, Jacques Derrida, dan Huston Smith. Tentu tidak ada kaitan-kaitannya dengan Imam Al-Syafi’i. Bahkan para orientalis yang mengecam langsung terhadap Islam pun tidak mengkhususkan kepada Imam Al-Syafi’i.

Aneh orang-orang Paramadina ini. Meminjam mulut orang-orang kafir untuk landasan mengecam ulama Islam, sedangkan orang kafir itu sendiri memaksudkan kecamannya itu kepada obyek yang mereka hadapi belaka. Dan kecaman itupun adalah subyektivitas kebencian mereka yang memang anti agama dan anti Islam. Barangkali masih  ada sedikit bobotnya bila Paramadina mengutip kecaman orang ahli dzimmah (ahli kitab/ Yahudi atau Nasrani yang tunduk dalam perlindungan kekuasaan Islam) atas kedhaliman kekuasaan Islam akibat ajaran Imam Syafi’I dalam Fiqihnya (yang sampai disebut oleh FLA: Syafi’I seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai sapi perahan yang dituntut dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak yang setimpal.). Walaupun misalnya kutipan dari ahli dzimmah yang pembohong pun masih ada nilainya, karena ada korelasi antara ajaran fiqih Imam Syafi’I dengan ucapan/ pengakuan (walau bohong) dari orang yang terkena akibat.

Lebih aneh lagi, umat Islam sedunia ini sekarang sedang dilindas oleh ajaran bahkan hukum sekuler yang sangat mendiskriminasikan bahkan tidak membolehkan berlakunya hukum Islam, hatta untuk masyarakat muslim sendiri pun; namun tidak ada secuil ungkapan dari orang Paramadina –selaku orang yang masih mengaku diri mereka muslim— keberatan atas sikap menekannya hukum sekuler itu. Kenapa yang dikecam justru Imam Syafi’I yang hukum fiqih produknya tidak dalam kondisi diterapkan (sampai hanya khusus di kalangan Muslimin bermadzhab Syafi’I pun tidak) masih  pula dikecam-kecam, hanya untuk membela kaum kafir? Padahal kondisi sekarang, kaum kafir bukannya jadi dzimmi tetapi justru di dunia ini jadi penguasa dhalim. Jadi kalau bicara kontekstual dengan keadaan, apakah Paramadina ini bicaranya kontekstual? Ya, kontekstual, yaitu dalam hal menyuarakan suara kafirin!!! Hanya saja terbalik. Kalau slogan yang lumrah, biasanya adalah membela yang tertindas, tetapi ini justru sebaliknya, membela yang menindas. Ada apa?



[1]Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’: 23).

Tentang hukum waris ada rinciannya sendiri, di antaranya terdapat dalam ayat:
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 11).
[2] Riwayat dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang Quraisy menjanjikan Rasulullah saw untuk memberinya harta agar menjadi orang terkaya di Makkah, dan mereka akan menikahkannya dengan wanita yang beliau inginkan, dan mereka melangkah di belakangnya lalu mereka berkata kepadanya, ini untuk kamu di sisi kami, wahai Muhammad, dan hentikanlah dari mencaci tuhan-tuhan kami, maka janganlah kamu menyebutnya dengan buruk. Apabila kamu tidak mau, maka kami ajukan padamu satu perkara, yaitu kamu dan kami berdamai. Beliau bertanya, apa itu? Mereka menjawab, kamu sembah tuhan-tuhan kami Laata dan Uza selama setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun (pula). Beliau menjawab, (tunggu) sampai aku menunggu wahyu yang datang dari sisi Tuhanku. Lalu datanglah wahyu dari Lauh Mahfudh, qul yaa ayyuhal kaafiruun, satu surat. Dan Allah menurunkan  QS 39: 64, Katakanlah apakah selain Allah, kalian perintahkan aku untuk menyembah wahai orang-orang yang bodoh… sampai firman-Nya, Maka sembahlah (Allah) dan jadilah orang yang tergolong orang-orang bersyukur. (Tafsir At-Thabari, juz 30, halaman 331). 
[3] Tafsir At-Thabari juz 15 halaman 130.
[4] Tafsir At-Thabari juz 15 halaman 234-235.
[5] Prof Dr HM Rasjidi, Islam & Kebatinan, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan 7, 1992, halaman 7-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar