Maraknya artis dan sebagian
orang yang nekad melaksanakan perkawinan silang antar agama dan banyaknya
pejabat yang mengaku dirinya Muslim namun menghadiri upacara-upacara (ritual)
agama lain serta mengucapkan selamat natal dan sebagainya, menjadikan Paramadina
“punya dalih” untuk membuat fiqih yang mereka namai Fiqih Lintas Agama.
Bagai pahlawan kesiangan, mereka menyatakan bahwa fiqih klasik tidak memecahkan
persoalan masalah-masalah kekinian.
Dipecahkanlah
pelanggaran-pelanggaran orang-orang yang melanggar agama itu dengan jalan
membolehkannya, menjustifikasi pelanggaran mereka sebagai perbuatan yang
boleh-boleh saja dan tak dilarang agama. Pintu kebolehan (yang aslinya
dilarang) pun dibuka dengan gratis, para pelanggar yang kemudian dibolehkan itu
tidak usah setor apa-apa. Barangkali di sinilah bedanya dengan sekte-sekte di
agama-agama yang memberikan “jalan keluar” berupa pertobatan, namun dengan cara
membayar. Adapun model Paramadina, tidak usah bayar, tidak usah tobat, dan
tidak usah merasa berdosa. Para pelanggar tidak usah membatalkan atau
mengurungkan pelanggarannya, langsung diterus-teruskan saja, dan cukup
dicari-carikan dalihnya bahwa itu boleh-boleh saja, dan sah-sah saja.
Membatalkan Hadits,
Membolehkan Kafir Mewaris Harta Muslim
Para pejabat ataupun orang tua yang sibuk mengurusi
dunianya hingga anak-anaknya menjadi kafir pun tidak usah khawatir. Sebab,
Islam yang Nabinya, Muhammad saw, telah menegaskan, “Orang Muslim tidak
mewaris (harta) orang kafir dan orang kafir tidak mewaris (harta) orang Muslim”, cukup diingkari saja oleh orang-orang
Paramadina. Dan keingkarannya itu disiarkan dengan memberi petunjuk kepada umum
lewat buku yang mereka klaim sebagai buku Fiqih itu. Sampai-sampai si pejabat
atau orang tua yang sibuk hingga tak becus mengurus anaknya, yang akibatnya
anak-anak itu diurus oleh orang-orang kafir dan jadi kafir pun dibolehkan untuk
mendapat harta warisan dari orang tuanya yang Muslim. Mereka tidak menggubris
lagi hadits shohih yang amat kuat yang diriwayatkan dua imam terpercaya Bukhari
dan Muslim bahkan lainnya:
"Laa yaritsul muslimul kaafiro walaa yaritsul
kaafirul muslima.”
Diriwayatkan dari Usamah bin
Zaid r.a, ia berkata: Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.”
(Muttafaq 'alaih).
Untuk membatalkan hadits yang
shohih dan maknanya jelas tegas itu, Paramadina (Nurcholish Madjid cs) cukup
dengan ungkapan usangnya.
Kutipan:
“Sedangkan hadits yang melarang
waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat
hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim
dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan
hadits tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA –Fiqih Lintas Agama, halaman
167).
Tanggapan:
Memang benar-benar beragama
menurut hawa nafsu orang kafir. Ketika berbicara tentang “hak” orang kafir,
maka hadits shohih yang maknanya shorih (jelas tegas) pun oleh Nurcholish
Madjid cs cukup dibatalkan begitu saja dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu
apa yang mereka sebut “keadaan normal”. Sehingga hadits larangan waris mewarisi
antara Muslim dengan kafir ini diperlakukan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai
pengecualian, khusus dalam waktu tertentu, yang mereka sebut “terdapat hubungan
kurang sehat dengan agama lain (kafir)”. Sehingga hadits yang sebenarnya umum,
tidak dibatasi oleh kekhususan-kekhususan tertentu ataupun pengecualian itu
justru diperlakukan oleh NM cs bagai hadits rukhsoh sholat qoshor (keringanan
untuk meringkas sholat 4 roka’at jadi 2 roka’at) ketika bepergian. Ketika dalam
kondisi normal tidak bepergian lagi maka tak boleh memakai rukhshoh qoshor itu.
Padahal, kondisionalnya hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan
kafir itu, kalau mau diberi batas-batas maka batasnya pun jelas: Selama masih
kafir maka tidak ada kaitan waris dengan Muslim. Begitu sudah masuk Islam, maka
punya hak waris sebagaimana muslim-muslim lainnya bila ia sebagai ahli waris.
Jadi pembatasan hadits itu hanyalah “selama kafir”, baik yang asal mulanya
memang kafir maupun yang kafirnya baru alias murtad dari Islam.
Nurcholish Madjid cs berani
memberlakukan hadits tersebut secara temporer belaka, padahal di zaman senormal
apapun, istilah kafir itu tetap kafir, tidak berubah istilahnya jadi Muslim,
kecuali kalau memang dia masuk Islam. Lantas landasan pembatalan hadits itu
apa? Kecuali kalau ada kaidah, “bila keadaan telah normal, maka kafir sama
dengan Muslim, dan Muslim sama dengan kafir”; maka dalih “normal” itu bisa
diberlakukan. Tetapi apakah ada kaidah gila seperti itu? Di zaman normal
ataupun tidak normal, yang namanya kafir ya kafir, Muslim ya Muslim. Jadi
hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir itu berlaku di
zaman apapun.
Hadits tidak waris mewarisi antara
Muslim dengan kafir itu mutlak, sebagaimana dalam hadits yang lain
diriwayatkan:
Riwayat dari Jabir, dari Nabi
saw bersabda, “Tidak saling mewarisi pengikut dua agama.” (HR At-Tirmidzi, para
perowinya shoduq/ jujur, sanadnya marfu’ muttasil –sampai kepada Nabi saw
secara bersambung).
Pengikut dua agama (antara
agama satu dengan agama lainnya) tidak saling mewarisi. Di hadits yang
terdahulu sudah lebih dijelaskan bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak
boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang
Islam.” (Muttafaq 'alaih). Hadits itu sudah jelas maknanya, tidak ada
pengecualian apa-apa, berarti sifatnya mutlak, tidak bisa diinterupsi oleh
pendapat bahwa itu hanya berlaku di saat “terdapat hubungan kurang sehat dengan
agama lain (kafir)”.
Dalam hal tidak waris mewarisi
antara Muslim dan kafir ini memang ada pengecualian, tetapi sebenarnya hanya
semacam penjelasan, dan yang menjelaskan itu Nabi Muhammad saw. Bukan orang
Paramadina yang tidak punya hak apa-apa dalam membuat syari’at dalam Islam.
Pengecualian yang sebenarnya merupakan penjelasan itu adalah: Kalau seorang
lelaki (Muslim) memiliki budak (yang ahli kitab/ Yahudi atau Nasrani), maka
tuannya (Muslim) boleh mewaris harta budaknya itu (tentu saja ketika si budak
meninggal dunia, karena pembicaraan waris adalah berkaitan dengan harta
peninggalan mayit). Ini karena budak itu memang dalam Islam adalah hak penuh
tuannya. Jadi sifat pengecualian itu sebenarnya hanya penegasan penjelasan, dan
yang menegaskan itu adalah Rasulullah saw yang memang utusan Allah swt.
Riwayat
dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kami tidak mewaris (harta)
Ahli Kitab dan mereka tidak mewaris (harta)
kami, kecuali laki-laki mewaris (harta) budaknya (laki-laki) atau
amatnya (budaknya perempuan).” (HR
Ad-Darimi dan At-Thobroni, para perowinya tsiqot/ terpercaya).
Hadits
tersebut, di samping mengandung makna pengecualian yang berisi penegasan
penjelasan, masih pula mengandung penjelasan yang lebih jelas tegas lagi. Nabi
saw dalam hadits itu menyebut “ahli kitab”, itu justru lebih tegas lagi
dibanding lafal “kafir”. Karena tidak waris mewarisi antara Muslim dengan ahli
kitab itu maknanya lebih jelas lagi; dengan ahli kitab saja Muslimin tidak
waris mewarisi apalagi dengan kafir secara umum.
Sebenarnya
hadits-hadits tersebut sudah sangat jelas. Ada tiga macam ungkapan untuk
menegaskan tidak waris mewarisi itu.
1.
Ungkapan “Muslim- kafir” dalam Hadits Muttafaq ‘alaih.
2.
Ungkapan “ahlu
millatain” (antara pengikut dua agama) dalam Hadits At-Tirmidzi.
3.
Ungkapan “Kami
(Muslim) dan Ahli Kitab” dalam Hadits Ad-Darimi dan At-Thobroni.
Sehingga
dengan adanya tiga model ungkapan, dan sudah dilengkapi dengan yang harus
dikecualikan, maka semuanya sudah tidak ada kesamaran lagi.
Jadi
dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir ini mutlak, dan hanya
ada pengecualian: Lelaki mewaris harta budaknya.
Sebegitu
jelas hukum-hukumnya di dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir.
Tidak ada pengecualian, selain tuan mewaris harta budaknya. Lalu Nurcholish
Madjid cs membalik 180 derajat, hingga hadits yang berlaku secara umum (tanpa
kecuali, dan hanya ada pengecualian tentang harta budak itu) dibalik menjadi bersifat khusus, yakni khusus
di masa permusuhan atau yang oleh NM cs disebut saat tertentu yang “terdapat
hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”.. Sedang di masa normal, maka hadits itu tidak berlaku.
Kesalahan Fatal, Mengebiri
Hadits demi Membela Kafirin
Keberanian
mengebiri Hadits demi kepentingan kafirin dan tanpa dasar ini mengandung
beberapa kesalahan sangat fatal:
1.
Membuat syari’at
baru, yang hal itu sangat dilarang oleh Allah swt.
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS As-Syuuro/ 42: 21).
2.
Tidak rela dengan
hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, yang hal itu Allah telah
memberikan peringatan keras.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS
An-Nisaa’/ 4: 65).
3.
Mengubah
pengertian hadits-hadits yang sifatnya mutlak (tidak terikat) dijadikan
muqoyyad (terikat) tanpa alasan yang benar.
4.
Kalau dalam hal
waris NM cs melakukan “pencekalan” terhadap hadits-hadits yang sifatnya mutlak
dijadikan muqoyyad (terikat) sebaliknya NM cs tidak malu-malu pula untuk
melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu dalam hal “mengesahkan” agama-agama Yahudi
dan Nasrani, Nurcholish Madjid cs terhadap ayat (QS Al-Baqarah: 62 dan
Al-Maaidah: 69) justru berbalik pula, ayat yang sebenarnya mengandung
pengertian diterimanya pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shobi’in secara
terbatas di waktu agama mereka masih murni belum diganti dan belum dinasakh/
dihapus oleh Rasul yang baru, malahan dianggap oleh Nurcholish Madjid cs
sebagai masih selamat sampai kini, sama dengan Islam. Padahal di dalam
al-Qur’an, orang-orang Ahli Kitab itu adalah termasuk orang-orang kafir (lihat
QS Al-Bayyinah: 6, dan bahkan Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk
memerangi mereka, lihat QS At-Taubah:
29).
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6).
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29).
Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengimani Nabi Muhammad saw (dengan
segala ajarannya) menurut Al-Qur’an adalah kafir, masuk neraka Jahannam
selama-lamanya, dan seburuk-buruk makhluk (lihat QS 98: 6) dan agar diperangi
(lihat QS At-taubah: 29). Sedang menurut Hadits Nabi Riwayat Muslim adalah
(calon-calon) penghuni neraka (bukan sekadar masuk neraka, tetapi min
ash-haabin naar, termasuk penghuni-penghuni neraka, tetap abadi).
Riwayat
dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat
yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia
Yahudi ataupun Nasrani yang mendengar kepadaku kemudian ia mati dan tidak
beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk
penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim).
Maka
jelaslah Nurcholish Mad jid cs itu hanya
membalik-balikkan pengertian dengan menyembunyikan ayat-ayat dan hadits-hadits,
bahkan memutar balikkan pengertian ayat-ayat dan hadits semaunya.
Ya
Allah, lindungilah kami dan umat Islam dari bahaya perancuan yang sangat
menyesatkan ini, ya Allah!
Membatalkan Hukum Islam
dengan Logika Qiyas Sekenanya
Kutipan:
“Dan logikanya, bila Islam
menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka
secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.” (FLA, hal 167).
Tanggapan:
Dalih itu tidak kalah rancu dan
sesatnya.
Lafal “mempersilahkan
pernikahan dengan agama lain” itu perlu dijelaskan, tidak persis seperti itu.
Yang ada adalah kebolehan lelaki Muslim menikahi wanita-wanita muhshonat (yang menjaga diri)
dari Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Jadi tidak pukul rata seperti itu. Hal itu berdasarkan ayat:
Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi. (QS Al-Maaidah: 5).
Kemudian logika seperti
itu (“Dan logikanya, bila Islam
menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka
secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.”), namanya menggebyah uyah
(menyama ratakan, menggeneralisir) secara logika awur-awuran. Pengqiyasan
(analogi) tentang nikah dengan waris bahkan disebut “otomatis” seperti yang
dilakukan Nurcholish Madjid cs itu adalah bentuk qiyas batil yang sangat nyata.
Karena hukum nikah ada terinci sendiri, sedangkan hukum waris terinci sendiri.
Ambil contoh, hukum Islam melarang menikahi ibu, anak dan seterusnya, yang hal
itu ditegaskan dalam Al-Qur’an[1].
Apakah terus bisa dilogika-logikakan: Karena hukum Islam melarang menikahi ibu,
anak dst, berarti otomatis ibu, anak dst itu dilarang mendapatkan waris. Betapa
rusaknya main logika-logikaan seperti itu.
Paramadina di Jakarta yang
ditokohi oleh Dr Nurcholish Madjid dan kini diketuai oleh Prof Dr Azzumardi
Azra (yang juga rector UIN –Universitas Islam Negeri – dahulu IAIN Jakarta)
menggantikan Dr Komaruddin Hidayat, menerbitkan buku model “penghalalan apa-apa
yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya” ini dengan mengerahkan orang-orangnya,
yaitu Tim Penulis Paramadina. Mereka yang dikerahkan sebagai tim penulis Fiqih
Lintas Agama itu adalah:
Nurchlish Madjid, Kautsar
Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, ZainunKamal, Zuhairi
Misrawi, Budhy Munawar Rahman, Ahmad Gaus AF, dan editornya: Mun’im A. Sirry.
Mereka ini menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama,
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, diterbitkan oleh Yayasan Wakaf
Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2003.
Dialog antar agama menirukan kafir Quraisy
Kerja keras Paramadina ini kalau ditilik dari sejarah
Islam, maka tidak lebih dari kerja keras kaum kafir Quraisy yang menentang
da’wah Nabi Muhammad saw dengan aneka cara, dan di antara caranya adalah
mengadakan dialog antar agama. Penawaran-penawaran dari kalangan kafir Quraisy
bermacam-macam, di antaranya meminta agar Nabi Muhammad saw menghentikan
dakwahnya, dengan imbalan akan diberi kedudukan, wanita sebagai isteri, dan
kekayaan. Langsung Nabi Muhammad saw menolaknya, walaupun misalnya sampai
mereka memberi matahari dan bulan pun, Nabi saw takkan mau menuruti kemauan
mereka untuk menghentikan da’wahnya.
Penawaran yang tampaknya kerjasama dalam agama (kalau
sekarang ya do’a bersama antar berbagai agama, kira-kira), agar Nabi Muhammad
saw bersikap toleran, kerjasama dalam agama, maka mereka (kafirin) akan mau
menyembah Tuhan --yang Muhammad saw sembah-- selama waktu tertentu, dan sebagai
rasa toleran dan kerjasama maka Nabi saw diminta menyembah pula Tuhan yang
mereka sembah (berhala-berhala), selama tempo tertentu.[2]
Penawaran itu pun langsung mendapatkan tanggapan keras dari Allah SWT:
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak
akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku". (Al-Kaafiruun: 1-6).
Kemudian penawaran yang lebih lunak lagi disampaikan pula
oleh kaum kafir. Nabi Muhammad saw diharapkan mengelus atau sekadar mengusap
berhala sesembahan mereka. Imbalannya pun mereka akan mengikuti Nabi Muhammad
saw. Namun Nabi Muhammad saw langsung mendapatkan ancaman dari Allah swt.
Dan sesungguhnya mereka hampir
memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat
yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka
mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)
mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi
demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di
dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak
akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (Al-Israa’: 73-75).
Ancaman
seberat itu penyebabnya adalah bujukan orang kafir yang menginginkan Nabi saw
menyentuh berhala mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, ia
berkata, “Mereka (orang-orang musyrikin) berkata kepadanya (Nabi saw), datangilah
tuhan-tuhan kami dan sentuhlah mereka,
maka demikian itulah Firman-Nya (“sesuatu yang sedikit”) –ayat 74.[3]
Penawaran jenis yang agak lunak pula, Nabi saw agar
mengajar mereka kaum kafir dari kalangan tingkat menengah (kelas sosial lebih
tinggi dari orang umum) di tempat tertentu, dibedakan tempatnya dengan orang
umum biasa. Maka Allah swt memperingatkan pula kepada Nabi Muhammad saw.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28).
Dalam Tafsir Ath-Thabari diriwayatkan,
Ibnu Zaid berkata mengenai firman-Nya: …….. dan seterusnya,
ia katakan, satu kaum berkata kepada Nabi saw, kami malu kalau kami duduk
bersama Fulan, Fulan, dan Fulan; maka jauhkanlah mereka wahai Muhammad dan
duduklah bersama orang-orang mulia Arab. Maka turunlah Al-Qur’an: “Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini….”[4]
Semua upaya itu tujuan akhirnya sama
dengan orang-orang kafir di setiap masa, dari zaman nabi-nabi terdahulu hingga
Nabi Muhammad saw dan sepanjang zaman, yaitu menghalangi sekeras-kerasnya akan
tegaknya hukum Allah di bumi.
Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
(QS An-Nisaa’: 61).
Mencela Imam As-Syafi’i dan Menggugat Fiqih Jihad
Dalam
buku FLA pada sub judul “Menuju Fiqih yang Peka terhadap Pluralisme”, ditulis
Kutipan:
“Fiqih klasik sepertinya tak mampu menjawab tantangan
zaman. Dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam
melihat agama lain. Kritik yang sangat menonjol terutama mesti ditujukan kepada
fiqih Mazhab Syafi’I, karena saking kuatnya paradigma teosentris yang
dipedomani Imam al-Syafi’I, terutama dalam konsep ahl-al-dzimmah, maka
terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain. Syafi’I seakan-akan ingin
menjadikan agama lain sebagai sapi perahan yang dituntut dengan
kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak yang
setimpal. Bukan hanya itu, seruling jihad pun ditiupkan kepada kelompok non
Muslim. Hampir dalam seluruh kitab fiqih ada bab tersendiri yang membahas masalah jihad.” (FLA, halaman 167-168).
Tanggapan:
Tulisan orang Paramadina itu bisa lebih punya tata krama
dan etika bila dikemukakan kutipan dari pernyataan Imam Al-Syafi’I secara
seutuhnya, baru kemudian ditanggapi secara ilmiah. Bukan sekadar hanya berupa
kecaman kasar, tuduhan tanpa bukti ilmiyah, bahkan penuh kebencian seperti itu.
Kalau yang menulis itu memang orang anti Islam semacam Gato Loco –Darmo Gandul,
maka masih agak bisa dimaklumi. Namun, ternyata kecaman dari Paramadina ini
bisa dibandingkan dengan celoteh Darmogandul:
“…Bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka
membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah,
memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya
saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa pahit dan asin.”[5]
Kelompok Paramadina ini saking membabi butanya, pembahasan
tentang jihad di hampir setiap kitab fiqih pun dipersoalkan. Padahal, fiqih itu
artinya adalah faham atau pemahaman, yang memang diambil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Di Al-Qur’an terdapat berbagai ayat tentang jihad. Di As-Sunnah
terdapat berbagai hadits tentang jihad, dan bukan sekadar diucapkan Nabi saw,
tetapi Nabi sendiri memimpin berjihad 27 kali, di samping jihad-jihad yang
tidak langsung beliau pimpin. Apakah ulama pewaris para Nabi tidak boleh
membahas tentang jihad itu dalam kitab-kitab fiqih? Dan kalau ulamanya
sudah tidak berbicara tentang jihad
lagi, apakah kemudian berarti Islam ini menjadi jaya akibat tidak adanya
pembahasan jihad lagi itu? Bukankah itu justru sebaliknya, Muslimin dibantai
oleh kafirin, sedang munafiqin bersorak sorai menyemangati “jihad”nya kafirin
terhadap Muslimin?
Setiap muslim mestinya berniat jihad, kecuali orang
munafiq. Karena Nabi saw bersabda:
“Man maata walam yaghzu walam yuhaddits nafsuhu bil ghozwi
maata ‘alaa syu’batim minan nifaaqi.”
“Barangsiapa yang mati dan tidak pernah berperang, dan
tidak pernah berniat pada dirinya untuk berperang, maka dia mati di atas satu
cabang dari kemunafikan.” (HR Muslim).
Adab Jihad; Yang Tidak Boleh Dibunuh dan Larangan Melampaui Batas
Perlu difahami, para ulama menampilkan Jihad dalam
kitab-kitab fiqih itu bukan sekadar seperti yang dibilang Paramadina meniup apa
yang mereka sebut seruling jihad. Tetapi akhlaq berjihad pun dibeberkan dengan
terang.
Di antaranya:
Dalam perang jihad, Allah SWT mengharamkan tindak melampaui batas dalam
firman-Nya:
“ ...dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190).
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuni menjelaskan pendapat mengenai larangan
melampaui batas itu:
Termasuk dalam kategori “melampaui batas” ialah melanggar larangan,
sebagaimana dikatakan Hasan al-Basri, seperti: mencincang, berkhianat, membunuh
perempuan, anak-anak dan orang tua, orang yang tidak memiliki kemampuan
berperang, membunuh pendeta-pendeta, memusnahkan tanaman dan membinasakan
binatang tanpa ada mashlahatnya. Semuanya itu termasuk larangan dalam firman
Allah “... dan janganlah kamu melampaui batas...”
Nabi SAW bersabda:
“Ukhrujuu bismillaahi, tuqootiluuna fii sabiilillaahi man kafaro
billaahi, laa taghdiruu walaa taghluu,
walaa tumatstsiluu, walaa taqtulul wildaan, walaa ash-haabash
showaami’i. (Ahmad)
“Keluarlah kalian dengan atas nama Allah, kalian berperang di jalan
Allah, terhadap orang yang kufur kepada Allah, jangan berkhianat, jangan
berlebih-lebihan, jangan mencincang, jangan membunuh anak-anak, dan
penghuni-penghuni gereja-gereja.” (HR Ahmad dan Muslim, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir 1: 226 seperti
dikutip As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, buku I, 1 hal 184/ terjemahan
Rowai’ul Bayan).
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ia
berkata:
“Ditemukan seorang perempuan terbunuh dalam salah satu pertempuran yang
dipimpin Nabi SAW, maka Nabi SAW tidak membenarkan pembunuhan terhadap wanita
dan anak-anak.” (HR Bukhari-Muslim, lihat juga tafsir al-Qurthubi, 2:327
seperti dikutip As-Shobuni, ibid 1: 184).
Perintah Rasulullah SAW itu dilanjutkan pula oleh Khulafaur Rasyidin.
Seperti wasiat Abu Bakar ash-Shiddiq ra kepada Usamah bin Zaid tatkala
mengutusnya (untuk berperang) ke Syam (Suriyah):
“Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang dan jangan
membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua dan jangan membunuh perempuan,
dan janganlah menebang pohon-pohon kurma dan jangan pula membakarnya, janganlah
kamu menebang pohon yang berbuah dan janganlah menyembelih kambing, lembu atau
onta kecuali untuk dimakan! Nanti kamu akan melewati kaum-kaum yang mengabdikan
diri di gereja-gereja yaitu para pendeta maka biarkanlah mereka beserta
pengabdian mereka itu!” (Ash-Shobuni, ibid, 3: 93).
Dari sini ada 6
gambaran yang dirumuskan para ulama:
1. Bahwa perempuan, jika memerangi maka boleh diperangi.
Ini berdasarkan keumuman firman Allah: Dan perangilah di jalan Allah,
orang-orang yang memerangi kamu..
2. Anak-anak tidak boleh dibunuh sebab ada larangan yang
tegas an karena mereka belum mukallaf
(terbebani hukum).
3. Pendeta-pendeta tidak boleh dibunuh sebagaimana pernah
dipesankan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu.
4. Orang-orang cacat (tak boleh dibunuh) kecualikalau
dipandang membahayakan.
5. Orang-orang tua tidak boleh dibunuh. Begitulah
pendapat jumhur fuqaha (sebagian besar ahli tafsir).
6. Para pekerja dan petani (juga tidak boleh dibunuh).
Dalamhal ini Umar bin Khathab pernah berkata: Takutlah kamu kepada Allah
terhadap keluarga-keluarga, dan petani-petani yang tidak menjadi lawanmu
dalamperang. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 2:237; Ahkamul Quran oleh Ibnul Arabi
1:105, dan Ahkamul Quran oleh Al-Jashash 1:302, seperti dikutip Ash-Shabuni,
ibid, 1:185).
Demikianlah di antara adab berjihad mengenai hal-hal
yang harus dihindari. Bukan seperti kecaman membabi buta dari kelompok
Paramadina.
Melandasi Kecaman dengan Celoteh Musuh Agama
Ulama fiqih klasik yang telah sangat berjasa menuntun umat
Islam agar memahami agama, tahu-tahu mendapat kecaman sebegitu pedasnya dari
orang-orang Paramadina. Sementara itu, pengecam ini untuk melandasi kecamannya
terhadap Imam As-Syafi’I dalam buku FLA halaman 167-168 itu begitu tidak
risihnya menampilkan dan mengutip-kutip musuh-musuh agama dengan celoteh
usangnya.
Kutipan:
“Karl Marx dalam sebuah kritiknya menyebut agama sebagai
candu. Nitzche dalam refleksi filsafatnya menyebut, Tuhan telah mati. Jacques
Derrida menyebut, kebenaran makna selalu tertunda. Huston Smith dalam Why
Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief
mempertanyakan apakah agama telah menemukan ajalnya? (!) Dan dalam banyak buku,
para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang tak mengakomodasi agama
lain.” (FLA, halaman 168).
Tanggapan:
Perkara Karl Marx mengecam agama, apakah memang ada
kaitannya dengan Imam Al-Syafi’i? Dan agama yang dikatakan Karl Marx itu
maksudnya langsung Islam, atau justru Kristen? Demikian pula Nitzche, Jacques
Derrida, dan Huston Smith. Tentu tidak ada kaitan-kaitannya dengan Imam
Al-Syafi’i. Bahkan para orientalis yang mengecam langsung terhadap Islam pun
tidak mengkhususkan kepada Imam Al-Syafi’i.
Aneh orang-orang Paramadina ini. Meminjam mulut orang-orang
kafir untuk landasan mengecam ulama Islam, sedangkan orang kafir itu sendiri
memaksudkan kecamannya itu kepada obyek yang mereka hadapi belaka. Dan kecaman
itupun adalah subyektivitas kebencian mereka yang memang anti agama dan anti
Islam. Barangkali masih ada sedikit
bobotnya bila Paramadina mengutip kecaman orang ahli dzimmah (ahli kitab/
Yahudi atau Nasrani yang tunduk dalam perlindungan kekuasaan Islam) atas
kedhaliman kekuasaan Islam akibat ajaran Imam Syafi’I dalam Fiqihnya (yang
sampai disebut oleh FLA: Syafi’I seakan-akan ingin menjadikan agama lain
sebagai sapi perahan yang dituntut dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi
lain, mereka tidak diberikan hak yang setimpal.). Walaupun misalnya kutipan
dari ahli dzimmah yang pembohong pun masih ada nilainya, karena ada korelasi
antara ajaran fiqih Imam Syafi’I dengan ucapan/ pengakuan (walau bohong) dari
orang yang terkena akibat.
Lebih aneh lagi, umat Islam sedunia ini sekarang sedang
dilindas oleh ajaran bahkan hukum sekuler yang sangat mendiskriminasikan bahkan
tidak membolehkan berlakunya hukum Islam, hatta untuk masyarakat muslim sendiri
pun; namun tidak ada secuil ungkapan dari orang Paramadina –selaku orang yang
masih mengaku diri mereka muslim— keberatan atas sikap menekannya hukum sekuler
itu. Kenapa yang dikecam justru Imam Syafi’I yang hukum fiqih produknya tidak
dalam kondisi diterapkan (sampai hanya khusus di kalangan Muslimin bermadzhab
Syafi’I pun tidak) masih pula
dikecam-kecam, hanya untuk membela kaum kafir? Padahal kondisi sekarang, kaum
kafir bukannya jadi dzimmi tetapi justru di dunia ini jadi penguasa dhalim.
Jadi kalau bicara kontekstual dengan keadaan, apakah Paramadina ini bicaranya
kontekstual? Ya, kontekstual, yaitu dalam hal menyuarakan suara kafirin!!!
Hanya saja terbalik. Kalau slogan yang lumrah, biasanya adalah membela yang
tertindas, tetapi ini justru sebaliknya, membela yang menindas. Ada apa?
[1] “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’: 23).
Tentang
hukum waris ada rinciannya sendiri, di antaranya terdapat dalam ayat:
“Allah
mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(An-Nisaa’: 11).
[2]
Riwayat dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang
Quraisy menjanjikan Rasulullah saw untuk memberinya harta agar menjadi orang
terkaya di Makkah, dan mereka akan menikahkannya dengan wanita yang beliau
inginkan, dan mereka melangkah di belakangnya lalu mereka berkata kepadanya,
ini untuk kamu di sisi kami, wahai Muhammad, dan hentikanlah dari mencaci
tuhan-tuhan kami, maka janganlah kamu menyebutnya dengan buruk. Apabila kamu
tidak mau, maka kami ajukan padamu satu perkara, yaitu kamu dan kami berdamai.
Beliau bertanya, apa itu? Mereka menjawab, kamu sembah tuhan-tuhan kami Laata
dan Uza selama setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun (pula). Beliau
menjawab, (tunggu) sampai aku menunggu wahyu yang datang dari sisi Tuhanku.
Lalu datanglah wahyu dari Lauh Mahfudh, qul yaa ayyuhal kaafiruun, satu
surat. Dan Allah menurunkan QS 39: 64,
Katakanlah apakah selain Allah, kalian perintahkan aku untuk menyembah wahai
orang-orang yang bodoh… sampai firman-Nya, Maka sembahlah (Allah) dan jadilah
orang yang tergolong orang-orang bersyukur. (Tafsir At-Thabari, juz 30, halaman
331).
[3]
Tafsir At-Thabari juz 15 halaman 130.
[4]
Tafsir At-Thabari juz 15 halaman 234-235.
[5]
Prof Dr HM Rasjidi, Islam & Kebatinan, Bulan Bintang, Jakarta,
cetakan 7, 1992, halaman 7-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar