Pada hari Jum’at, tanggal
27 Februari 1987, kami berempat sebagai mahasiswa Ma’had Ad Diraasaat Al
Islamiyah mendapat tugas dari sekretaris Ma’had (M. Amin Djamaluddin) untuk
membagikan brosur di tempat pengajian Paramadina, lantai VI Sarinah Jaya Blok
M, Jakarta Selatan.
Kami berempat:
- Halim Bayan,
- Suherman,
- Muhammad Arief,
- Anwar Alwi, disertai surat pengantar untuk panitia pengajian Paramadina, serta 100 eksemplar brosur.
Setelah surat pengantar tersebut diterima oleh panitia
pengajian Paramadina, dan surat tanda terima ditanda-tangani oleh panitia (sdr.
Nawawi) serta brosur sebanyak 100 eksemplar tersebut disuruhnya taruh saja di
atas meja sana (sambil menunjuk pada meja penjualan buku dan kaset).
Setelah meletakkan brosur tersebut
di atas meja yang ditunjuk, maka kami berempat mulai membagikan brosur yang
kami bawa masing-masing di pintu masuk kepada setiap undangan yang hadir.
Kira-kira setengah jam kami berempat
membagikan brosur tersebut datanglah seorang dari dalam ruangan untuk pengajian
(yang wajahnya mirip dengan Dr. Nurcholish Madjid) dan dia bertanya kepada
panitia:
Dia bertanya: “Apakah ini dibuat oleh Yayasan
Paramadina?”
Panitia menjawab: “Bukan pak!”
Dia bertanya lagi: “Jadi siapa?”
Panitia: “Itu dia pak orangnya.”
Dia bertanya kepada kami berempat (dari Ma’had): “Bagaimana mempertanggung-jawabkannya kepada yang
berwajib kalau ada apa-apa nih…???”
Kami jawab:
“Tenang pak, kami yang mempertanggungjawabkannya, lagi pula ini bukan selebaran
gelap, ini nama Ma’had kami (kata sdr. Halim sambil menunjuk tulisan yang ada
pada muka brosur sambil membacanya pula).”
Dia bertanya lagi: “Betul alamat ini?”
Kami jawab:
“Betul pak, dan cukup jelas.”
Dia bertanya lagi: “Apa sudah minta izin untuk membagi-bagikan ini?”
Kami Jawab: “Sudah pak, ini surat tanda terimanya, dan kami
memberikannya juga untuk panitia.”
Dia bertanya:
“Mana?”
Kami jawab:
“Ini pak (sambil memberikan surat tanda terima tsb).”
Dia bertanya lagi: “Siapa yang tanda tangan ini?”
Kami jawab:
“Itu pak orangnya (lalu dia memanggil orang yang tanda tangan). Betul kamu yang
tanda tangan?”
Panitia pengajian: “Betul pak, saya kira tanda tangan ini untuk surat pak!”
Lantas dia bilang: “Waah, kalau begitu sudah salah administrasi. Apa isi suratnya tidak
kamu baca?”
Panitia jawab:
“Tidak pak.”
Lantas kami bilang: “Lebih baik bapak baca dulu isi brosur ini, menurut kami isinya tidak
menjelekkan, tapi melengkapi isi ceramah bapak intelektual kita.”
Dia menjawab:
“Coba, pembagian brosur ini distop dulu (tapi kami masih tetap saja membagikan
brosur itu).”
Setelah kami bercakap-cakap dengan pihak panitia, maka
kami berdua (Halim Bayan dan Suherman) diperbolehkan masuk untuk mendengarkan
ceramah, dan panitia mengatakan kepada kami: “Nanti kamu akan tertarik
mendengarkan ceramahnya!”
Kami masuk dan sdr. Arief dan Anwar disuruh pulang
untuk memberikan surat tanda terima tersebut kepada pak Amin, (sesuai dengan
pesannya, kalau sudah dapat surat tanda terima segera pulang seorang untuk
membawanya ke Ma’had). Saya (Pak Amin) tunggu.
Setelah sampai di Ma’had. surat tanda terima tersebut
diserahkan oleh sdr.Arief dan sdr.Alwi kepada Pak Amin, kira-kira jam 21.15
WIB.
Debat Dengan DR. Nurcholish Madjid di Jalan (Kedua)
Karena
kami berdua (Halim Bayan dan Herman)-lah yang diperbolehkan masuk, menjelang akhir pengajian (15 menit
menjelang akhir) kami berdua turun untuk membagikan lagi brosur dan tak lama
kemudian pengajian pun bubar (pulang).
Setiap
mobil yang pulang kami stop dan kami kasih brosur, dan sampai gilirannya mobil
Dr. Nurcholish Madjid:
Herman: (Mengacungkan tangan menyetop mobilnya Dr. Nurcholish
Madjid).
Dr.
Nurcholish: “Apa ini?”
Herman: “Ini pak, ini sebagai tambahan materi bulan lalu yang
disampaikan oleh Bapak Nurcholish Madjid.”
Dr.
Nurcholish: “Tidak..!! Saya sendiri
yang menyampaikan isi materi itu (sambil menepuk-nepuk dadanya).” Mobilnya
terus melaju tetapi tak terhindar dari sergapan Halim Bayan.
Dr.
Nurcholish: “Apa lagi, ini….!!!”
(sambil turun dari mobil).
Halim: “Ini pak, ini sebagai materi pelengkap saja. Waktu
pengajian dulu.”
Dr.
Nurcholish: “Tidak..!! Ini fitnah
besar terhadap diri saya. Saya kan hanya menjawab saja.”
Halim
Bayan: “Ya..!! Tapi bapak tidak
menerangkan dengan jelas dan tidak memberi komentar terhadap pendapat Ibnu
Arabi, bapak hanya mengutip saja pendapat Ibnu Arabi tsb dalam pengajian, tidak
menolak atau meng-iya-kan pendapatnya Ibnu Arabi tersebut. Ini hanya pelengkap
apa yang dilontarkan oleh Bapak, dan dalam brosur ini dijelaskan dengan terang
siapa Ibnu Arabi, apa pendapatnya serta diterangkan siapa-siapa yang
mengkafirkannya.”
Dr.
Nurcholish: “Ya..!! Tapi caranya
jangan begini, diskusi forum dong!!!”
Herman: “Oke…..Pak!! Kalau begitu Bapak setuju untuk
berdiskusi dengan kami. Di sini tecantum alamat kami yang cukup jelas Ma’had
Dirasaatil Islamiyyah ini nama perguruan kami, Pak. Silahkan bapak datang
ke alamat ini kita berdiskusi.”
Dr.
Nurcholish: “Tidak..!! Saya tidak mau
ngomong dengan orang bodoh.”
Halim
Bayan: “Tenang Pak, jangan emosi
(sambil mengelus pundak Bapak Dr. Nurcholish Madjid).”
Dr.
Nurcholish: “Jangan pegang badan
saya, saya tidak suka…!! Ini fitnah, ini fitnah (sambil merampas brosur yang
dipegang oleh Halim Bayan dan dipegang lalu dibanting).”
Halim
Bayan: “Tidak pak…!! Ini bukan
fitnah, dan kami menulis berdasarkan kaset rekaman, bukan membuta-buta, lalu
memojokkan Bapak, dan tidak ada unsur-unsur fitnah serta brosur ini ilmiyah
karena mengembangkan kutipan bapak yang singkat itu.
Dr.
Nurcholish: “Kalau begitu, oke…!!
Kita bersumpah…..!! Berani…? Berani nggak…….!!”
Halim
Bayan: “Oke pak…..!! Saya berani.”
Dr.
Nurcholish: “Oke (lalu memegang
tangan dan bersalaman dengan Halim Bayan). Wallahi….wallahi….wallahi…wallahi.
Kalau kamu benar, saya yang celaka, kalau saya yang benar, kamu yang celaka dan
saya tidak akan memaafkan.”
Halim
Bayan: “Oke-oke..!!”
Dr.
Nurcholish: “He…!! Ini kami yang
menulis ya..?? Sebutkan kamu yang menulis, hah..??”
Halim
Bayan: Ini atas nama perguruan kami,
jadi bukan kami sendiri.”
Dr.
Nurcholish: “Bohong…!!! Rupanya ini
orang yang berani memfitnah saya (sambil menjambak rambut Halim).”
Halim: (Halim terdiam sejenak setelah dilepaskan). “Oke
Pak..!! Bapak sebagai intelektual yang menguasai ilmu yang banyak, tidak pantas
berbuat demikian. Baru tantangan begini saja sudah emosi. Bapak minta maaf
nggak sama saya, minta maaf nggak, minta maaf nggak???” (kata Halim sambil
menunjuk-nunjuk muka Bapak Dr. Nurcholish Madjid).
Dr.
Nurcholish: “Oh … ya….!!! Saya yang
salah, saya minta maaf (sambil merangkul dan senyum sinis) serta membacakan
ayat: ‘Innamal mu’minuuna ikhwatun fa-ashlihuu bayna akhawaikum’ dan
disambung oleh Halim: ‘Wattaqullaha la’allakum turhamun’ (surat Al
Hujurat ayat 10).”
Halim: “Oke…ya.. saya maafkan kejadian ini, saya maafkan
kejadian ini.
Halim
Bayan lagi: “Oke..pak, kita sama-sama
muslim, tapi bagaimana dengan ini, Pak? (kata Halim sambil menunjuk brosur).”
Dr.
Nurcholish: “Sudah saya katakan, ini
fitnah, ini fitnah… cara ini pernah dilakukan oleh PKI, kamu PKI ya?? Saya
ketua HMI dulu, sambil menepuk dadanya.”
Halim: “Tidak pak…!! Maksud kami baik, ingin memberi
gambaran pada masyarakat yang sebenarnya, Ibnu Arabi itu seperti yang
diterangkan oleh brosur.”
Dr.
Nurcholish: “Tadi kamu minta izin
pada siapa?”
Halim: “Sama Bapak ini, Pak (sambil menunjuk pada seorang
yang ada di situ).”
Orang
yang tanda tangan surat tanda-terima:
“Iya…Pak!! Saya tertipu. Tadi saya membaca sekilas, tidak begitu
memperhatikan.”
Halim: “Kenapa Bapak tidak teliti …??? Kan saya suruh baca
dulu, jadi saya nggak salah.”
Orang
TTD: “Tadi
kamu menyuruh tanda-tangan saja, tidak memperlihatkan brosur.”
Halim: “Kan bapak tidak memeriksa.”
Dr.
Nurcholish: “Pokoknya, sekali lagi
saya tidak terima hal itu. Itu fitnah, itu cara PKI, awas kalau sampai
cara ini dilanjutkan, kamu berdosa, kamu tidak akan maafkan sampai hari
kiamat.”
Halim: “Begini Pak, sekali lagi ini bukan fitnah. Di sini
kan tercantum nama dan alamat perguruan kami. Inikan alamatnya cukup jelas,
jadi ini bukan fitnah dan bukan selebaran gelap.”
Dr.
Nurcholish: “Okelah..!! Pokoknya
bulan depan aku akan bahas masalah ini di forum, di pengajian Paramadina ini.
Kamu datang, dan kalau tidak punya uang, bilang suruh saya gitu..!!”
Halim: “Oke Pak…!!! Sekarang Bapak tulis di sini (di brosur)
bahwa bapak bersedia berdiskusi dengan kami, membahas tentang Ibnu Arabi ini.
Tentukan hari, tanggal, bulan dan tahunnya di situ.”
Dr.
Nurcholish: “Enggak….!! Begini
sajalah. Ini tanda tangan saya sebagai bukti bahwa saya berjanji (sambil
berjanji dan menandatangani salah satu brosur dan dikasih pada Halim). Sudah
ya…!! Saya jalan.”
Herman: “Sebentar Pak….!! Assalamu’alaikum dulu Pak
(sambil berjabatan tangan).”
Dr.
Nurcholish: “Wa’alaikumussalam.”
Jakarta, 28 Februari
1987
Penulis
(Herman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar