Sabtu, 28 April 2012

Masalah Ijtihad Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi


Pendahuluan

Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i  (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.

Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah  semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya.  Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.

Adapun ushuliyyah adalah seperti keadaan ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.

Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk qoth’i yaitu  shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.[1]

Setelah kita  mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:
-          Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri  dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’.  (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb,  maka pengingkarnya itu adalah kafir).
-          Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
-          Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.

Dalam masalah terakhir ini Syekh Hudhori Biek berpendapat bahwa pendapat yang rajih/ kuat adalah bahwa Allah mempunyai hukum tertentu dalam setiap perkara dan terdapat dalil atasnya.  Maka barangsiapa berhasil mendapatkannya, ia pun telah bertindak tepat. Dan barangsiapa yang melakukan kesalahan sesudah mencurahkan tenaga, maka iapun dianggap salah, hanya saja ia diberi pahala untuk ijtihadnya, dan dibebaskan darinya dosa dan kesalahannya (itu).

Oleh karena itu mujtahid yang tepat dalam syari’at adalah satu, dan hal itu karena dalil-dalil syari’at bisa berupa nash-nash dan bisa berupa qiyas yang berasal dari nash-nash itu; dan perbedaan  yang terjadi adalah karena pentakwilannya.

Adapun pentakwilan dan perbedaan di dalamnya, maka kita mengetahui dengan spontan bahwa As-Syari’ (Allah) tidak menetapkan suatu nash/ teks kecuali Ia menginginkan suatu makna tertentu. Hal ini kadang-kadang berhasil didapatkan oleh sebagian mujtahidin, maka ia dianggap tepat. Sedang yang menyimpang berarti ia berbuat kesalahan.[2]

Ijtihad

Ijtihad menurut bahasa adalah berasal dari kata jahada (جهد) yang artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.

Kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Seperti dalam kalimat:
“Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mengangkat batu penggilingan.”

Kata ijtihad ini tidak boleh dipergunakan seperti pada kalimat:
“Dia mencurahkan tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi.” [3]

Ijtihad menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Imam As-Syaukani adalah:

“Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat ‘amali/ praktis dengan jalan istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).” [4]

Definisi itu kemudian dijelaskan oleh As-Syaukani:

  1. Badzlul wus’i  (mencurahkan kemampuan), ini mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan arti badzlul wus’i adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.
  2. Hukum syara’ itu mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh.
  3. Demikian pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqoha’, walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad.
  4. Dengan jalan istinbath itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar berijtihad menurut istilah.

Sebagian ahli ushul menambah definisi itu dengan kata-kata faqih (seorang ahli fiqh), maka jadinya “pencurahan kemampuan oleh seorang faqih”. Itu mesti dalam hal ini, karena pencurahan kemampuan oleh yang bukan faqih (ahli fiqh) itu bukan dinamakan ijtihad menurut istilah.[5]

Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi

Al-Imam Abu Zuhroh mengemukakan bahwa sebagian ulama menta’rifkan: Ijtihad dalam istilah ushuliyyin (ahli ushul fiqh) adalah mencurahkan upaya keras (juhd) dan mengorbankan kemampuan maksimal, baik dalam istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan) hukum-hukum syar’i maupun tathbiq/ penerapannya.

Ijtihad dengan ta’rif ini maka terbagi dua:
1.      Khusus istinbath hukum dan menjelaskannya.
2.      Khusus tathbiq/ penerapannya.[6]

Bagian pertama, Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang sempurna, dan itu khusus bagi golongan ulama’ yang mengarah pada pengenalan hukum-hukum furu’ (cabang) yang ‘amali (praktis/ operasional) dari dalil-dalilnya yang terinci. Sebagian ulama mengatakan, ijtihad (isthinbathi) ini termasuk ijtihad khusus, kadang terputus pada suatu masa. Hal itu menurut pendapat Jumhur (mayoritas ulama), atau paling kurang sebagian banyak dari ulama. Sedangkan ulama Hanabilah (ulama Hanbali) berpendapat bahwa jenis ini (Ijtihad Isthinbathi) harus tidak pernah lowong pada setiap masa, mesti harus ada mujtahid yang mencapai tingkatan ini.

Bagian kedua, (Ijtihad Tathbiqi), para ulama bersepakat bahwa tidak boleh kosong suatu masa pun dari adanya (mujtahid tathbiqi). Mereka itu adalah ulama takhrij dan taathbiq (mengeluarkan dan menerapkan) ‘illat-illat yang diistinbatkan atas perbuatan-perbuatan juz’iyah. Maka pelaksanaan mereka atas hal ini adalah penerapan apa yang telah diistinbatkan para ulama yang dulu. Dan dengan tathbiq/ penerapan ini terjelaskanlah hukum-hukum permasalahan yang belum dikenalkan oleh ulama-ulama terdahulu yang memiliki derajat ijtihad mengenai hal itu. Dan sesungguhnya upaya yang dilakukan pemilik derajat kedua (mujtahid tathbiqi) adalah apa yang dinamakan tahqiqul manath (mengeluarkan ‘illat-illat, sebab-sebab terjadinya hukum).[7]

Lapangan Ijtihad

Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua:
1.      Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali.
2.      Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya (tidak pasti penunjukan maknanya).

Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.

 Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang sudah pasti penunjukan maknanya)..

 Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang.



Ijtihad terhadap hukum yang sudah ada nash qoth’inya itu dilarang

Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba, kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah memenuhi syarat untuk dipotong--. Juga tentang hukum pembagian harta waris mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.[8]

Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula ukuran yang dijadikan landasan hukum.[9]

Syarat-syarat Ijtihad


Untuk melakukan ijtihad diperlukan syarat-syarat. Syarat kecakapan berijtihad itu menurut Abdul Wahab Khalaf ada 4:

1.      Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan filologinya. Mempunyai rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang ia peroleh dari upaya mempelajari ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Mempunyai cakrawala luas dalam ilmu sastra dan unsur-unsur yang mempengaruhi kefasihannya, puisi maupun prosanya, dan lain-lainnya. Karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berupaya memahaminya. Seperti orang Arab karena kondisi bahasanya yang Arab, maka mereka mampu memahami nash-nash yang datang  dengan bahasa mereka. Dan mampu menerapkan kaidah-kaidah pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan atau phrase dan sinonim-sinonimnya.

2.      Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an. Yang dimaksud ialah seseorang itu mengerti hukum-hukum syara’ yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat-ayat yang menjadi nash hukum dan metoda menemukan hukum-hukum itu dari ayat-ayat tertentu. Sekiranya ia dapat, dengan mudah menghadirkan semua ayat hukum Al-Qur’an yang berhubungan dengan topik peristiwa, serta sebab-sebab turun setiap ayat secara benar, juga atsar sebagai tafsir atau ta’wil ayat-ayat itu.Dari pengetahuan semua itu dapat ditemukan hukum suatu peristiwa.     Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an tidaklah banyak. Sebagian ulama tafsir telah mengelompokkan ayat-ayat dalam kitab tafsir yang khusus, sehingga memungkinkan jika ayat-ayat yang berhubungan satu topik, satu dengan yang lainnya dihimpun. Maka seseorang dengan mudah mengecek kembali ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum mengenai thalaq, perkawinan, pewarisan, harta pusaka, pidana, mu’amalah dan macam-macam hukum Al-Qur’an lainnya. Terlebih lagi jika setiap ayat disebutkan keterangan yang benar tentang sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits yang menjelaskan keglobalannya, dan hadits-hadits yang menafsirinya. Dengan demikian, himpunan undang-undang dalam Al-Qur’an itu menjadi mudah untuk dikembalikan sebagai reference ketika ada keperluan, dan mudah membandingkan pasal-pasal atau topik yang satu dengan yang lainnya. Setiap pasal dapat dipahami menurut keterangan topok-topiknya, karena Al-Qur’an itu sebagiannya menafsiri kepada sebagian yang lain. Suatu kesalahan jika ayat dari topik itu dipahami bahwa ia adalah kesatuan yang terpisah yang berdiri sendiri.

3.      Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan Al-Sunnah. Artinya mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam Al-Sunnah Nabawiyah, sehingga ia mampu menghadirkan hukum-hukum setiap bagian dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada dalam Al-Sunnah, dan mengerti tingkatan sanad sunnah itu dari segi keshahihan atau kelemahan riwayatnya. Para ulama telah mempunyai andil besar dalam penyusunan Sunnah Nabawiyah. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk meneliti sanad-sanad dan para rawi setiap hadits Al-Sunnah itu. Sehingga ulama’ sesudah mereka, cukup mengadakan penelitian tentang sanad-sanadnya, sampai setiap hadits itu dikenal sebagai hadits mutawatir, masyhur, shahih, hasan, atau dho’if.     Para ulama’ juga menaruh perhatian untuk menghimpun hadits-hadits hukum dan menyusunnya menurut bab-bab fiqh dan perbuatan mukallaf, sehingga manusia mudah kembali kepada keterangan yang ada dalam hadits shahih yang berupa hukum-hukum jual beli, thalaq, perkawinan, pidana dan lain-lainnya. Juga dapat kembali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits yang membicarakan satu topik di antara topik-topik hukum. Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits-hadits itu, diharapkan dapatlah dipahami hukum syara’. Di antara kitab-kitab yang paling baik untuk dijadikan marja’ (reference) dalam masalah ini, ialah kitab “Nailul Authar” karangan imam Asy Syaukani.

4.      Hendaknya ia mengerti segi-segi qiyas. Yaitu mengerti ’illat dan hikmah pembentukan syari’at yang dengan itu disyari’atkan beberapa hukum. Mengerti hikmah syari’ah yang dibuat oleh Syari’ untuk  mengetahui ‘illat-’illat hukum, dan memahami peristiwa kemanusiaan mu’amalah, sehingga orang itu mengerti sesuatu yang menjadi realisasi ‘illat hukum yang berupa peristiwa yang tidak ada nash, memahami kepentingan dan kebiasaan manusia, dan hal-hal yang menjadi sarana kebaikan juga kejahatan baginya. Sehingga apabila melalui qias seorang mujtahid tidak menemukan jalan untuk mengetahui hukum suatu peristiwa, dia mampu menempuh jalan lain yang telah dirintis oleh syari’at Islam, supaya dapat menemukan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash (dalil ayat atau haditsnya) itu.[10]                                          


Jenis-jenis Ijtihad dilihat dari tingkatannya

Untuk mengemukakan mana yang ijtihad istinbathi dan mana yang ijtihad tathbiqi, Al-Imam Muhammad Abu Zahroh mengemukakan martabat atau tingkatan mujtahid, sebagai berikut:

1.      Al-Mujtahidun fis syar’i, yaitu mujtahid mutlak. Ini tingkatan pertama (tertinggi). Mereka itu memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad. Mereka mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjalani seluruh jalan untuk mencari dalil tanpa mengikut orang lain, dan mereka menentukan manhaj (pola) untuk diri mereka sendiri, dan menentukan furu’nya/ cabang-cabangnya. Mereka itu adalah para fuqoha’ sahabat semuanya, fuqoha’ tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, dan Ibrahim An-Nakha’i; para fuqoha’ Mujtahidin seperti: Ja’far Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’id, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun pendapat-pendapat mereka tidak sampai kepada kita secara kumpulan yang dibukukan, tetapi dalam pujian-pujian kitab-kitab berbagai fuqoha’ terdapat pendapat-pendapat mereka yang dinukil/ dikutip dengan riwayat yang tidak ada bukti kebohongannya dan bisa dipercaya kebenarannya.
2.      Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid pada tingkatan kedua. Mereka adalah mujtahid yang memilih perkataan-perkataan imamnya mengenai perkara yang pokok-pokok (ushul), dan mereka menyelisihi imamnya dalam perkara yang furu’ (cabang-cabang). Tingkatan yang kedua ini jelas terikat dengan manhaj, dan berijtihad dalam hal yang telah diijtihadi imam, baik menyepakatinya atau menyelisihinya. Yaitu berijtihad terhadap hal-hal (baru) yang belum dikemukakan.

3.      Mujtahid dalam Madzhab. Mereka ini pada tingkatan ketiga. Mereka mengikuti imam baik mengenai ushul maupun furu’ dalam keadaan berhenti padanya. Pekerjaan mereka hanyalah dalam mengistinbathkan hukum-hukum masalah-masalah yang tidak ada riwayat (pengeluaran hukumnya) dari imam. Dan mereka itulah yang menurut pengikut Maliki bahwa tidak ada masa yang kosong dari keberadaan mujtahid jenis ini. Yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa upaya mereka dalam ijtihad adalah tahqiqul manath, artinya tathbiqul ‘ilal fiqhiyyah (menerapkan illat fiqih) yang telah dikeluarkan oleh (mujtahid) pendahulu-pendahu mereka dalam masalah-masalah yang belum dibentangkan para pendahulu. Dan mereka tidak berijtihad dalam masalah-masalah yang telah dinashkan dalam madzhabnya kecuali dalam skup tertentu. Istinbath pendahulu mereka itu terbina dalam materi-materi ungkapan yang belum mencakup adanya kebiasaan di masa belakangan. Sekiranya para pendahulu itu melihat apa yang dilihat orang sekarang maka mereka pasti mengemukakan apa yang mereka katakan. Upaya mereka pada hakekatnya ada dua unsur: Pertama, mencari kesimpulan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan imam-imam terdahulu, dan seluruh penerapan/ ketetapan fiqh umum yang terdiri dari illat-illat yang dikeluarkan oleh para imam yang kenamaan. Kedua, mengistinbathkan hukum-hukum yang belum dinashkan dengan membangunnya di atas kaidah-kaidah. Tingkatan ini adalah yang membebaskan fiqh madzhab, meletakkan dasar-dasar untuk pertumbuhan madzhab-madzhab, mentakhrijnya dan membinanya, dan meletakkan dasar-dasar tarjih, perbandingan antar pendapat-pendapat untuk menshahihkan sebagian dan melemahkan sebagian lainnya. Dan tingkatan inilah yang memberi ciri keberadaan fiqh setiap madzhab.

4.      Mujtahidun dan Murjihun. Ini tingkatan keempat yaitu mereka tidak mengistinbathkan hukum furu’ yang belum diijtihadi para pendahulu dan belum diketahui hukumnya. Dan juga mereka tidak mengistinbathkan hukum masalah-masalah yang belum diketahui hukumnya, tetapi mereka mentarjih antara pendapat-pendapat yang diriwayatkan, dengan sarana tarjih yang telah diterapkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Maka mereka menetapkan tarjih sebagian pendapat atas sebagian lainnya dengan (berdasarkan) kuatnya dalil atau kemaslahatan, untuk diterapkan sesuai keadaan masa dan semacamnya yang tidak termasuk istinbath baru secara mutlak ataupun mengikuti (yang lalu). Imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Majmu’nya menyamakan tingkatan mujtahid keempat ini dengan tingkatan yang ketiga dalam satu tingkat.


5.      Tingkatan muhafidhin, mereka tidak mentarjih tetapi mengetahui apa yang rajih/ kuat, dan menyusun derajat tarjih sesuai dengan yang telah ditarjih oleh para pentarjih. Mereka ini berhak berfatwa sebagaimana para pendahulu, tetapi skupnya sempit.

Abu Zuhrah mengemukakan, tingkatan satu sampai 4 itu adalah mujtahid, sedang tingkatan selanjutnya adalah muqollid dan tidak bisa naik ke tingkat ijtihad.

Pada tingkatan yang lalu itu, walaupun satu sampai 4 itu adalah tingkatan mujtahid, tetapi penjelasannya sebagai berikut:

Pertama: Tingkatan pertama itu adalah yang memiliki tingkatan ijtihad al-kamil almaufur/ sempurna lagi mumpuni.

Kedua; tingkatan ijtihad dalam masalah furu’ mutlaq (hanya masalah-masalah cabang), tidak ada baginya ijtihad dalam masalah ushul (pokok).

Ketiga: tingkat ketiga dan termasuk pula yang keempat yaitu yang berhak ijtihad dalam hal mengeluarkan Illat (sebab) dan manath hukum, dan menyatakan manath itu dalam masalah-masalah yang timbul padanya.[11]

Ijtihad Tathbiqi

Setelah diketahui adanya tingkatan-tingkatan mujtahid, maka bisa disimpulkan, ijtihad isthinbathi adalah yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq dan mujtahid muntasib. Yaitu memang mereka mengeluarkan hukum dengan istinbath (penyimpulan), tanpa ada yang mengistinbathkannya sebelumnya.
Berbeda dengan itu adalah ijtihad tathbiqi, yaitu mengeluarkan hukum sejenis dari yang telah dikeluarkan oleh para pendahulu, hanya saja kasusnya belum ada di masa pendahulu.
Di samping ijtihad tathbiqi itu bermakna seperti itu, masih pula ada yang berkaitan dengan tugas, misalnya sebagai khalifah ataupun qadhi, maka di antara tugasnya adalah menentukan peraturan perundang-undangan atau memutuskan perkara.
Kita lihat tugas khalifah, dalam hal ini kita jadikan acuan bahwa mereka bertugas menentukan hal-hal yang sifatnya ijtihadi dan mengikat. Ijtihadi dan sifatnya mengikat itulah tathbiqi. Sedang ijtihad istinbathi sifatnya tidak mengikat, boleh dilaksanakan boleh tidak.
Al-Mawardi mengemukakan tugas-tugas khalifah, dan ia menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah:

Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.

Di samping tugas utama seperti itu masih ada 9 tugas lagi bagi imam/ khalifah yaitu:
1.      Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara.
2.      Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.
3.      Menegakkan hukum.
4.      Melindungi daerah-daerah perbatasan.
5.      Memerangi orang yang menentang Islam.
6.      Mengambil fai’ dan sedekah (termasuk zakat).
7.      Menentukan gaji dan keperluan baitul mal.
8.      Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi keuangan, agar tugas-tugas dikerjakan oleh orang-orang ahli, sedang keuangan oleh orang-orang yang jujur.
9.      Terjun langsung menangani aneka persoalan, memeriksa keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.[12]

Dari 10 tugas itu ada beberapa tugas yang memerlukan ijtihad yang sifatnya adalah tathbiqi (penerapan). Di antaranya menghukum orang yang sesat. Penentuan hukum dari khalifah tidak cukup hanya ditentukan, namun harus diterapkan; maka penerapan itulah namanya tathbiqi. Kalau hukumnya itu belum ada dan kemudian ia berijtihad, maka ijtihad di sini adalah istinbathi. Kemudian hasil ijtihadnya itu diterapkan ataupun jadi undang-undang maka itu tathbiqi.

Menentukan dan menghukumi pendapat orang sebagai pendapat yang sesat itu adalah ijtihad istinbathi bila belum pernah ada mujtahid yang mengistinbathkan sebelumnya. Kalau sudah pernah ada, hanya saja kasusnya berbeda tetapi ‘illatnya sama, lalu dikemukakan ‘illat itu untuk menentukan hukumnya, maka itu adalah ijtihad tathbiqi. Dan juga penerapan hukumnya itu adalah tathbiqi.

Contoh ijtihad istinbathi dan langsung tathbiqi/ diterapkan sebagai berikut:

Ada dua orang yang sedang berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi menghadap Rasulullah saw meminta pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan perselisihan  kedua orang tadi. Namun salah seorang dari  mereka merasa kurang puas terhadap keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya: “Kalau begitu kita adukan ke Umar.”
Kedua orang tadi menghadap ke Umar dan menceritakan permasalahannya. Seusai mendengarkan masalahnya, Umar bangkit dari tempat duduknya sambil mengatakan:
“Diamlah kalian di tempat.”  Umar masuk untuk mengambil pedangnya, kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi hingga akhirnya orang itu mati.
Kemudian peristiwa itu diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda: “Saya kira tidak mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang mukmin.”
Kemudian menurunkan ayat dalam surat An-Nisaa’ ayat 65 sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat Umar:
“Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”  (QS An-Nisa’: 65).[13]
Rasulullah pun menghalalkan darah orang yang terbunuh itu dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum.
Dalam hal ini Umar beranggapan bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya menyebabkannya halal dibunuh.[14]   

Kesimpulan

1.            Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad untuk mengeluarkan hukum mengenai masalah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi dhanni (tidak bermakna pasti), dan hal yang diijtihadi itu belum ada pendahulu yang mengijtihadinya.
2.            Ijtihad tathbiqi adalah ijtihad mengenai hal yang sudah tercakup dalam ijtihad pendahulu, namun kasusnya belum disebut oleh pendahulu sebab belum ada. Seandainya ada maka disebut pula. Maka ijtihad tathbiqi itu hanyalah mengeluarkan illat-illat atau tahqiqul manath disesuaikan dengan ijtihad pendahulu.
3.            Ijtihad tathbiqi secara bahasa adalah menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada, sehingga hasil ijtihad yang sifatnya tidak mengikat kalau dijadikan undang-undang maka sifatnya jadi mengikat. Pembuatan undang-undang ataupun penetapan keputusan untuk diekskusikan itu bisa disebut tathbiq. Dalam hal ini kalau baru berupa fatwa (sifatnya tidak mengikat) maka masih berupa istinbathi, tetapi kalau sudah jadi undang-undang atau dipakai oleh hakim untuk memutuskan perkara maka sifatnya mengikat untuk diterapkan, di sinilah bisa disebut tathbiqi.


[1] Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqh (terjemahan Zaid Al-Hamid), Raja Murah, Pekalongan, jilid 1-2,  tt, jilid 2 hal 229.
[2] Ibid, hal 231.
[3] Al-Ghazali, al-Musytasyfa, juz 2, hal 350.
[4] As-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haqq min ‘Ilmil Ushul, Darul Fikr, Beirut, tt, hal 250.
[5] Ibid.
[6] Imam Abu Zuhroh, Ushul Fiqh, Darul Fkr Al-‘Araby, tt, hal  379.
[7] Ibid.
[8] Yusuf Qaradhawi, Ijtihad dalam Masyarakat Islam, terjemahan Drs Achmad Syatori, Bulan Bintang Jakarta, hal 262.
[9] Ibid, hal 262-263.
[10] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Qalam, Kuwait, cetakan 14, 1401H/ 1981M, hal  218-220.
[11] Lihat Imam Abu Zuhrah, Ushul Fiqh, darul Fikril Arabi, 389-398.
[12] Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal 15-16.
[13] Dr Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikih Umar, terjemahan Abbas MB, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, 1994, jilid 1, hal 32.
[14] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar