Tim Penulis FLA Paramadina
Membatalkan Syari’at Allah
Pada
bagian ketiga dari buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina yang bekerjasama
dengan The Asia Foundation dipampangkan judul Fiqih “Menerima” Agama Lain
Membangun Sinergi Agama-agama. Dari judul itu saja saya membacanya
merinding. Sebab yang dibangun di situ adalah sinergi agama-agama, yang hal itu
tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Yang ada,
perintah Allah swt di antaranya dalam Surat Al-Kafirun.
Katakanlah:
"Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah,
agamaku". (QS Al-Kafirun: 1-6).
Imam Ibnu Katsir mengaitkan ayat itu dengan perkataan
Nabi Ibrahim as dan pengikut-pengikutnya kepada kaumnya yang musyrik:
"Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 4).
Al-Qur’an
wahyu Allah swt telah menegaskan sejelas-jelasnya seperti itu, namun
orang-orang Paramadina yang bekerjasama dengan lembaga kafirin ini menentang
Al-Qur’an dengan membuat “jalan baru” yang justru bertentangan langsung dengan
ayat-ayat tersebut.
Dalam membuat “jalan baru” itu dibuatlah syari’at baru
pula, yaitu:
1.
Membolehkan
wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan, “karena tidak
ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas
kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli
Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita
kami (Muslimah). (FLA, halaman 163).
2.
“…Amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh
menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas
amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk
pada semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama
merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama
samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya
di surga nanti. (QS 2: 62) (FLA, halaman 164).
3.
Membolehkan orang
kafir mewaris harta orang Muslim. Alasannya, “Dan ligikanya, bila Islam menghargai
agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara
otomatis waris beda agama diperbolehkan. Sedangkan hadis yang melarang waris
beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan
kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan
non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadis
tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA, halaman 167).
Tanggapan:
Wanita
Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu haram. Sebab
Ahli Kitab itu adalah kafir. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).
Orang kafir itu tidak halal bagi wanita
Muslimah. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
Dari ayat ini dapat
ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang isteri telah masuk
Islam berarti sejak ia masuk Islam itu telah bercerai dengan suaminya yang
kafir, karena itu ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan
hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimat kawin dengan
laki-laki kafir.
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
saw pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyyah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk
membuat konsep perjanjian itu, maka Ali pun menulisnya: “Dengan menyebut nama
Engkau, wahai Tuhan kami, ini adalah perdamaian antara Muhammad bin Abdullah
dengan Suhail bin Amr. Mereka telah menyatakan perdamaian dengan menghentikan
peperangan selama 10 tahun, saling berusaha menjaga keamanan dan menahan serta
menjaga terjadinya perselisihan. Barangsiapa di antara orang-orang Quraisy yang
datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, hendaklah orang itu dikembalikan
sedangkan kaum muslimin yang datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan,…”
dan seterusnya.
Demikianlah Rasulullah saw
mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada orang-orang Quraisy dan tidak ada seorangpun
yang ditahan bel.iau, walaupun ia seorang mukmin. Maka datanglah kepada
Rasulullah, seorang wanita mukminah dari daerah kafir yang bernama Ummu Kaltsum
binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith. Maka datanglah kepada Rasulullah dua orang
saudara dari perempuan itu yang bernama ‘Ammar dan Walid yang meminta agar
wanita itu dikembalikan. Maka turunlah ayat ini yang melarang Rasulullah
mengembalikannya. Kemudian wanita itu dikawini oleh Zaid bin Haritsah.
Dari tindakan Rasulullah ini
nyatalah bahwa yang wajib dikembalikan menurut perjanjian itu hanyalah
laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dikembalikan.
Menurut riwayat Bukhari dan
Muslim dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam diterangkan bahwa
setelah Rasulullah menandatangani perjanjian Hudaibiyyah dengan orang-orang
kafir Quraisy, banyaklah wanita-wanita mukminat berdatangan dari Makkah ke
Madinah. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Rasulullah menguji
mereka lebih dahulu dan melarang beliau mengembalikan wanita-wanita yang
benar-benar mukminat ke Makkah.
Dalam pada itu kepada kaum
muslimin dibolehkan mengawini wanita-wanita mukminat yang berhijrah itu dengan
membayar maskawin. Hal ini berarti bahwa wanita itu tidak boleh dijadikan
budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah swt menganjurkan
kaum muslimin mengawini mereka itu agar diri mereka terpelihara. Jika mereka
tidak dikawini, mereka akan sendirian karena mereka telah bercerai dari suami
mereka itu dengan masuk islamnya mereka itu.
Allah menerangkan sebab
larangan melanjutkan perkawinan isteri mukminat dengan suami yang kafir itu,
karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara orang-orang yang sudah beriman
dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir. Akad
perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak isteri masuk Islam.
Lelaki Ahli Kitab (Yahudi
ataupun Nasrani) Haram Menikahi Muslimah
Mengenai
lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita Muslimah tidak ada
kesamaran lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah/ 60:
10 dan Al-Baqarah/ 2: 221. Maka Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menegaskan:
“Dan
tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaannya kafir
kitabi (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi. Karena Allah Ta’ala berfirman:
Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. (QS Al-Baqarah: 221).
Dan
firmanNya:
“…
Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).
Syaikh
Abu Bakar Al-Jazairy hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah
menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan.
Ia mendasarkan pada firman Allah QS Al-Mumtahanah/ 60: 10.
Para
ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab atau non
Muslim itu sebagian cukup menyebutnya dengan lafal musyrik atau kafir, karena
maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musyrik. Di samping itu
tidak ada ayat atau hadits yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab
ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat
Al-Mumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walaupun hanya disebut kafir
sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir musyrik. Bahkan
lafal musyrik saja, para ulama sudah memasukkan seluruh non Muslim dalam hal
lelaki musyrik dilarang dinikahkan dengan wanitra Muslimah.
“Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman.” (QS
Al-Baqarah/ 2: 221).
Muhammad
Ali As-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah swt melarang para wali
(ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas
wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik.
Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam,
mencakup penyembah berhala, majusi, yahudi, Nasrani dan orang yang murtad dari
Islam.
Al-Imam
Al-Qurthubi berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang
musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh
menggauli wanita mu’minah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu
merupakan penghinaan terhadap Islam.
Ibnu
Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi isteri
orang kafir.
Syaikh
Shalih Al-fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita
muslimah, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: ” Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (QS
Al-Baqarah/ 2: 221).
Mencari Celah dengan
Memlintir Imam At-Thabari
Meskipun
hukum tentang haramnya wanita muslimah dinikahi lelaki kafir secara mutlak,
baik kafir Ahli Kitab maupun musyrik itu sudah jelas dan tegas, namun karena
firqah liberal punya misi tertentu di antaranya mengusung kepentingan orang
kafir, maka diteroboslah apa-apa yang mereka anggap ada celah-celahnya. Dalam
hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti
keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”.
Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan
wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu,
di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam
tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang
terlarang.” (FLA, halaman 164).
Firqah liberal itu terang-terangan
membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan,
“karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak
begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi
wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi
wanita-wanita kami (Muslimah). (FLA, halaman 163). Dalam catatan kaki (FLA,
halaman 191) hadits yang mereka sebut tidak begitu jelas kedudukannya itu
dikutip dari Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an
ta’wi Ay al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2001, halaman 465.
Benarkah
Imam At-Thabari mengemukakan hadits itu untuk dijadikan landasan dalam hal
tidak sharih (tidak jelas)nya larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita
Muslimah, karena hadits itu kedudukannya masih ada masalah?
Sama
sekali tidak. Pembicaraan Imam At-Thabari bukan mengenai larangan
lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah (karena sudah jelas haramnya), namun
adalah pembicaraan tentang riwayat-riwayat mengenai wanita muhshonat (wanita
merdeka yang menjaga diri dan kehormatannya) dari kalangan Ahli Kitab. Ini
berkaitan dengan ada perbedaan di kalangan Ahli Tafsir dalam hal wanita
musyrikat dalam QS 2: 221, haram dinikahi, maka apakah di dalamnya termasuk
wanita Ahli Kitab. Dan karena ada riwayat, Umar bin Khatthab menyuruh talak
beberapa orang sahabat ( Hudzaifah dan Thalhah) yang menikahi wanita Ahli
Kitab. Berikut ini uraian Imam At-Thabari, kami kutip dengan diringkas dari
Fathul Qadir-nya Imam As-Syaukani (yang sudah dibuat lebih komunikatif), dan
bisa dirujuk ke Tafsir At-Thabari juz 2 halaman : 378.
Abu
Ja’far Ibnu Jarir At-Thabari berkata, para ahli tafsir berbeda pendapat
mengenai ayat ini (QS 2: 221): Apakah ayat itu diturunkan dengan maksud setiap
musyrikah (dilarang dinikahi) atau maksud hukumnya mengenai sebagian musyrikah
saja bukan yang lainnya? Dan apakah ada sesuatu yang dinasakh (dihapus) setelah
adanya kewajiban hukum padanya itu atau tidak?
Sebagian
Ahli Tafsir berpendapat: Diturunkan
ayat itu dimaksudkan pengharaman atas setiap muslim nikah dengan setiap
wanita musyrikat dari jenis manapun kesyirikannya, baik itu wanita
penyembah berhala, ataupun wanita Yahudi, Nasrani, Majusi, atau lainnya dari
macam-macam kemusyrikan. Kemudian pengharaman menikahi wanita Ahli Kitab
dinasakh (dihapus) dengan Firman-Nya: QS Al-Maaidah: 4-5).
(Ada
juga yang mengecualikan wanita Ahli Kitab) riwayat dari Ali bin Abi Thalhah,
dari Ibnu Abbas, Firman-Nya (QS 2:221) itu kemudian Dia mengecualikan
wanita-wanita Ahli Ktab, maka Dia berfirman QS Al-Maaidah: 5.
Ahli Tafsir yang lain berkata: Bahkan ayat ini (QS
2:221) diturunkan dengan maksud hukumnya mengenai wanita musyrikat Arab, tidak
ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan tidak dikecualikan. Ayat itu
hanyalah umum secara lahiriyahnya tetapi khusus maknanya. Riwayat dari Qatadah,
QS 2:221, Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikat sehingga
mereka beriman, artinya wanita musyrikat Arab yang tidak memiliki kitab
(suci) yang mereka baca. Sa’id bin Jubair berkata, maksudnya wanita
musyrikat ahlil autsan (penyembah berhala).
Ahli tafsir yang lain berkata: Bahkan ayat ini QS 2: 221 diturunkan
dimaksukan mengenai setiap wanita musyrikat dari jenis apa saja dia,
tidak dikhususkan satu jenis musyrikat saja, baik itu wanita berhalais atau
wanita Majusi, atau wanita Ahli Kitab, dan tidak ada sesuatu yang menasakhnya
(menghapusnya).
Abu Ja’far At-Thabari berkata: yang paling utama
dari pendapat-pendapat penafsiran ayat ini adalah pendapat Qatadah: bahwa Allah
Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrikat sehingga
mereka beriman” adalah orang yang bukan Ahli Kitab dari wanita-wanita
musyrikat. Ayat itu umum secara lahiriyahnya, khusus secara batiniyahnya,
tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan wanita-wanita Ahli
Kitab tidak termasuk di dalamnya. Dan hal yang demikian itu karena Allah
Ta’ala menyebutkan halal dengan firman-Nya QS Al-Maaidah: 5 Dan
wanita-wanita muhshonat dari kalangan orang-orang yang diberi al-kitab sebelum
kamu— bagi laki-laki mukmin untuk menikahi wanita-wanita muhshonat (menjaga
diri dan kehormatan) dari mereka, seperti yang dibolehkan kepada lelaki
mukminin untuk menikahi wanita-wanita mukminat.
Adapun perkataan yang diriwayatkan dari Syahr bin Husyib,
dari Ibnu Abbas, dari Umar ra: tentang pemisahannya antara Thalhah dan
Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu wanita kitabiyah, maka
adalah perkataan yang tidak ada maknanya, karena menyelisihi apa yang
disepakati umat atas kehalalannya berdasarkan Kitab Allah Ta’ala yang telah
menyebutkannya, dan Hadits rasul-Nya saw. Dan telah diriwayatkan dari Umar bin
Khatthab ra dari perkatan yang berbeda dengan itu, dengan sanad yang lebih
shahih, yaitu apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata,
Umar
berkata: Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak
menikahi wanita Muslimah.
Umar
membenci Thalhah dan Hudzaifah ra menikahi wanita Yahudi dan Nasrani hanyalah
khawatir kalau orang-orang mengikuti keduanya dalam hal itu, lalu mereka tidak
membutuhkan wanita Muslimat, atau makna-makna selainnya. Maka Umar
memerintahkan keduanya untuk menceraikan
dua wanita kitabiyah itu. Sebagaimana riwayat dari Syaqiq, ia berkata:
Hudzaifah beristerikan wanita Yahudi, lalu Umar menulis surat kepadanya:
“Lepaskanlah dia.” Lalu Hudzaifah membalas surat kepada Umar: Apakah kamu kira
bahwa ia haram maka aku (harus) melepaskannya? Lalu Umar menjawab: Aku tidak
mengira bahwa dia haram, tetapi aku takut kalau kalian mendapatkan al-muumisaat
(wanita-wanita lacur) dari kalangan mereka (Ahli Kitab).
Dan
riwayat dari al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Kami menikahi
wanita-wanita Ahli Kitab dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami.” Hadits
ini –walaupun dalam sanadnya ada sesuatu—maka berpendapat dengannya, karena
kesepakatan keseluruhan atas benarnya perkataan dengannya, itu lebih utama
daripada khabar dari Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Husyib (tentang Umar
memisahkan Thalhah dan Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu
wanita kitabiyah). Maka arti pembicaraan itu, jadinya: “ Wahai orang-orang
Mukmin, janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat, selain wanita Ahli
Kitab, sehingga mereka beriman lalu membenarkan Allah, Rasul-Nya, dan apa yang
diturunkan kepadanya.
Para
pembaca, kami mohon maaf, pengutipan ini panjang pula, karena untuk
membuktikan, sebenarnya Imam At-Thabari apakah meriwayatkan hadits yang
kedudukannya masih ada masalah itu untuk membahas masih diragukannya keharaman
lelaki non Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kafirin lainnya) ataukah
membahas tentang wanita muhshonat Ahli Kitab. Ternyata Imam At-Thabari hanyalah
membicarakan wanita muhshonat Ahli Kitab, sama sekali tidak membicarakan lelaki
Ahli Kitab dalam hal periwayatan hadits tersebut.
Bagaimana
tim penulis Paramadina ini mau dipercaya? Zuhairi Misrawi salah seorang tim
penulis FLA ketika jadi utusan Paramadina dalam berdebat dengan Majelis
Mujahidin Indonesia 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu
IAIN) Jakarta mengatakan, Landasan penulisan FLA di antaranya adalah Tafsir
At-Thabari. Ternyata Tafsir At-Thabari yang jadi landasan itu mereka plintir
pula. Tafsir At-Thabari bicara tentang wanita muhshonat Ahli Kitab, sedang FLA
menjadikannya sebagai alasan untuk membolehkan lelaki Ahli Kitab menikahi
wanita Muslimah. Ini cara penulisan fiqih model apa?
Dalam
hal lelaki non Islam haram menikahi wanita Muslimah sudah jelas berdasarkan
Al-Qran 2:221 dan 60: 10.
Sebagai tambahan bisa dikemukakan hadits dan atsar (perkataan) sahabat
Nabi saw.
Riwayat
dari Hasan, dari Jabir ditanyakan kepadanya, disebutkan Nabi saw bersabda, ya,
beliau bersabda: Kami tidak mewaris (harta) Ahli Kitab dan mereka tidak
mewaris (harta) kami kecuali apabila lelaki mewaris hambanya atau amatnya
(budak wanitanya), dan kami menikahi wanita-wanita mereka (ahli kitab) dan
mereka tidak menikahi wanita-wanita kami. (HR At-Thabrani dalam Al-Awsath,
dan rijal –tokoh periwayat-periwayatnya tsiqot, terpercaya).
Bagi Abdur Razaq dan Ibnu
jarir, dari Umar bin Khatthab, ia berkata:
“Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak
menikahi Muslimah”. Dan bagi Abd
bin Humaid dari Qatadah berkata: “Allah menghalalkan untuk kita (Muslimin)
muhshonatain (dua macam wanita muhshonah/ yang menjaga diri): Muhshonah
mu’minah dan muhshonah dari Ahli Kitab. Wanita-wanita kami (Muslimah) haram
atas mereka (lelaki Ahli Kitab), dan wanita-wanita mereka (Ahli Kitab) bagi
kami (Muslimin) halal.
Tidak diragukan lagi, wanita
Muslimah haram dinikahi oleh lelaki non Muslim secara mutlak, baik mereka itu
Yahudi, Nasrani, Majusi, Konghucu, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , Sikh, dukun/
paranormal penyembah jin- syetan atau kafirin lainnya.
Isteri masuk Islam
Setelah
terbukti ngawurnya tim penulis FLA Paramadina, di sini perlu dikemukakan, yang
jadi bahan pembahasan para ulama adalah apabila isteri masuk Islam di bawah
suami yang musyrik, Nasrani, Yahudi, ataupun Majusi dan agama-agama selain
Islam. Ini perlu ditambahkan di sini untuk lebih memantapkan bahwa lelaki non
Islam (baik Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun agama-agama selain Islam) haram
bagi wanita Muslimah, walau ketika sebelum itu si wanita itu kafir juga. Namun
ketika si wanita masuk Islam maka suaminya yang kafir itu jadi haram atasnya.
At-Thahawi mengeluarkan/ mentakhrij dari jalan Ayub,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada
di bawah (suami) Yahudi atau Nasrani lalu wanita itu masuk Islam, maka dia
(Ibnu Abbas) berkata, “Dipisahkan antara keduanya (suami isteri) oleh
Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli atasnya.” Sanadnya shahih. (Itulah teks dalam Kitab Shahih Bukhari dan
sebagian penjelasan di Kitab Fathul Bari).
Ibnu
Qudamah dalam Kitab Al-Mughni menjelaskan:
Fasal
kelima: Apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya
(masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh
(rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama. Ibnu Abdil Barr
berkata, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, kecuali
sedikit yang diriwayatkan dari An-Nakho’I, ada keanehan menurut jama’ah ulama,
maka tidak diikuti oleh seorang pun.
(An-Nakho’I) mengira bahwa (isteri yang telah habis iddahnya)
dikembalikan kepada suaminya, walaupun telah lama waktunya, karena apa yang
diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw mengembalikan Zainab kepada
suaminya, Abil Ash, dengan nikahnya yang awal, driwayatkan oleh Abu Daud. Dan
Imam Ahmad mengajukan alasan
padanya. Ia ditanya, tidakkah diriwayatkan bahwa Nabi saw
mengembalikannya (Zainab) dengan nikah lanjutan? Dia (Ahmad) menjawab: Itu
tidak ada sumbernya. Dan dikatakan, antara keislaman Zainab dan dikembalikannya
kepada suaminya (Abil Ash yang tadinya kafir kemudian masuk Islam) itu 8 tahun.
Dan
bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta’ala:
Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/
60: 10).
Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir (QS
Al-Mumtahanah: 10). Dan (juga adanya) kesepakatan yang kental (ijma’ mun’aqod)
atas pengharaman perkawinan Muslimat dengan lelaki kafir. Adapun kisah Abil Ash
dengan isterinya (Zainab. puteri Nabi saw), maka Ibnu Abdil Barr berkata, tidak
sunyi dari bahwa kejadiannya sebelum
turunnya pangharaman nikah Muslimat dengan lelaki kafir, lalu dinasakh
(dihapus) dengan (ayat) yang datang setelahnya, atau isteri itu hamil yang
berlangsung kehamilannya sampai suaminya masuk Islam, atau istri sakit tidak
haidh 3 kali haidh sehinga lelakinya masuk Islam, atau iseri itu dikembalikan
kepada suaminya dengan nikah yang baru. Sungguh telah meriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dalam kitab Sunannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) kepada Abil Ash dengan nikah
yang baru. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata, Aku mendengar Abd bin Humaid
berkata, aku dengar Yazid bin Harun berkata: Hadits Ibnu Abbas adalah
sebaik-baik sanad, dan pengamalannya itu atas hadits Amru bin Syuaib).
Demikian
pembahasan tentang apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang
lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka
fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama, apabila
isteri yang tadinya kafir kemudian masuk Islam lebih dulu dari suaminya.
Pembahasan
itu lebih menguatkan bahwa lelaki kafir jenis apapun (Yahudi, Kristen, katolik,
Majusi, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , dan musyrikin lainnya) haram menikahi
wanita Muslimah.
Masalah Menikahi Wanita
Muhshonat dari Kalangan Ahli Kitab
Masalah menikahi wanita muhshonat (merdeka dan menjaga
diri serta kehormatannya) yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani),
maka pembicaraan ulama di antaranya sebagai berikut:
Masalah Perkataan, “
wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan sembelihan mereka halal bagi
Muslimin” tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli ilmu, alhamdulillah,
mengenai halalnya wanita Ahli Kitab yang merdeka. Di antara yang diriwayatkan
mengenai hal itu di antaranya Umar, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, salman, jabir dan
lainnya. Ibnu Mundzir berkata: Tidak sah dari seorang pun dari generasi
awal-awal yang mengharamkan itu. Al-Khalal meriwayatkan dengan snadnya, bahwa
Khudzaifah, Thalhah, al-Jarud bin
al-Mu’alla, dan Udzainah bin al-‘abdi
beristerikan wanita-wanita ahli Kitab. Para ahli ilmu berpendapat dengan
khabar itu.
Syi’ah Imamiyah mengharamkannya (menikahi wanita Ahli
Kitab) dengan firmanNya Ta’ala, dan janganlah menikahi wanita musyrikat
sehingga mereka beriman (QS 2: 221), dan ayat, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10).
Bagi kami firman Allah
Ta’ala: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS Al-Maaidah: 5).
Ketika hal itu sudah tsabat
(kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (ahli
kitab), karena Umar berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita-wanita
ahli kitab, "talaklah mereka", maka mereka pun menalaknya, kecuali
Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), "talaklah". Dia
(Hudzaifah) berkata, " Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu
haram?"
Umar berkata, "dia itu jamrah (batu bara aktif),
talaklah dia".
(Hudzaifah) berkata, "
Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?"
Umar berkata, dia itu
jamrah.
Hudzaifah berkata, saya
telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal. Maka setelah itu
ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah) ia ditanya (orang), kenapa kamu
tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar?
Hudzaifah mengatakan, aku
tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang
tidak seyogyanya bagiku. Dan karena barangkali hati Umar cenderung kepadanya
(wanita Kitabiyah itu) lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah/ menguji
Umar, dan barangkali di antara keduanya
ada anak maka cenderung kepadanya (wanita kitabiyah).
Wanita
Kitabiyah Hanya Yahudi dan Nasrani
Fasal:
Ahli Kitab yang mereka hukumnya seperti ini (boleh menikahi wanitanya yang
muhshonat tetapi yang lebih utama adalah tidak usah menikahinya) adalah ahli
kitab Taurat dan Injil. Allah Ta'ala berfirman, (Kami turunkan Al Qur'an
itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, (QS Al-An'aam: 156). Maka pengikut Taurat
adalah Yahudi dan As-Samirah (Orang Sameria), dan pengikut Injil adalah Nasrani
dan orang-orang yang berdiri dengan mereka dalam agama asli mereka yaitu
Ifrinji (orang Eropa), Arman (Roman) dan lainnya. Adapun Shobi’un maka kaum
salaf banyak berbeda pendapat mengenainya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa
mereka (shobi'un) adalah dari jenis Nasrani.
Adapun orang kafir selain
mereka (ahli kitab) seperti yang mengikuti (berpedoman) dengan shuhuf Ibrahim dan Syit, dan (berpedoman
dengan) zabur Daud maka mereka bukanlah ahli kitab. Tidak halal menikahi
mereka, dan tidak pula sembelihannya. Ini pendapat Syafi'i.
Pada bagian selanjutnya dijelaskan:
Bagi kami (Ibnu Qudamah)
firman Allah Ta'ala, Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat (QS
Al-Baqarah/ 2: 221), dan firmanNya, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah/ 60:
10) lalu Dia memberi rukhshoh (keringanan)
dari (larangan) yang demikian itu mengenai ahli kitab. Maka orang-orang
kafir selain ahli kitab tetap di atas keumuman (ayat larangan itu). Dan tidak
ada dalil kuat (lam yatsbut) bahwa Majusi memiliki ktab. Imam Ahmad
ditanya, apakah benar riwayat dari Ali bahwa Majusi itu memiliki kitab. Lalu
dia menjawab, ini batil, dan dibesar-besarkan sekali. Seandainya ada riwayat
kuat (tsabat) bahwa mereka memiliki kitab, maka sungguh telah kami
jelaskan bahwa hukum ahli kitab tidak kuat (laa yatsbut) untuk selain
dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, pen).
Dan sabda Nabi saw, perlakukanlah
pada mereka (Majusi) (sebagaimana) perlakuan terhadap ahli kitab itu adalah
dalil bahwasanya Majusi tidak memiliki kitab. Nabi saw hanya lah menginginkan
perlakuannya itu dalam penahanan darah mereka dan pengakuan mereka dengan
jizyah (upeti), tidak ada lain.
Pasal:
Seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti orang yang menyembah apa yang
dianggap bagus yaitu berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan,
maka tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ahli ilmu dalam mengharamkan (nikah
dengan) perempuan-perempuan mereka dan (haram makan) sembelihan mereka. Hal itu
berdasarkan dua ayat yang telah kami sebutkan, dan tidak ada yang bertentangan
dengan keduanya.
Puncak Pembatalan Syari’at Allah Swt
Telah tuntas pembahasan
tentang nikah beda agama. Telah terkuak kesembronoan FLA yang sangat
menyesatkan umat Islam dan bermuatan pemurtadan itu. Namun masih ada pernyataan
yang lebih gawat lagi dari FLA, dan merupakan puncak pembatalan Syari’at Allah
swt. Yaitu ungkapan FLA:
“…amat dimungkinkan bila
dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non
Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun
agama dan aliran kepercayaannya. (FLA, halaman 164).
Ungkapan “pernikahan beda
agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran
kepercayaannya” (FLA, halaman 164) itu adalah pembatalan syari’at Allah swt
yang jelas tercantum di dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS
Al-Mumtahanah/ 60: 10).
Juga ayat Al-Qur’an:
Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah/ 2: 221).
Karena tim penulis FLA sudah
terbukti ungkapannya yang menggugurkan dan membatalkan syari’at Allah dengan
tulisannya seperti itu, maka pembicaraan mereka mengenai pembatalan-pembatalan
syari’at Allah yang ada di dalam Hadits di antaranya tentang tidak saling
mewarisi antara Muslim dan kafir, sudah kami cukupkan dengan apa yang telah
kami singgung di bab lain. Astaghfirullahalazhiem!
As-Syaukani,
Fathul Qadir, juz 2, halaman 388, menafsiri Surat
Al-Baqarah ayat 221 merujuk pada Tafsir At-Thabari, juz 2 halaman 378, ujungnya
sebagai berikut:
Majma’ Az-Zawaaid, juz 4,
halaman 226
Ibnu Qudamah, Al-Mughni
juz 7, halaman 99