Sabtu, 28 April 2012

Orang Liberal Indonesia-Malaysia Berhadapan dengan Ulama dan Umat Islam


Orang-orang berfikiran Liberal yang dinilai menghina Islam di Indonesia dan Malaysia berhadapan dengan ulama dan umat Islam. Ulil Abshar Abdalla (35 tahun) kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta diadukan ke polisi Desember 2002/ Syawal 1423H karena dinilai telah menghina Islam lewat tulisannya di koran Kompas 18 November 2002M berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Sementara itu orang-orang liberal di Malaysia, di antaranya Zainah Anwar, Kassim Ahmad, Faris A Noor, dan Akbar Ali dinyatakan oleh Persatuan Ulama Malaysia dan sejumlah organisasi Islam sebagai menghina Islam, dan diadukan kepada penguasa.
Keberanian memporak-porandakan syari’at Islam oleh orang-orang model liberal itu tampaknya sudah melampaui batas. Kata orang Arab, balaghos sailuz zuba, (banjir sudah sampai di gunung). Kata orang Jawa, wis kebak sundukane (sudah penuh tusukannya, maksudnya bukti-bukti kejahatannya). Sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla menganggap Vodca (satu jenis minuman keras, pen) itu bisa jadi dihalalkan di Rusia karena daerahnya sangat dingin.[1] Sedang larangan perkawinan Muslimah dengan non Muslim kini Ulil anggap sudah tidak relevan lagi.[2]  Itulah bukti-bukti penohokan terhadap Islam.      
Ulil Abshar Abdalla (36 tahun asal Pati Jawa Tengah) kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) tiba-tiba jadi bahan pembicaraan umum. Pasalnya, ia menulis di Harian Kompas Jakarta, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada terbitan Senin 18 November 2002M/ 13 Ramadhan 1423H. Rupanya Ulil sudah ada hubungan intensif dengan pihak Kompas, yang di masyarakat kadang diplesetkan jadi “Komando Pastur” itu. Karena sehari sebelumnya (Ahad, 17/12/2002), Ulil ketika berbicara di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta mengatakan bahwa tulisannya tentang faham JIL (Jaringan Islam Liberal) akan muncul di Kompas besok. Tulisannya itu dia uraikan di Masjid UGM Jogja itu pula, dengan pengakuan bahwa sebenarnya apa yang ia tulis itu untuk menyamakan persepsi di kalangan JIL sendiri pula, yang menurutnya masih belum sama.
Penyebaran gagasan Ulil yang ia sebut mengais-ngais dari khazanah lama itu sebelum tulisannya muncul di Kompas telah dibabat dalam Dialog Ramadhan di Masjid Kampus UGM Jogja itu oleh Isma’il Yusanto dari Hizbut Tahrir dan Hartono Ahmad Jaiz  penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Karena Ulil dalam uraiannya membagi syari’at Islam menjadi ibadah dan mu’amalah. Yang ibadah untuk diikuti, sedang yang mu’amalah seperti jilbab, pernikahan, qishosh, hudud, jual beli dan sebagainya; itu tidak usah diikuti. Karena yang penting adalah maqoshidus syari’ah (tujuan syari’ah) dan itu dikembalikan kepada keadilan Tuhan, katanya.
Keruan saja pernyataan Ulil yang juga aktivis Lakspedam NU (Nahdlatul Ulama) itu dibabat dalam Dialog Ramadhan 1423H yang diselenggarakan “Jama’ah Salahuddin” UGM itu, hingga ia disuruh tobat, dan disebut sebagi menirukan cara Iblis, yaitu disuruh oleh Allah malah membantah. (Lihat di Majalah Media Dakwah, Desember 2002/ Syawal 1423H:  Tokoh JIL  Diminta Tobat)[3].
   Dalam kesempatan di Masjid UGM Jogja itu tangan Ulil mengangkat buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dengan mengatakan, saya dianggap sesat di dalam buku ini. Tetapi itu hanyalah ijtihad Mas Hartono (Penulis buku ini). Asal yang mengatakan sesat itu tidak langsung Tuhan, tidak apa-apa bagi saya, serunya.
   Karena hal-hal yang dilontarkan Ulil dan perlu ditanggapi cukup banyak, maka ungkapan tersebut belum sempat ditanggapi. Namun dalam siaran di Radio FM Muslim Jakarta, setelah lebaran Iedul Fitri 1423H, dan keadaan justru ramai membicarakan kasus Ulil yang dinilai menghina Islam lewat tulisannya di Kompas tersebut, dan hukuman penghina Islam itu adalah hukum bunuh/ mati; maka diulas pula ungkapan Ulil, “asal yang mengatakan sesat itu bukan langsung Tuhan” itu tadi.
   Dalam siaran Radio FM Muslim Jakarta, Hartono mengemukakan, bagaimana mungkin untuk masa sekarang yang sudah tidak turun wahyu, seseorang perlu dikatakan langsung sesatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan, di zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan wahyu masih turun pun, ketika dedengkot gembong munafiq Abdullah bin Ubai bin Salul menyebarkan berita bohong, yaitu menuduh Aisyah isteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berzina, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut langsung nama Abdullah bin Ubai. Walaupun, memang disebut kebohongannya dan ancaman siksanya. Tetapi nama Abdullah bin Ubai tidak disebut. Kalau sudah tingkat Abu Lahab, Fir’aun, bahkan Iblis, maka disebut oleh Allah, bahkan Iblis dan Fir’aun disebut berkali-kali.   
     Pembabatan terhadap lontaran Ulil (tokoh liberal) secara drastis ternyata muncul, (bukan sekadar diiblis-ibliskan seperti yang terjadi di Jogjakarta dan di siaran Radio di Jakarta, atau disuruh kembali ke Islam sebelum mati nggluntung). Karena para ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di antaranya dari unsur Kiai NU (Nahdlatul Ulama) pun menyatakan bahwa tulisan Ulil di Kompas itu sudah menghina Allah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,  Islam, dan umat yang ingin menegakkan syari’at Islam. Sedangkan hukum bagi penghina Islam itu adalah hukuman mati, alias darahnya halal. Pernyataan itupun muncul menjelang Idul Fitri 1423H.
Jaringan Menghina Allah, Rasul-Nya, Ulama, dan Umat Islam
Majalah Gatra di Jakarta –dengan cover gambar kepala dililit tali gantungan– membuat laporan utama tentang kasus Ulil Abshar Abdalla ini pada edisinya 21 Desember 2002, di antaranya sebagai berikut:
Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur” di Bandung, Jawa Barat, 2 Desember, menjelang Lebaran lalu:
 Satu di antara isi pernyataan bersama itu berbunyi, “Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam, dan para ulama.” Mereka menuding tulisan Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal, di Kompas 18 November lalu, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, sebagai contoh penghinaan dimaksud.
 “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati,” demikian lanjutan pernyataan itu.
Akhir pekan lalu, Rizal Fadhilah bersama timnya sibuk melakukan pembahasan akhir draf surat pengaduan tersebut. Bila tak ada aral melintang, awal pekan ini mereka berniat menyampaikan laporan itu ke polisi.  “Dalam waktu dekat kami akan laporkan, mungkin Senin,” kata Fadhil.
Materi pernyataan itulah yang dalam dua pekan terakhir ini bikin heboh dan dikenal sebagai fatwa mati untuk Ulil Abshar Abdalla.
Seorang perumus fatwa itu, KH Athian Ali Muhammad Da’i, MA, menandaskan bahwa fatwa itu tidak hanya untuk Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.  “Terlalu kecil jika kita hanya menyorot Ulil. Kita ingin membongkar motif di balik Jaringan Islam Liberal yang dia pimpin,” kata kiai yang pernah mengeluarkan fatwa mati untuk Pendeta Suradi, Februari 2001, itu.
Fatwa tersebut dirumuskan dalam acara silaturahmi ulama asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di Masjid Al-Fajar, Jalan Situsari, Bandung. Masjid ini adalah sekretariat Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang dipimpin Athian Ali. “Silaturahmi ini tidak direncanakan sebelumnya,” kata Athian. Kebetulan, Sabtu 30 November lalu, KH Luthfi Bashori (kiai NU asal Malang, Jawa Timur) dan KH Mudzakir (Forum Umat Islam Surakarta) beserta rombongan menyampaikan kabar hendak mampir silaturahmi ke FUUI.
 Usai dari Bandung, rombongan itu melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk menjenguk KH Abu Bakar Ba’asyir.
Pertemuan di Bandung berlangsung pukul 20.30 sampai 01.30. Menurut panitia, Hedi Muhammad, sekitar 75 tokoh menghadiri silaturahmi itu. Antara lain KH Siddiq Amien (Ketua Umum Persis), Prof. Dr. Tb. Hasanuddin (Muhammadiyah Jawa Barat), KH Abdullah Abu Bakar (Dewan Masjid Indonesia), Ir. Muhammad Rodi (Partai Keadilan Solo, Jawa Tengah), serta Ali Usman (PPP Solo).
Tiap peserta mengusulkan agenda aktual tertentu agar diangkat dalam pernyataan bersama. “Sempat muncul riak perdebatan kecil, tapi tak sampai memanas, suasananya Islami,” kata Hedi Muhammad, yang juga Sekretaris FUUI, kepada Mappajarungi dari GATRA. Akhirnya, disepakatilah empat poin untuk dinyatakan bersama. Mulai soal penyelesaian hukum kasus Abu Bakar Ba’asyir, seruan memboikot produk Coca-Cola, fatwa mati Islam liberal, serta seruan menentang hegemoni politik Amerika Serikat.
Dalam hal fatwa mati, forum tersebut tidak secara khusus membahas proses penggalian hukum (istimbath) delik penghinaan agama yang berujung sanksi penghilangan nyawa itu. “Pembahasannya sudah kami selesaikan saat mengeluarkan fatwa mati pada Pendeta Suradi[4] dulu,” kata Athian Ali kepada GATRA. Kasus tulisan Ulil Abshar rupanya dianalogkan dengan kasus Suradi: sama-sama penghinaan agama. Diskusi butir ini pun berlangsung lancar.
Athian semula khawatir, peserta dari NU, KH Luthfi Bashori, akan menentang fatwa mati itu, karena Ulil Abshar dikenal sebagai pemikir muda NU. “Ternyata, Kiai Luthfi termasuk yang bersikeras mendukung,” ujar Athian.
 Ketika GATRA menghubungi pengasuh Pondok Pesantren Al-Murtadha, Singosari, Malang, itu, ia membenarkan dukungan tersebut.
“Jaringan Islam Liberal itu meresahkan umat Islam. Kalangan pesantren menilainya telah melecehkan Islam,” kata Luthfi, 37 tahun, kepada Yohan Wahyu dari GATRA. Kiai muda yang pernah berguru pada Syekh Alwi Al-Maliki di Mekkah, Arab Saudi, ini baru saja menerbitkan buku berjudul Musuh Besar Umat Islam, yang diberi kata pengantar oleh Dr. Fuad Amsyari (Surabaya). Dalam buku itu, Luthfi menyebut Islam liberal sebagai pelaku “sinkretisme modern”.

Jaringan Islam Liberal (JIL) dikoordinasikan Ulil sejak awal 2001

Sebagaimana pernah ditulis GATRA, Desember 2001 jaringan ini mewadahi pengembangan pemikiran keislaman yang kritis, pluralis, dan membawa misi pembebasan. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tercatat sebagai sedikit pemikir muslim Indonesia yang menjadi “maskot” mazhab JIL. Konsolidasi jaringan ini dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan fundamentalisme agama.
 Mereka memanfaatkan kemajuan multimedia untuk menopang kampanye gagasan, dari jaringan koran, radio, sampai internet. Dalam perjalanannya, kontributor JIL kerap terlibat ketegangan dengan kalangan Islam literal.  Mulai ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi, sampai pengaduan ke polisi.  Kasus fatwa mati kali ini seperti menjadi akumulasi dari serangkaian hubungan tegang antardua kubu pemikiran Islam itu.
 Artikel Ulil yang dinilai menghina Allah, menurut Athian, adalah ungkapan bahwa tidak ada hukum Tuhan. “Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam.  Misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan, dan lain-lain,” tulis Ulil. “Ini penghinaan luar biasa pada Tuhan,” kata Athian.
Tuduhan penghinaan atas Nabi dirujukkan pada bagian artikel yang berbunyi, “Rasul Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya).” Ulil juga dipandang menghina Islam ketika menyamakan Islam dengan agama-agama lain.
Ulil menulis, “Islam—seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain—adalah ‘nilai generis’ yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme,... bisa jadi, kebenaran ‘Islam’ ada dalam filsafat marxisme.” Bagi Athian, kebenaran mutlak hanya satu, yaitu Islam.
Tidak hanya dinilai menghina Allah, Nabi, dan Islam, Ulil juga dianggap menghina ulama dan umat Islam ketika menulis, “Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.”
Menanggapi fatwa ini, Ulil meminta agar orang tidak mudah main-main dengan fatwa mati. “Itu malah bisa memperburuk citra Islam,” katanya. Dari segi kredibilitas ulama pemberi fatwa dan pengaruh mereka, Ulil sebenarnya tidak khawatir pada dampak fatwa ini. “Tapi, ini semacam cicilan kecil menuju langkah berikutnya yang berbahaya,” katanya. “Ini bisa menciptakan iklim teror, sebentuk terorisme pemikiran.”
Pada struktur masyarakat Sunni yang terpecah-pecah, karena tidak ada kepemimpinan agama yang terpusat, Ulil khawatir fatwa demikian bisa menjadi bola liar. “Siapa saja bisa menangkap bola ini untuk mengeksekusi dengan caranya sendiri,” katanya kepada GATRA. Perbedaan penafsiran atas agama, menurut Ulil, jangan mudah divonis menghina Islam. Ia bersiap melapor ke polisi kalau buntut fatwa ini serius mengancam keamanan pribadinya. Malah, sudah ada yang menawarinya beasiswa studi ke Michigan University, Amerika Serikat, bila ia merasa terteror di Indonesia. (Jakarta, Senin, 16-12-2002 00:45:07 Islam Liberal Bahaya Bola Liar Fatwa Mati, GATRA.com/ Majalah Gatra, 21 Desember 2002).

 

Ulil Lebih bandel

Saya (Hartono Ahmad Jaiz) lihat Ulil Abshar Abdalla tampak lebih bandel/ tahan banting dibanding dedengkot nyeleneh angkatan lama seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Satu contoh, dua tokoh yang fahamnya pluralisme agama  --menyejajarkan Islam dengan agama-agama lain— itu dalam diskusi di Gedung Pers Kebon Sirih Jakarta, April 1985 tampak tegang dan marah-marah hanya karena seorang penanya mengemukakan bahwa terjemahan Nurcholish Majid “Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar)” adalah terjemahan yang haram. Dua orang itu (Nurcholish dan Gus Dur) sewot, berkata keras dan membalik-balikkan ucapan kepada penanya. Sebaliknya, kini, Ulil Abshar Abdalla, ketika dalam diskusi/ debat di Al-Azhar Jakarta Mei 2002 dengan saya, dan di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta Ramadhan 1423H/ 17 November 2002M (sehari sebelum tulisan Ulil muncul di Kompas), ternyata Ulil tidak segrogi Nurcholish atau Abdurrahman Wahid. Padahal, di Jogjakarta itu saya berkata keras, menegaskan bahwa Ulil memakai cara Nicollo Machiavelli yang dikenal menghalalkan segala cara, bahkan cara Iblis. Tidak kalah sengitnya, Isma’il Yusanto menekankan agar Ulil Abshar Abdalla kembali ke Islam yang benar sebelum dirinya mati nggluntung.[5]
Ungkapan yang drastis sudah dihujankan kepada Ulil dari berbagai pihak. Namun dia hanya kadang tampak mengkeret sedikit lalu tegar lagi. Berbeda dengan dua tokoh yang tersebut di atas. Seperti Nurcholish Madjid, begitu dihajar oleh Media Dakwah akhir 1992 dan 1993, sampai-sampai dia sakit dan harus dibawa tetirah (istilah Jawa, digunakan untuk anak kecil yang sakit-sakitan lalu dibawa ke tempat lain, misalnya ke neneknya agar berganti suasana dan cepat sembuh, menurut Aru Saif Asadullah, teman Ridwan Saidi tokoh Betawi) ke pegunungan Dieng Jawa Tengah oleh rekan-rekan pendukungnya saat itu. Di samping itu para pendukungnya, sejadi-jadinya secara maksimal membelanya, misalnya Dawam Rahardjo, sampai di aneka kesempatan dipakainya untuk membela Nurcholish Madjid. Entah itu syukuran lulusnya Azyumardi Azra dari Univbersitas Columbia Amerika, entah itu sebagai utusan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) ke cabangnya di London untuk kawasan Eropa dan sebagainya. Dawam Rahardjo secara bicara duga-duga tapi sangat bersemangat membela Nurcholish, bicara sejadi-jadinya. Intinya, membenarkan Nurcholish Madjid dan menyalahkan serta menjelekkan pengkritiknya. Pembelaan yang seperti itu barangkali saja mengakibatkan orang yang dibela yaitu Nurcholish Madjid tambah kencang tegangannya, hingga Nurcholish Madjid tega mencaci Hartono Ahmad Jaiz sebagai wartawan tengik. (Lihat di Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2002).
Pembelaan Dawam Rahardjo terhadap Ulil Abshar Abdalla agak lain lagi. Ketika di televisi Metro TV, Senin malam (23/12 2002), Dawam Raharjo yang telah dikecam oleh para ulama Indonesia dan luar negeri karena menghadirkan penerus nabi palsu Ahmadiyah, Tahir Ahmad, dari London ke Jakarta tahun 2000 masa pemerintahan Gus Dur ini sok  “menasihati” para ulama, agar berhati-hati kalau berfatwa. Karena seperti kasus di Mesir, kata Dawam, di antaranya Faraq Fouda (tokoh sekuler tahun 1990-an, model JIL atau kelompok liberal, pen) dibunuh (oleh tukang ikan di Mesir, 8 Juni 1992) itu di antaranya karena fatwa ulama, menurut Dawam Rahardjo. Pembelaan Dawam itu diucapkan di samping Ulil Abshar Abdalla yang berbicara langsung di Metro TV. Sementara itu Dawam Rahardjo sendiri tidak bisa/ tidak menjawab semprotan KH Athi’an dari Bandung (lewat telepon) yang mempersoalkan kenapa Dawam Rahardjo menyebut Al-Qur’an itu filsafat.
Perlu diingat, Dawam Rahardjo adalah petinggi di LP3ES yang pada tahun 1982 menggegerkan umat Islam karena menerbitkan buku Catatan Harian Ahmad Wahib suntingan Johan Effendi (orang Ahmadiyah) dan temannya, Ismet Natsir keluaran STF Katolik Driyarkara Jakarta tempat kuliahnya Ulil Abshar Abdalla di bawah bimbingan Romo Magnis Suseno SJ. Buku “panduan pluralisme agama dan pemikiran sekuler liberal” itu sangat dikecam oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan para tokoh Islam, karena isinya ada 26 point yang menghina Islam, di antaranya landasan Islam bukanlah al-Qur’an tapi sejarah Muhammad. Sedang Karl Marx --dedengkot yang menimbulkan Marxisme dan menganggap agama  adalah candu bagi masyarakat-- itu dianggap surganya sama dengan surga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam atau bahkan lebih tinggi lagi.
Kembali pada kasus Ulil, pembelaan-pembelaan kepada Ulil Abshar Abdalla tampaknya hanya pating clebung (menyuara sana sini) tidak sebagaimana orang membela Nurcholish Madjid. Bahkan mertua Ulil Abshar Abdalla sendiri, KH Musthofa Bisri tokoh NU, mengkritik tulisan Ulil (sang menantu ini) lewat Kompas pula, yang intinya tulisan itu keterlaluan. NU Jawa Timur dan tokohnya seperti Luthfi Bashori dari Malang justru menyetujui hukuman mati atas penghina Islam, sedang Ulil pun termasuk. Ini adalah satu hal yang berbeda dengan Nurcholish Madjid, yang kalau toh ada kritikan dari sesama rekannya, hanya sederhana. Misalnya, Dr Bachtiar Effendi menganggap pembaruan Nurcholish Madjid dengan mengartikan kalimah thoyyibah laa ilaaha illallaah menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) itu adalah cari kerjaan saja, sebagaimana Gus Dur mau mengganti assalamu’alaikum jadi selamat pagi. Kritikan lain dari sesama rekan ada juga di antaranya Pak Sutjipto Wirosardjono dari Koran Republika, bahwa pembaruan yang dicanangkan itu secara perhitungan kenyataan, antara lukanya dan hasilnya banyak lukanya.
Kalau kepada Nurcholish Madjid, orang seperti Dawam Rahardjo pembelaannya jelas secara gigih. Opini pun dibangun oleh para pembela Nurcholish atau mungkin bisa juga oleh Nurcholish Madjid sendiri, bahwa orang yang tak setuju kepadanya itu karena pikirannya belum sampai. Pembelaan model taShallallahu Alaihi wa Sallamuf sesat itu disebarkan secara luas atau tersebar ke mana-mana. Sehingga Nurcholish dicitrakan sebagai tokoh intelektual atau bahkan cendekiawan plus embel-embel Muslim. Namun rupanya pembelaan-pembelaan semacam itu justru mengurung Nurcholish Madjid untuk tidak merujuk kepada pemahaman atau sikap yang obyektif dan hati-hati. Akibatnya, kata-kata kasar pun (tidak usah saya kutip) dilontarkan kepada Ridwan Saidi, rekannya sendiri, dan juga kepada saya (Hartono Ahmad jaiz).
Ulil Abshar Abdalla pun terjerumus kepada kevulgaran yang ia sendiri mengakui bahwa tulisannya di Kompas itu provokatif dan berlebihan. Itu  bukan sekadar satu sisi, tapi dua sisi. Yaitu sisi yang ia sebut musyakalah [6](menyamai, mengimbangi) orang-orang yang ia sebut garis keras (istilah ini bikinan, untuk menyudutkan Muslimin yang istiqomah melawan sekuler dan pluralis). Sebagaimana pengakuan Ulil:
Ulil mengakui, gaya tulisannya memang provokatif. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif, dalam istilah balaghah-nya (sastra Arab), musyakalah,” katanya.  “Dari segi substansi, saya tidak menyesali tulisan saya. Mungkin saya mengevaluasi cara saya yang kurang tepat.” (Gatra, Nomor 05,  21 Desember 2002].

Dalam awancara di Majalah Tempo, Ulil ditanya:
Memangnya Anda sedang geram ketika menulis artikel itu—seperti yang diduga oleh mertua Anda, K.H Mustafa Bisri?
(Jawab Ulil): Memang tulisan itu provokatif dan agak melebih-lebihkan. Tulisan itu  adalah hasil perjumpaan dan pergumulan pemikiran saya dengan teman-teman garis keras dalam sejumlah diskusi. Misalnya dengan Ismail Yusanto dari  Hizbut Tahrir, Adian Husaini dari KISDI, Hartono Ahmad Daib[7] yang menulis buku Paham dan Golongan Sesat di Indonesia. Pandangan mereka saya anggap bercorak “gerakan Islam baru”, untuk membedakan dengan gerakan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU. ***** ( @ tempointeraktif.com/ Majalah Tempo, 19 Desember 2002 ).

Sisi kedua adalah kevulgaran dalam menohok Islam
Inilah yang justru seharusnya pertama tama harus disadari dan kemudian bertaubat. Tetapi malahan Ulil bersikukuh dengan tegar: “Dari segi substansi, saya tidak menyesali tulisan saya…” 
Padahal yang diresahkan dan dikhawatirkan oleh umat Islam termasuk dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama), bahkan Kiai NU,  KH Luthfi Bashori dari Malang Jawa Timur, sampai menyepakati bahwa tulisan itu menghina Islam, sedang orang yang menghina Islam itu hukumannya menurut Islam bisa dihukum mati, adalah justru substansi isi tulisan itu. Bukan sisi kevulgaran yang ia sebut provokatif dari segi cara atau penampilan gaya menulisnya.
Majalah Gatra mewawancarai Ulil di antaranya dalam meteri-meteri sensitif yang jelas jawaban Ulil menohok  Islam sebagai berikut.

Islam di Antara Agama-agama Lain

Ulil: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi,  Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen  selama berabab-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru  pada 1965 Masehi, Gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini.  Sedangkan Islam, yang berusia 1.423 tahun dari hijrah Nabi, belum  memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.”


Kawin Beda Agama

Ulil: “Larangan beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi,  umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam  sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar  Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu,  membolehkan laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab  hingga saat ini masih ada. Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi  pun bisa disebut ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi,  melainkan sosial.” (Gatra, 21 Desember 2002).

Tidak Ada Hukum Tuhan

Ulil: “Dalam pemikiran hukum Islam dibedakan antara wilayah ibadah dan muamalah. Wilayah ibadah sudah diatur secara detail. Semua  tata cara ibadah harus sesuai dengan ketentuan agama. Misalnya salat,  jumlah rakaatnya tak bisa ditambah.
Tapi, muamalah itu progresif dan dinamis, sesuai dengan  perkembangan manusia. Sedangkan hukum Tuhan yang diibaratkan Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak pernah ada. Walaupun pernah  diterapkan pada masa Nabi, hanya berlaku pada saat itu saja. Misalnya  potong tangan, qishash, dan rajam. Ini praktek yang lahir karena  pengaruh kultur Arab.
Yang terpenting dalam hukum adalah mencakup lima pokok kemaslahan (maqasidusy-syariah), yaitu untuk menjaga jiwa, akal, agama,  harta, dan kehormatan. Misalnya, perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk pelarangan minuman keras (khamar). Jadi, haramnya khamar ini  bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin.” (Gatra, 21 Desember 2002).

Merusak Islam

Cara berfikir Ulil Abshar Abdalla ini sangat memberi peluang dalam merusak pemahaman Islam. Dalam hal lima pokok itu sendiri, urutan lima hal yang dilindungi itu sudah ia ubah. Mestinya urutan yang pertama adalah agama (perlindungan nomor pertama, hingga orang yang murtad dan meninggalkan jama’ah maka dihukum mati karena membahayakan agama), lalu oleh Ulil diurutkan ke nomor tiga. Padahal dikedepankannya agama sebagai nomor pertama yang dilindungi itu ada implikasinya. Dalam sejarah, nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzdzab diperangi sampai mati oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq dengan mengerahkan 10.000 tentara, dan dipilihkan panglima terkenal Khalid bin Walid untuk memimpin penyerbuan. Demikian pula Ja’d bin Dirhim disembelih sebagai korban di hari raya Idul Adha oleh Gubernur Wilayah wasith di Irak gara-gara pendapatnya yang nyeleneh, yaitu mengingkari Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah, dan Nibi Musa sebagai Kalimullah.[8] Juga murid Ja’d bin Dirhim yakni Jahm bin Shofwan dibunuh karena pendapatnya yang menyeleweng dari Islam. Al-Hallaj pun dihukum bunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama karena Al-Hallaj tokoh taShallallahu Alaihi wa Sallamuf sesat itu mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq, Tuhan).
 Dari sisi lain, tentang apa yang telah dikemukakan Ulil, kalau larangan minuman khamr itu bersifat sekunder dan kontekstual, hingga vodka di Rusia bisa jadi  dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin; maka larangan berzina yaitu untuk melindungi keluarga (nasab –keturunan) pun bisa diqiyaskan kepada “fatwa Ulil” tentang vodka itu. Hingga orang yang bermadzhab kepada faham Ulil akan mengqiyaskannya: berzina di Puncak yang udaranya sangat dingin atau di musim dingin di daerah-daerah yang ada musim dinginnya maka tidak apa-apa, karena di sana sangat dingin. Karena zina itu larangannya sekunder dan kontekstual. Kalau sampai demikian, maka rusak lah agama ini.
Kontekstual yang benar menurut ilmu Islam adalah ayat satu dihubungkan dengan ayat lainnya serta hadits-hadits yang menjelaskannya, sesuai dengan penjelasan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in atau ulama yang ahli dan terpercaya. Itulah kontekstual. Sehingga ditemukan makna ayat atau hadits yang benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

36. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda: ‘Seorang penzina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada di dalam keimanan. Seorang pencuri tidak akan mencuri jika ketika itu dia berada di dalam keimanan (yaitu iman yang sempurna). Begitu juga seorang peminum arak tidak akan meminum arak jika ketika itu dia berada di dalam keimanan’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih).

1177. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Setiap minuman yang memabukkan adalah arak dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barangsiapa yang meminum arak di dunia lalu meninggal dunia dalam keadaan dia masih tetap meminumnya dan tidak bertaubat, maka dia tidak akan dapat meminumnya di Akhirat kelak’...” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih).

1558. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Di antara tanda-tanda hampir Kiamat ialah terhapusnya ilmu Islam, munculnya kejahilan, ramainya peminum arak, dan perzinaan dilakukan secara terang-terangan’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih).

Penjahat akan terdukung kejahatannya

Nurcholish Madjid dalam kondisi yang kalah tegar dibanding Ulil, namun akibat didukung-dukung oleh para pengagumnya seperti Dawam Rahardjo maka bisa diangkat sebagai orang berjulukan cendekiawan Muslim terkemuka, sedang oleh pihak yang mengkritisinya adalah tak lebih dari Gatoloco Darmogandul yang mengkutak-katik Islam semaunya.
Ulil Abshar Abdalla dengan aneka ketegarannya mendapatkan fatwa hukuman mati dengan diqiyaskan kepada Pendeta Suradi yang menghina Islam, tapi oleh pendukungnya ia malah mendapatkan tawaran untuk belajar di Amerika serta diberi peluang untuk berbicara, menulis, ceramah dan sebagainya oleh orang-orang atau lembaga atau kelompok yang ingin menghancurkan Islam lewat orang yang mengaku Islam.
Orang yang membela agama Allah dengan ikhlas insya Allah akan dimudahkan Allah SUBHANAHU WA TA’ALA. Sebaliknya, orang yang merusak agama, ia akan mendapat dukungan dari kafirin, munafiqin, musyrikin, sekuler, anti Islam berfaham liberal, menyamakan semua agama dan sebagainya hingga mudah untuk menjajakan perusakan terhadap agama. Padahal masalah semacam ini telah diancam oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
1547. Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Ketika aku mengiringi jenazah di perkuburan Baqi’ al-Gharqad (di Madinah), lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghampiri kami, lantas baginda duduk dan kami juga duduk di sekitarnya. Baginda memegang sebatang tongkat dan menghentakkan tongkat itu ke tanah. Baginda kemudian menggariskan tanah dengan tongkat tersebut dan bersabda: ‘Setiap orang dari kamu, setiap jiwa yang bernafas telah ditentukan oleh Allah tempatnya di Suurga atau di Neraka. Begitu juga nasibnya telah ditentukan oleh Allah, apakah dia mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.’ Saidina Ali berkata: ‘Seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah! Kenapa kita tidak menunggu ketentuan kita terlebih dahulu kemudian barulah memulakan amal ibadah? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang termasuk dalam golongan yang mendapat kebahagiaan, sudah pasti dia mudah melakukan amalan golongan bahagia. Begitu juga barangsiapa yang termasuk dalam golongan yang mendapat kecelakaan, dia juga sudah pasti mudah melakukan amalan golongan celaka.’ Baginda bersabda lagi: ‘Lakukanlah amalan, karena segala-galanya dipermudahkan. Golongan yang mendapat kebahagiaan akan dipermudahkan melakukan amalan golongan yang mendapat kebahagiaan. Dan adapun golongan celaka maka akan dipermudahkan melakukan amalan golongan celaka.’ Seterusnya Baginda membaca ayat, yang artinya: Adapun orang yang memberikan apa yang ada padanya ke jalan kebaikan dan bertakwa dengan mengerjakan suruhan Allah dan meninggalkan segala larangannya serta dia mengakui dengan yakin akan perkara yang baik, maka sesungguhnya kami akan memberikan dia kemudahan untuk mendapat kesenangan Syurga. Sebaliknya orang yang bakhil daripada berbuat kebajikan dan merasakan cukup dengan kekayaannya dan kemewahannya serta dia mendustakan perkara yang baik, maka sesungguhnya kami akan memberikannya kemudahan untuk mendapat kesusahan dan kesengsaraan. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
      Tidak sadarkah bahwa kita akan mati, sedangkan seluruh perbuatan kita itu harus dipertanggung jawabkan? Pembela kebenaran hendaknya tidak terpikat kepada kebatilan, apalagi mendukungnya. Kewajiban umat adalah memberantas kemunkaran. Sedang kemunkaran yang terbesar adalah perusakan agama.
   Adanya tokoh-tokoh yang merusak agama, perlu dilihat latar belakangnya pula. Ulil Abshar Abdalla, menurut Dawam Rahardjo (orang yang tampaknya biasa membela atau mendukung aliran dan pemikiran sesat), tingkatannya di atas Ahmad Wahib (tokoh yang menghebohkan karena bukunya yang berjudul Catatan Harian Ahmad Wahib mengandung 26 poin yang menghina Islam dan menganggap semua agama sama[9], dan Ahmad wahib itu di atas Nurcholish Madjid.
   Latar belakang Ahmad Wahib adalah orang muda yang dididik oleh dua orang Romo di Jogjakarta selama 5 tahun. Sehingga pemikirannya sangat kacau dalam memandang bahkan menafsirkan Islam. Demikian pula konon Ulil Abshar Abdalla itu dididik pula oleh seorang Romo terkenal yaitu Frans Magnis Suseno SJ di Sekolah Tinggi teologia (Katolik) Filsafat Driyarkara Jakarta. Ternyata Ulil tingkatannya lebih tinggi kekacauan pikirannya dibanding Ahmad Wahib, karena Romo yang mendidik Ulil pun lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, Nurcholish Madjid di Chicago Amerika konon dididik oleh tokoh kontroversial berfaham pluralisme Agama yakni Fazlur Rahman, orang yang diusir (?) para ulama dari Pakistan karena pendapat-pendapatnya yang kontroversial.
   Dengan kenyataan seperti itu, maka umat Islam mesti hati-hati dan waspada dalam mendidikkan anak-anaknya dan dalam bergaul. Hasil didikan dan pergaulan yang sedemikian mencemaskan semacam itu, yang lebih memprihatinkan umat Islam adalah makin banyaknya kaum intelektual Islam yang dalam belajar Islam mereka itu di bawah didikan orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani di Barat, dan sekarang mereka menjadi pengajar-pengajar di perguruan-perguruan tinggi Islam dan lembaga-lembaga Islam se-Indonesia. Para anak didik kafirin Barat itulah justru yang banyak bercokol dan memang dicetak untuk menduduki perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia, diprogram secara intensip sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 sampai kini, dan paling gencar di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali selama 10 tahun, 1983-1993. Dengan demikian, umat Islam mesti jeli. Agar selamat dari jeratan kafirin Yahudi dan Nasrani Barat anti Islam itu, maka  wajib mewaspadainya, menyingkirkan mereka, dan membatasi gerak mereka semaksimal mungkin. Tanpa sikap yang demikian, justru umat Islam akan menjadi mangsa mereka, yaitu wakil-wakil kafirin Yahudi Nasrani yang berbaju Islam untuk memangsa Islam dari dalam.
   Membunuh orang Islam di barisan kafirin waktu perang adalah sah, menurut ajaran Islam, maka memboikot total seluruh kegiatan wakil kafirin (yang belajar Islam ke orang-orang kafir Barat) adalah sah pula[10]. Dan sekarang sudah masanya umat Islam menjaga diri benar-benar mengenai bahaya ini.
            Kalau Dawam Rahardjo menilai bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah lebih tinggi dibanding Ahmad Wahib,  sedang Ahmad Wahib lebih tinggi dari Nurcholish Madjid, maka tak mengherankan, setelah Ulil “sukses” menghebohkan umat Islam dengan tulisannya yang menafikan hukum Tuhan itu kemudian diundang untuk bicara di Paramadina, Februari 2003. Konsepnya yang belum matang lalu agak dimatangkan kemudian dihidangkan di sana, dengan “mengompori” orang-orang yang tergabung dalam diskusi di Paramdina bahwa kalau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami umat Islam selama ini maka artinya adalah penyembahan teks. Ulil mengajukan jalan keluarnya, yaitu Al-Qur’an dipakai namun kedudukannya adalah separoh, sedang yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia, karena manusia itu sudah diberi takrim (penghormatan).[11]
            Jalan keluar yang dilontarkan Ulil itu sebenarnya hanyalah tidak mau menerima kalau manusia ini harus tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka Ustadz Hasan Bashori dengan sigapnya menanggapi lontaran sampah dari Ulil di Paramadina Februari 2003 itu  dengan buku yang berjudul Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur'an, Pustaka Sunnah, Surabaya, 2003, dengan meminta saya untuk memberi kata pengantar. Meskipun kata-kata sampah Ulil itu sudah dibantah Ustadz Hasan Bashori (teman sekuliah dengan Ulil di LIPIA Jakarta, hingga berani mengatakan Ulil rosib –gagal/ tak lulus— sedang Hasan Bashori juara pertama), namun lantaran tingkatan Ulil di kalangan orang sekuler dan liberal cukup tinggi, maka fatwa-fatwa sampahnya itupun dipunguti oleh Paramadina. Kemudian mereka pun mau mengikuti jejak Ulil, yakni ngawur sejadi-jadinya, lalu membentuk tim 9 orang sebagai penulis yang membuat apa yang mereka sebut Fiqih Lintas Agama, terbit menjelang akhir tahun 2003.
            Kalau Ustadz Hasan Bashori telah berani melawan Ulil dengan menulis buku, walaupun Ulil di jajaran Liberal dianggap oleh Dawam Rahardjo sebagai orang yang maqamnya tinggi, melebihi Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, maka untuk menulis buku yang membantah Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya pun al-hamdulillah sanggup. Kurang lebihnya, cara-cara ngawurnya serta kaduk wani kurang dugonya (terlalu berani tanpa perhitungannya) sama. Baik Ulil maupun tim penulis FLA Paramadina. Maka sebelum membahas buku FLA perlu diungkap celoteh-celoteh Ulil dan lainnya yang model-model liberal dan ngawur lagi merusak Islam itu.


[1]  Gatra 21/ 12 2002.
[2] Kompas 18/11 2002.
[3]Tokoh JIL Disuruh Tobat
    Tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) Ulil Abshar Abdalla yang dikenal dari kelompok NU (Nahdlatul Ulama) disuruh tobat dan kembali kepada Islam yang benar.
   Suruhan tobat dan kembali ke Islam yang benar itu diucapkan langsung kepada Ulil Abshar Abdalla oleh Ismail Yusanto presiden Hizbut Tahrir Indonesia di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta dalam acara dialog Ramadhan, Ahad 17/11 2002 yang dihadiri 500 orang lebih, rata-rata mahasiswa dan pemuda Islam. Selain itu pembicara lain, Hartono Ahmad Jaiz penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia juga membantah ungkapan-ungkapan Ulil yang menganggap hukum-hukum Islam seperti hukum perkawinan, jual beli, hudud, qishosh itu tidak usah diikuti.
   Persoalan mendasar yang menjadi keyakinan JIL berupa pluralisme agama, menyamakan semua agama, dalam kesempatan itu dibabat habis oleh Ismail Yusanto. Apabila orang JIL menganggap bahwa semua agama sama, asal beriman kepada Allah dan hari akhir lantas masuk surga, maka anggapan itu perlu dibuktikan secara keilmuan yang terinci. Keimanan kepada Allah itu di antaranya iman tentang Rububiyyah-Nya (ketuhanan-Nya yang mengatur alam ini), Uluhiyyahnya (hak untuk disembah) dan asma’ wa shifat-Nya (nama-nama dan sifat-Nya). Sedangkan dalam Al-Qur’an telah ditegaskan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Maka al-Qur’an menegaskan bahwa orang Yahudi telah kafir karena mengangkat Uzair sebagai anak Allah. Orang nasrani telah kafir karena mengangkat Isa sebagai anak Allah. Maka menyamakan semua agama itu jelas bertentangan dengan Al-Qur’an.
   Mumpung belum mati, menurut Ismail, Ulil Abshar yang duduk di sampingnya itu ditunjuk dan dinasihati agar bertobat dan kembali kepada Islam yang benar.
   Dalam acara itu Ulil Abshar Abdalla menguraikan karangan barunya yang ditulis kemudian muncul di koran Kompas (Senin 18/11 2002). Kata Ulil, Islam itu ada wilayah ibadah dan wilayah mu’amalah. Yang mengenai mu’amalah maka kita hanya perlu merujuk kepada keadilan Tuhan. Bukannya mengikuti aturan tentang jilbab, perkawinan, hudud, qishosh dan sebagainya. Karena aturan-aturan itu di zaman modern ini sudah tidak relevan lagi.
   Ungkapan itu dibantah oleh Hartono Ahmad Jaiz. Karena, pembagian hukum Islam menjadi wilayah ibadah dan mu’amalah, lalu yang mu’amalah dianggap tidak perlu diikuti karena sudah tidak relevan lagi di zaman modern ini, itu hanyalah menirukan cara Iblis. Yaitu sudah ada perintah Allah, tetapi mengingkari perintah itu dengan alasan yang dibuat-buat.
   Orang yang mengatakan bahwa hal-hal mengenai mu’amalah itu kini tidak relevan lagi, itu sama dengan Iblis yang kurang lebihnya ketika diperintah untuk sujud kepada Adam maka ia membantahnya, menganggap bahwa perintah Allah itu tidak relevan.
   Kalau beralasan hanya perlu merujuk kepada keadilan Allah (bukan mengikuti aturan-aturan mengenai mu’amalah dalam ayat-ayat), maka ungkapan itu menurut Hartono adalah mengingkari ayat: alaisalloohu biahkamil haakimiin (Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya, QS At-Tien/ 95: 8). Kalau benar-benar mengakui merujuk kepada keadilan Allah, maka justru mengikuti apa saja yang diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan malah menganggapnya tidak relevan.
   Kata Hartono, pembagian hukum Islam kepada ibadah dan mu’amalah, kemudian yang mu’amalah dianggap tidak relevan lagi untuk diikuti semacam itu sebenarnya hanyalah mengulangi apa yang dikemukakan mantan menteri Agama H Munawir Sjadzali yang telah gagal dalam mengubah hukum waris Islam, dengan istilah reaktualisasi ajaran Islam.
   Kasus pemberian nasihat agar bertobat dan semacamnya itu bukan hanya sekali ini terjadi pada diri Ulil Abshar Abdalla. Sebelumnya, pernah pula teman kuliahnya dulu di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), Agus Hasan Bashari yang kini menulis buku ini pun dalam satu pertemuan di Al-Azhar  Jakarta, setelah mendengar uraian-uraian Ulil, lalu mendekatinya dengan mengatakan: Ittaqillaah ya akhi. Takutlah kepada Allah, wahai saudaraku.     

[4] KH Athian Ali Muhammad Da’i (Ketua Forum Ulama Ummat) “Hukuman Mati Dua Pendeta Sudah Akan Dilaksanakan” Masjid Istiqamah Bandung letaknya di jantung kota yang sejuk di antara pepohonan yang rimbun. Akhir bulan Februari silam, kesejukan masjid itu telah menjadi tempat lahirnya sebuah fatwa mati bagi dua orang pendeta yang telah menafsirkan Islam dengan cara-cara yang sangat tidak senonoh.  Kedua pendeta itu adalah Suradi ben Abraham, Ketua Yayasan Nehemia yang beralamat di Jl Proklamasi 47 Jakarta Pusat dan Daris Poernama Winangun alias H Amos.
Resminya, fatwa mati yang baru pertama kali dijatuhkan sejak Indonesia merdeka itu dikeluarkan oleh Forum Ulama Ummat, sebuah lembaga silaturrahmi antara tokoh-tokoh ummat dan para ulama. Isi fatwa itu terdiri dari dua butir pernyataan. Pertama berdasarkan syariat Islam, mereka yang menghina Islam seperti Pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun wajib dihukum mati. Kedua, Forum itu meminta pemerintah melaksanakan tindakan hukum untuk menghindari umat Islam mengambil tindakan sendiri.
Pendeta Suradi maupun Poernama dinilai Forum itu telah dengan sengaja menghina Nabi Muhammad Salallaahu ‘alaihi wa salam dan Allah Subhanaahu wata’ala. Penghinaan itu tertuang dalam buletin Gema Nehemia, buku-buku, ataupun kaset-kasetnya yang telah beredar luas, di berbagai daerah sampai keluar Jawa. Secara terbuka Suradi pernah mengatakan, bahwa “Tuhannya umat Islam adalah hajar aswad yang menempel di dinding Ka’bah di Mekkah itu.” Disebutkan pula bahwa wahyu yang diterima Nabi Muhammad di Gua Hira adalah suara setan; al-Quran itu bukanlah ayat suci, karena ayat-ayatnya bertentangan; Muhammad belum selamat, karena lima kali dalam sehari umat Islam mendoakannya, dengan membaca “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala ali sayyidina Muhammad (Ya Allah selamatkanlah Muhammad dan keluarganya)”.
Sedangkan jurus Pendeta Daris HA Poernama Winangun memprovokasi umat Islam, antara lain, dapat di baca di buku Upacara Ibadah Haji. Di buku yang terbit Desember 1997 itu, Poernama menyatakan bahwa kedudukan Nabi Isa ‘Alaihis salam sama dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala; Nabi Muhammad pernah memperkosa seorang gadis; Nabi Musa As lebih memiliki pengetahuan dibandingkan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, umat Islam memberhalakan Ka’bah, dan masih beberapa hal lain yang sangat tak patut ditulis.

Bagaimana proses keluarnya fatwa itu?
Jadi FUU mengeluarkan fatwa itu justeru untuk menenangkan mereka dan mencoba untuk meluruskan langkah mereka agar tidak malah semakin memperkeruh masalah.

Kriteria penghinaan itu seperti apa? Apakah yang dilakukan Theo Syafe’i dulu masuk dalam kategori penghinaan itu?

Sebenarnya ini hanya menjadi contoh. Makanya dalam fatwa itu dikatakan “..mereka yang menghina Islam seperti dua pendeta itu..”. Jadi tidak terbatas mereka. Tinggal bagaimana kita menyelesaikannya. Kita sebut mereka berdua itu berdasarkan data-data yang dimiliki. Kalau memang ada data-data yang lain, kami pun akan melakukan hal yang sama.  Apakah kalau kedua pendeta itu meminta maaf fatwa ini akan dicabut?  Tidak. Dalam mazhab Hambali, mereka yang dengan sengaja menghina Rasulullah tidak perlu diberi kesempatan meminta maaf atau bertobat.  Hukuman mati itu harus dilaksanakan tanpa mereka diberi peluang atau ditanya apakah dia akan bertobat atau tidak.

Apakah ada upaya klarifikasi dengan pihak gereja mereka? 

Ini sama sekali tidak perlu klarifikasi lagi karena mereka sendiri sudah memberikan pengakuan kebenaran apa yang mereka sampaikan. Bahkan kalau seperti yang kita baca di Gatra, Suradi terang-terangan mengakuinya.  Bahkan dia siap untuk di-meja hijaukan. Dia tidak membantah sama sekali soal penghinaan yang dia lakukan. Dia tidak menganggap itu penghinaan. Dia hanya menyayangkan kenapa brosur itu bisa sampai ke tangan umat Islam. Itu saja yang dia sayangkan, padahal mereka sendiri yang menyebarkan.
 Kalau yang saya lihat, penghinaan oleh dua pendeta ini memang kasus yang luar biasa. Bahkan dalam pidatonya, dia sendiri menantang. Katanya, “Arswendo yang hanya menempatkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam urutan ke-10 saja, dia sudah dipenjara sekian tahun. Saya yang sudah begini, mana ada yang menangkap saya.” Jadi dia seolah-olah menantang. (Majalah Suara Hidayatullah : April 2001).      

[5] Ketika saya ceritakan tentang tahan bantingnya Ulil itu kepada salah satu adik saya, kemudian adik saya ini menyahut bahwa ia punya teman yang dekat dengan Ulil dan tahu persis tentang keluarganya. Katanya, Ulil ini anak seorang Kiai (KH Abdullah Rifa’I, wafat 2003) di Pati Jawa Tengah yang para santrinya semuanya takut kepada Kiai itu. Namun Ulil tetap berani walau sampai dimarah-marahi oleh bapaknya itu. Jadi kalau sekarang Ulil lebih tahan banting dibanding Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, itu bisa dimaklumi, bila tahu latar belakangnya yang sudah “terlatih tahan dimarah-marahi” itu. Tetapi tahan banting mana antara Ulil dengan rekan-rekannya di Malaysia, wallahu a’lam.. Rekan-rekannya yang liberal di Malaysia kini juga diadukan ke penguasa untuk ditindak pula karena menghina Islam, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan para ulama. Orang-orang liberal dan feminis di Malaysia sekarang seperti Akbar Ali, Faris A Noer, Kassim Ahmad, dan Zainah Anawar sedang mengalami nasib yang tidak jauh beda dengan Ulil, bahkan mereka lebih dulu disoroti oleh para ulama dan organisasi-organisasi (pertubuhan) Islam. Hingga dikeluarkanlah sebuah memorandum, dan disertai bukti-bukti penghinaan orang-orang liberal itu terhadap Islam. Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Persatuan Ulama Malaysia dan 7 organisasi Islam terkemuka di sana tentang tulisan-tulisan orang liberal dan feminis yang menghina Islam kami kutip dari memorandum mereka sebagai berikut:
Berikut adalah antara penghinaan yang dinyatakan dalam tulisan mereka yang kami dapati menghina ulama’, menghina status Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sekaligus  menghina hukum-hukum Islam :
1.0 ISLAM BOLEH DITAFSIR OLEH SESIAPA SEKALIPUN TANPA MENGIRA LATAR
BELAKANGNYA.
1.1 “Islam bukanlah milik individu atau mana-mana golongan yang mendakwa mereka sebagai ulama . Oleh itu sebarang pentafsiran  terhadap sumber-sumber Islam seperti Al Quran bukanlah milik para ulama semata-mata.” (Zainah Anwar , Pengarah Eksekutif Sisters in Islam :Utusan   Malaysia, 26 hb September 2000)
1.2 “Semua umat Islam perlu kembali kepada asas-asas Islam dengan menolak tafsiran klasik  (lama )yang telah ketinggalan zaman.... Kepada umat  Islam kita menyeru supaya digerakkan usaha-usaha membuat tafsiran Al Quran  berdasarkan kaedah saintifik.”
(Kassim Ahmad, New Straits Times, 12 hb Oktober 2000)
2.0 MENGHINA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM.
2.1 “.the Prophet known to have had sexual relations with 15 women, which included the concubine Rayhana who remained non-Muslim all her life.” (“Nabi diketahui telah mengadakan hubungan seks dengan 15 wanita termasuk seorang wanita bernama Rayhana yang tidak Islam sehingga akhir hayatnya”) [”Let Islam lead way with its progressive view on sexuality” oleh Farish A. Noor (NST, 4 Nov 4 2000)]
2.2 “.the Prophet himself, in his specific historical context, was a tribal leader, and so the early oath of allegiance given to him were given as a tribal rather than just a religious leader.”    
(... Nabi sendiri dalam konteks sejarahnya adalah seorang pemimpin kabilah, dan oleh kerana itu ketaatan awal kepada baginda diberi kerana baginda adalah pemimpin kabilah lebih dari pemimpin agama)
“....Islam is a discourse and all discourses are open, contested and plastic....”
( Islam adalah suatu wacana dan semua wacana adalah terbuka, boleh dicabar dan plastik )
[”Farish A Noor - Intellectual Provocateur” temubual oleh Amir Muhammad (“The Edge” , 3 Dis 2001)]
2.3 “the Prophet was seen by early converts to Islam as a tribal  leader and many of those who rallied to his banner did so according to the logic of tribal loyalties.”
(.Nabi dilihat oleh pengiku-pengikutNya sebagai pemimpin suku dan ramai di kalangan mereka yang mengikutinya berbuat demikian kerana logik kepatuhan kesukuan .)
[”The Myth Surrounding the Islamic State” oleh Farish A. Noor ( NST 1 hb Disember 2001)
3.0 MENGHINA ULAMA’ DAN SUNNAH RASULLULAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

3.1       “Perhaps the turbans of the mufti are too tight and therefore not enough oxygen is getting into their brains.They are not thinking straight. “ “From time to time the ulama do not fail to come out with their totally ridiculous and foolish pronouncements.”
(“. Mungkin serban mufti-mufti terlalu ketat dan sebab itu tidak cukup oksigen masuk ke dalam otak mereka. Mereka tidak berfikiran waras ...Dari masa ke semasa ulama selalu mengeluarkan pengumuman yang tidak masuk akal dan bodoh.”) [”Now the mufti blame Hindi films” Akbar Ali (The Sun, 21hb Februari 2001)]
3.2. “A religious issue is finally being discussed freely by many intelligent people and not just by men who dislike shaving but are not averse to wearing dresses..”
“There is also substantial discussion on this issue on the Internet which usually provides more challenging opinions than what we will hear from the bearded ones in our neighbourhood”.
(“.. Isu agama akhirnya dibincang secara bebas oleh ramai bijak pandai dan tidak hanya orang yang tidak suka mencukur janggut tetapi tidak menentang mengenai pakaian.
“Terdapat juga perbincangan yang mendalam mengenai isu ini di dalam internet yang kebiasaannya mengeluarkan pendapat yang lebih mencabar berbanding apa yang kita dengar daripada mereka yang berjanggut”)
(“Many Sides to tudung issue” oleh Akbar Ali – The SUN, 12 April  2000)
4.0 MENAFIKAN HUKUM ISLAM MENGENAI MURTAD
4.1 The Quran allows a person to become apostate twice and then to persist in his disbelief” “No punishment of any sort at all is prescribed for such a person other than the promise that God will never forgive him nor guide him to the right path. This is God’s promise. It is his law.”

(..Al-Quran membenarkan seseorang menjadi murtad dua kali dan kekal sebagai kafir.
..Tiada hukuman dinyatakan ke atas seseorang yang murtad selain dari janji Tuhan yang tidak akan mengampuninya mahupun memberinya petunjuk yang lurus. Ini adalah janji Tuhan. Ini adalah undang-undangNya.)
(Death For Apostates Unjust oleh Akbar Ali - The SUN, 14 hb Julai 1999)
4.2 “The few women who have spoken in support of  polygamy also seem to be strong supporters of the ulama brand of religion..The ulama in their efforts to confuse have come out with fancy stories that a wife who consents for her husband to take another wife is assured a place in paradise”

(“Segelintir wanita yang telah mengutarakan pendapat menyokong poligami nampakanya menjadi penyokong kuat terhadap ugama mengikut jenama ulama .  ulama dalam usaha mereka untuk mengelirukan telah mengeluarkan cerita-cerita karut bahawa seorang isteri yang membenarkan suaminya berkahwin lain dijamin syurga.”)
(Polygamy in Islam comes with a heavy responsibility  - Akbar Ali dalam The SUN 20/1/02)
5.0 MENAFIKAN HUKUM YANG TELAH JELAS DALAM AL-QURAN
5.1 “Therefore the question that should be addressed in our society today is not whether poligamy should be relegalised under the civil law for the non Muslims, but whether it should still be continued under the Islamic family law for the Muslims”.

(“Oleh kerana itu soal yang perlu ditangani di dalam masyarakat kita hari ini bukanlah isu samada poligami patut disahkan di bawah undang-undang sivil untuk orang bukan Islam, tetapi samada ia sepatutnya dibenarkan terus di dalam undang-undang keluarga Islam”)
[”Islam did not Invent or Encourage Polygamy”, Sisters in Islam, NST 10th January 2002]
5.2 “ As for the number of wives allowed in polygamy, the Quran does not indicate a fixed maximum of four. The phrase “two and three and four “ is also found in describing the wings of angels”

(“Mengenai bilangan isteri yang dibenarkan di dalam poligami, Al-Quran tidak menetapkan bilangan yang terhad kepada empat. Pernyataan “dua dan tiga dan empat” juga terdapat dalam memperihalkan sayap-sayap para malaikat”)
(Polygamy in Islam Comes ith a Heavy Responsibility  - Akbar Ali dalam The SUN 20/1/02)
6.0 ISLAM DIPERSOALKAN

Majlis Peguam dengan kerjasama Sisters in Islam dan National Human Rights Society telah menganjurkan Bengkel Festival Hak Asasi sempena Hari Hak Asasi Sedunia pada 8 Disember 2001 di Kuala Lumpur. Suatu rencana berjudul ISLAM THE GREAT DEBATE yang ditulis oleh Sarah Sabaratnam dan Loretta Ann Soosayraj dalam New Straits Times 11 Disember 2001 telah melaporkan beberapa panelis jemputan memberi tanggapan negatif terhadap sistem keadilan Islam. Antaranya:

Fatwa dianggap menyekat kebebasan individu dan masyarakat

6.1 “.the right to privacy and freedom of choice was seen to have been violated when the Johor State Government issued a fatwa to compel all Muslim couples intending to marry to go for HIV testing.”

(“.. hak kepada kebebasan memilih dilihat sebagai bercanggah dengan Fatwa yang dikeluarkan oleh Kerajaan Johor yang mewajibkan semua pasangan Islam yang ingin berkahwin menjalani ujian HIV..”)
6.2 “Islamic discourse is used to police and control the community.”    

(“Islam adalah wacana yang digunakan untuk mengawal dan mengawasi masyarakat.)
[Farish A Noor]
6.3 “He also said that ‘public Islam’ can erode fundamental liberties, pointing to the case of a nonMuslim trader in Kelantan who lost his right to livelihood when he was penalized for selling food to a Muslim during Ramadhan.”

(..”Beliau juga berkata ‘Islam awam’ boleh menghakis kebebasan asasi, dengan mengambil contoh kes yang berlaku ke atas seorang peniaga bukan Islam di Kelantan yang hilang haknya apabila beliau didenda kerana menjual makanan kepada orang Islam di bulan Ramadhan”)
[Malik Imtiaz Sarwar]

Menyatakan diri sebagai muslim atau bukan Muslim dianggap suatu diskriminasi

6.4 “In major national exams such as the PMR, she added, students have to indicate whether they are Muslim or non Muslim. “And yet as many of us know, Islam abhors the idea of assabiyah or ethnic and nationalistic differentiation.” (“Di dalam peperiksaan kebangsaan seperti PMR, beliau menambah, pelajar-pelajar dimestikan menulis samada mereka Muslim atau bukan Muslim. “Sedangkan kita semua tahu, Islam menentang asabiyah atau perbezaan etnik dan perbezaan bangsa”) [Dr Patricia Martinez]

6.5 “But when Sisters in Islam made its stand on polygamy, Perlis Menteri Besar Datuk Seri Shahidan Kassim in 1996 declared that they (SIS) were questioning the word of God. . Zainah Anwar, executive Director of Sisters in Islam, says that, because Islam shapes our lives and govern us, it is too important to be left to the legislators and ulama to define.”

(Tetapi bila Sisters in Islam menyatakan pendiriannya terhadap poligami, MB Perlis Dato Seri Shahidan Kassim pada 1996 mengisytiharkan SIS mempersoalkan kata-kata Tuhan. Zainah Anwar, Pengarah Eksekutif SIS, menyatakan, “Oleh kerana Islam membentuk kehidupan kita, ia adalah terlalu penting untuk dibiarkan hanya kepada penggubal undang-undang dan ulama untuk menentukannya”. )
[Zainah Anwar]
Semua tulisan-tulisan sebegini merupakan suatu penghinaan secara langsung ke atas Islam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.dan institusi ulama. (Memorandum yang telah diserahkan kepada Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Pengerusi Majlis Raja-Raja Melayu melalui Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja Melayu mengenai isu ini pada 21 Zulkaedah 1422 bersamaan 4 Februari 2002   di pejabat Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja Melayu, yang dibuat oleh Persatuan Ulama Malaysia (PUM),Persatuan Ulama Kedah (PUK), Jemaah Islah Malaysia (JIM), Teras Pengupayaan Melayu (TERAS), Majlis Persidangan Mahasiswa Islam (MPMI), Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM),  HELWANI MPMI, Majlis Bertindak Wanita Islam (MBWI),  dan Persatuan Graduan Syariah Malaysia).
[6] Mumaatsalah, mujaanasah, muwaazanah (menyamai, mengimbangi).
[7] Bukan Daib tapi Jaiz
[8] Ja’d bin Dirhim guru Jahm bin Shofwan pemimpin aliran Jahmiyah. Ja’d bin Dirhim itu percaya Qur’an, percaya Hadits, hanya saja tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim itu khalilullah (kekasih Allah) dan Nabi Musa itu Kalimullah (orang yang pernah diajak bicara Allah). Karena tidak percaya itulah maka kemudian Gubernur  Kholid bin Abdullah Al-Qasri berkhutbah di Wasith (wilayah Iraq) pada Hari Raya Adha, dia (Gubernur) berkata: “Pulanglah kamu sekalian (wahai jama’ah Idil Adha) lalu sembelihlah qurban semoga Allah menerima qurban-qurban kalian. Maka sesungguhnya aku akan menyembelih Ja’d bin Dirhim, karena dia menyangka bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa dan tidak menjadikan Ibrahim itu khalil (kekasih). Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan Ja’d  yang menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”  Kemudian Gubernur Kholid turun (dari mimbar) dan menyembelih Ja’d bin Dirhim. (As-Showa’iqul Mursalah, juz 4, halaman 1396).
[9] Silakan baca di buku kami Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2002.
[10] Kecuali orang-orang yang memang sudah jelas nyata bahwa mereka memang menegakkan kalimah Allah sebaik-baiknya.

[11] Ulil membawa makalah berjudul MENGHINDARI BIBLIOLATRI Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam di Gedung Baru Yayasan Wakaf Paramadina, Sabtu, 8 Februari 2003, Penyelenggara: Yayasan Wakaf Paramadina

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar