Dr Din Syamsuddin:
Pemikiran Ulil dan JIL Tidak Berstandar Islam
Laporan utama Majalah
Panjimas Nomor 07, tanggal 26 Desember 2002, tentang Islam Liberal, memuat
pendapat-pendapat Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal)
hingga mendominasi laporan itu disertai wawancara. Pendukung JIL Masdar F Mas’udi
yang diberi porsi cukup luas. Pendapat KH Athi’an Ali Da’I dari Forum Ulama
Umat Islam (FUUI) dari Bandung ditampilkan, di samping pendapat KH Mustofa
Bisri mertua Ulil yang ditampilkan untuk ditepis Ulil sambil
menyinggung-nyinggung nama saya (Hartono Ahmad Jaiz). Dr Din Syamsuddin dari
MUI (Majelis Ulama) diwawancarai, secara mendasar mengatakan: “Pada gugusan
pemikiran Ulil dan JIL tidak ada pemikiran yang berstandar Islam.” (hal 27).
Berbeda dengan itu, KH Sahal Mahfudz Ketua Umum MUI (Majelis
Ulama Indonesia) dan juga Rais ‘Am NU (Nahdlatul Ulama) tampaknya biasa-biasa
saja terhadap Ulil, padahal dulunya Kiai Sahal ini agak kritis terhadap Pak
Munawir Sjadzali Menteri Agama (1983-1993) yang melontarkan gagasan
reaktualisasi ajaran Islam yang menganggap hukum waris Islam tidak adil, dan
menganggap bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang sudah tidak relevan lagi.
Kenapa terhadap Ulil yang JIL itu KH Sahal Mahfudz tidak mengkritisi? Apakah
lantaran KH Sahal Mahfudz sama-sama
se-NU dan sedaerah (Pati Jateng) dengan Ulil? wallahu a’lam. Yang jelas,
keduanya adalah pendukung berat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) terutama dalam
Muktamar Nu di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, 1994. KH Sahal
Mahfudz pendukung Gus Dur untuk kaum
tua, sedang Ulil penggerak GMNU (Gerakan Muda NU) untuk mendukung Gus Dur di
kalangan muda, dengan memakai kaos seragam bertulisan di punggung Gus Dur Oke.
Di Masa Gus Dur jadi presiden 1999-2001 maka KH Sahal Mahfudz jadi ketua umum MUI, sedang Ulil jadi
kordinator JIL.
Sementara itu Panjimas juga
menampilkan cuplikan sikap NU (Nahdlatul
Ulama) Jawa Timur. Tulis Panjimas: “…meski JIL dimotori oleh umumnya anak-anak
muda NU yang “maju”, kalangan organisasi mereka tampaknya kurang begitu happy.
Sebuah taushiyah (rekomendasi, pen) dari Konferensi PWNU (Pimpinan Wilayah
Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, yang berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Ulum
, Trenggaleng Pasuruan, pertengahan Oktober lalu berbunyi (persisnya): “Kepada
institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada Warga NU agar
mewaspadai dan mencegah pemikiran “Islam Liberal” dalam masyarakat. Apabila
pemikiran “Islam Liberal” tersebut dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua
tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istitaabah) maupun
sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU).” (hal 27). Tetapi laporan utama Panjimas itu
ditutup dengan sengaja memberikan
keleluasaan kepada awak JIL Hamid Basyaib untuk membela Ulil. Lebih dari itu,
tampaknya Panjimas berancang-ancang untuk mengerahkan wadyabala JIL, yang tua
untuk turun gunung angkat pena, dan yang muda untuk belajar berlaga melontarkan
gagasan liberalnya lewat tulisan.
Ada beberapa hal yang
terungkap dalam laporan tentang JIL di Panjimas No 07 –2002 itu. Masalah dana
JIL dari mana, ternyata dari Asian Foundation dan Ford Foundation serta NGO
lainnya. Pendana-pendana itu tampaknya dari pihak yang berseberangan dengan
Islam. Itu satu persoalan, menurut QS Al-Baqarah: 120.
“Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120).
Terungkap pula, gaya JIL itu
terlalu percaya diri. Ulil dan kawan-kawannya seolah meletakkan diri sebagai
mujtahid mutlak di satu sisi, namun di sisi lain tidak pakai manhaj/ metodologi
keilmuan yang jelas. Ini adalah pemandangan ironis sekaligus tragis. Sehingga
ungkapan “Belajar dari Ijtihad Umar” yang dilakoni JIL akan mengakibatkan
peniruan yang memerosotkan sahabat Nabi saw terkemuka, seolah Umar bin
Al-Khatthab hanya sekelas dengan orang JIL keteguhan Islam dan ilmunya, atau
hanya kakak kelas. Padahal, syetan saja konon takut berpapasan dengan Umar bin
Al-Khatthab, pertanda keteguhan Islamnya, dan dia terhitung mujtahid di barisan
sahabat Nabi saw. Meskipun demikian, kalau pendapatnya, seandainya ada yang tak
cocok dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak perlu diikuti. Kita harus kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada Umar. Maka Ibnu Mas’ud
diriwayatkan sangat mengecam ketika dia mengatakan firman Allah dan sabda Nabi
saw lalu orang menyanggahnya dengan perkataan Abu Bakar dan perkataan Umar.
Pelajaran semacam ini perlu dicermati, sebab banyak orang sekarang kadang
membantah ayat atau hadis dengan perkataan orang, hatta orang kafir sekalipun.
Ini satu keanehan.
Di samping persoalan itu,
masih ada beberapa masalah besar, di antaranya masalah pluralisme agama dan
penggunaan dalil semaunya.
Masalah Pluralisme Agama
Ulil Abshar Abdalla menjawab
pertanyaan tentang pluralisme agama.
Kutipan:
“Ada hadis yang mengatakan,
“Tamsil agama yang saya (Muhammad) bawa seperti sebuah batu bata yang saya
letakkan di sudut dari sebuah bangunan yang hampir lengkap”. Artinya Islam ini
menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen. Ibnu Arabi
mengatakan semua agama itu baik karena datangnya dari Allah.”
Sanggahan:
Ungkapan Ulil, “Islam ini
menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen” itu jelas
bertentangan dengan ayat dan hadits. Insya Allah sebentar lagi akan saya
kemukakan dalil-dalilnya.
Hadits yang Ulil kemukakan
itu lengkapnya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Jabir r.a,
ia berkata: Dari Nabi s.a.w, beliau bersabda: “Perumpamaanku dan perumpamaan
para Nabi adalah seperti perumpamaan seseorang yang membangun sebuah gedung.
Dia (seseorang itu) membinanya dengan baik dan sempurna, tetapi masih ada satu
tempat yang belum diletakkan bata. Ramai orang yang masuk ke dalam rumah
tersebut dan mereka mengaguminya seraya berkata: ‘Alangkah lebih baik jika
kekurangan itu disempurnakan.’ Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Aku diibaratkan
sebagai bata tersebut di mana kedatanganku adalah sebagai penutup para Nabi’…”
(HR Al-Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Hajar, dalam
hadits ini dibuatnya perumpamaan-perumpamaan itu untuk mendekatkan pemahaman
dan menjelaskan keutamaan Nabi saw atas seluruh nabi-nabi dan bahwa Allah
menutup para utusan dengan beliau dan menyempurnakan syari’at-syari’at agama
dengan beliau.
Mengenai keutamaan Nabi
Muhammad saw dan kekhususannya di antaranya ada hadits:
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah al-Ansari r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Aku diberi lima
perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Semua
Nabi sebelumku hanya diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus
kepada manusia yang berkulit merah dan hitam (yaitu seluruh manusia).
Dihalalkan untukku harta rampasan perang, sedangkan dulunya tidak pernah
dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Disediakan untukku bumi yang
subur lagi suci sebagai tempat untuk sujud (yaitu shalat). Maka siapa pun
apabila tiba waktu shalat walau dimana saja dia berada hendaklah dia
mengerjakan shalat. Aku juga diberi pertolongan secara dapat menakutkan musuh
dari jarak perjalanan selama satu bulan. Aku juga diberi hak untuk memberi
syafa’at . (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Allah SWT menjelaskan
tentang posisi para nabi dan keutamaan
Nabi Muhammad saw di antaranya sebagai berikut:
Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan
kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang
membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman
kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui
dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab:
"Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai
para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".( QS Ali Imran: 81).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan
ayat tersebut sebagai berikut:
Ali
bin Abi Thalib dan putera pamannya, Ibnu Abbas, pernah berkata,”Allah tidak
mengutus seorang nabi pun melainkan Dia mengambil janji darinya, (Yaitu) jika
Allah mengutus Muhammad, sedang ia (seorang nabi selain Nabi Muhammad saw)
dalam keadaan hidup, niscaya ia akan beriman kepadanya (Muhammad saw),
menolongnya dan memerintahkan kepada nabi itu untuk mengambil janji dari
umatnya: Jika Muhammad diutus sedang mereka hidup, niscaya mereka akan beriman
kepadanya dan menolongnya.”
Thawus, Hasan Al-Bashri, dan
Qatadah mengatakan, ”Allah telah mengambil janji dari para nabi, agar
masing-masing mereka saling membenarkan
satu sama lainnya.” Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ali dan
Ibnu Abbas, bahkan menghendaki makna tersebut dan mendukungnya. Oleh karena itu,
Abdul Razak meriwayatkan dari Muammar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, pendapat
yang sama seperti pendapat Ali dan Ibnu Abbas.
Imam
Ahmad meriwayatkan:
Riwayat dari Abdullah bin
Tsabit, ia berkata: “Umar bin Khattab pernah datang kepada Nabi seraya berkata,
”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memerintahkan kepada seorang saudaraku yang
beragama Yahudi dari Bani Quraidzah (untuk menuliskan ringkasan Taurat), maka
ia menuliskan untukku ringkasan dari isi Taurat. Berkenankah engkau jika aku
perlihatkan hal itu kepadamu?” Abdullah bin Tsabit berkata, maka berubahlah
wajah Rasulullah. Kemudian aku katakan kepada Umar: ”Tidakkah engkau melihat
perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar pun berkata, ”Aku rela Allah sebagai
Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Rasulku.” Abdullah bin Tsabit
melanjutkan, maka hilanglah kemarahan Nabi dan
beliau bersabda:”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya
Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan
meninggalkanku, maka kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah (umat
yang menjadi) bagianku dan aku adalah (nabi yang menjadi) bagian kalian.” (HR
Ahmad).
Dalam hadits lain, Al-Hafidh
Abu Bakar berkata, meriwayatkan hadits dari Jabir yang berkata:
Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah kamu sekalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, karena
mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kalian, dan sungguh mereka telah
sesat. (Kalau kamu menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab) maka sesungguhnya kamu
boleh jadi membenarkan kebatilan atau membohongkan kebenaran. Maka sesungguhnya
seandainya Musa hidup di antara punggung-punggung kalian (di kalangan kalian) tidak halal baginya
kecuali mengikutiku. (HR Ahmad).
Dengan demikian, Muhammad
saw adalah rasul yang menjadi penutup para nabi selama-lamanya sampai hari
kiamat kelak. Beliau adalah pemimpin agung, seandainya beliau muncul kapan
saja, maka beliau yang wajib ditaati dan didahulukan atas seluruh nabi. Oleh
karena itu, beliau menjadi imam mereka pada malam Isra’, yaitu ketika mereka
berkumpul di Baitul Maqdis. Beliau juga adalah pemberi syafaat di Mahsyar, agar
Allah datang memberi keputusan di antara hamba-hamba-Nya. Syafaat inilah yang
disebut maqamal mahmud (kedudukan yang terpuji) yang tidak pantas bagi siapa
pun kecuali beliau, yang mana ulul azmi
dari kalangan para nabi dan rasul pun semua menghindar darinya (dari
memberikan syafaat), sampai tibalah giliran untuk beliau, maka syafaat ini
khusus bagi beliau (Nabi Muhammad saw). Semoga shalawat dan salam senantiasa
terlimpahkan kepadanya.
Ali Al-Haitsami (W 807H)
dalam Majma’ Az-Zawaid menulis bab larangan bertanya kepada Ahli Kitab. Riwayat
dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata: Janganlah kamu sekalian bertanya kepada
Ahli Kitab tentang sesuatu, karena mereka tidak akan memberi petunjuk kepada
kalian, dan sungguh mereka telah menyesatkan diri mereka sendiri, bisa jadi
mereka menceritakan kepada kalian dengan kebenaran lalu kalian membohongkan
mereka atau dengan kebatilan lalu kalian membenarkan mereka. (HR At-Thabrani
dalam Al-Kabir, dan rijal/ para periwayatnya kuat/ terpercaya).
Riwayat dari Abi Musa, ia
berkata, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Bani Israel telah menulis satu
kitab (Talmut, pen) lalu mereka mengikutinya dan mereka meninggalkan Taurat.
(HR At-Thabrani dalam Al-Kabir, dan rijalnya kuat).
Dari hadits itu, orang-orang
Bani Israel sebenarnya telah menghapus sendiri agama mereka diganti dengan
ajaran kitab yang mereka tulis. Maka ungkapan Ulil bahwa Islam ini hanya
menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen agama-agama
sebelumnya, itu adalah ungkapan yang tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
Hadits-hadits Nabi saw, dan kenyataan yang ada. Lebih tandas lagi adalah hadits
Nabi saw sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abi
Hurairah ra, dari Rasulillah saw bahwasanya beliau bersabda: “Demi dzat yang
jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seorang dari umat ini yang mendengar
(agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan
belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk
penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab wajibnya beriman kepada risalah
Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Kitab Shahih Muslim adalah
kitab hadits shahih (benar periwayatannya) yang termasuk menjadi pedoman umat
Islam. Dalam hadits tersebut Imam Muslim memberinya bab: Wajibnya beriman
kepada risalah Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan
agama beliau. Pertanyaan yang ringan tetapi telak bisa dikemukakan, lebih
afdhol mempercayai Imam Muslim yang telah diakui oleh dunia Islam ataukah
mempercayai celotehan Ulil Abshar Abdalla orang JIL yang dihujat banyak ulama
dan umat Islam?
Mencampur aduk aneka kerancuan
Ulil Abshar Abdalla dan
orang-orang yang mengusung faham Liberal menyebarkan faham pluralisme agama.
Mereka itu tidak lain adalah orang-orang yang mengaduk-aduk Aqidah Islam. Yang
mereka pakai justru faham-faham di luar Islam lalu dicampur aduk dengan faham
tasawuf sesat yang merusak Islam. Ada kerancuan faham dipertemukan dengan
kerancuan faham yang lainnya sehingga terbentuklah kerancuan yang baru yaitu
pluralisme agama model JIL. Ini di antaranya adalah kerancuan dari faham
pluralisme (menyamakan semua agama) yang dicanangkan oknum Nasrani, John
Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dan kerancuan
faham tokoh sufi/ tasawuf Ibnu Arabi
(560-638H/ 1165-1240M) yang mencanangkan Wihdatul Adyan, penyatuan
agama-agama, di samping faham kemusyrikan bikinan Ibnu Arabi yang terkenal
dengan sebutan wihdatul wujud, satunya alam dengan Tuhan. Ibnu Arabi juga
menyebarkan faham, “Hamba adalah Tuhan” (Fushushul Hikam oleh Ibnu Arabi,
92-93). “Neraka adalah surga itu sendiri.” (Fushushul Hikam, 93-94). Ad-dhal
(orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir
adalah al-mu’min” (Masra’ at-Tasawuf, 108). Lalu Ulil Abshar Abdalla dan para
pengusung faham Liberal membuat reka-rekaan, bahwa kedatangan Nabi Muhammad saw
selaku utusan Allah SWT tidak untuk menghapus agama-agama sebelumnya, namun
hanya menyempurnakan. Ujung-ujungnya hanyalah menjadi muqollid (pembebek) faham
rusak Ibnu Arabi yaitu Wihdatul Adyan, penyatuan semua agama, dianggapnya semua
agama adalah baik karena datangnya dari Allah, itulah agama Ulil dan para
pengusung faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama.
Padahal, dalam Al-Qur’an ditegaskan, yang artinya:
“Sebahagian diberi-Nya
petunjuk dan sebahagian lagi
telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan
syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira
bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Al-A'raaf/ 7 :30).
Kita tanyakan kepada kaum
pluralis. Kalau menurut pandangan
pluralis: Bahwa semua agama itu sama, sejajar, hanya beda teknis; Ini
apakah artinya, semua itu tidak ada yang
mendapat petunjuk? Ataukah tidak
ada yang
sesat? Apakah semuanya tunduk
kepada Allah, ataukah semuanya tunduk kepada syetan?
Jelas-jelas paradigma
pluralis itu bertentangan dengan ayat dan
juga bertentangan dengan do'a
kita setiap shalat:
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat (Nasrani).” (Al-Fatihah: 6,7).
Dalil-dalil yang Menyanggah Faham Pluralisme Agama
Ayat-ayat dan hadits-hadits
telah jelas menegaskan tidak sama antara orang yang beragama Islam (beriman)
dengan orang non Islam (kafir) dan penegasan tentang dihapusnya agama-agama
terdahulu oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Berikut ini sebagian
dalilnya:
Maka apakah orang yang
beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (QS As-Sajdah:
18).
Tiada sama penghuni-penghuni
neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah
orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr/ 44: 20).
Apakah kamu menghendaki
untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada
zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh
orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 108).
Katakanlah: "Hai
manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk". (QS Al-A’raaf: 158).
Dan Kami tidak mengutus
kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
(As-Saba’: 28).
Mungkin golongan pluralis
masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan hadits tentang diutusnya Nabi Muhammad
untuk seluruh manusia ini bukan berarti menghapus agama-agama terdahulu. Kilah
mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya, lihat Hadits riwayat Imam Muslim
tersebut di atas tentang dihapusnya agama-agama terdahulu, dan hadits berikut:
Diriwayatkan dari Anas ra,
dia menceritakan, ada seorang anak Yahudi yang biasa mengambilkan air wudhu
untuk Rasulullah saw dan membawakan sandal beliau. Lalu anak itu sakit, maka
Rasulullah saw menjenguknya. Beliau menemuinya, sedangkan ayahnya sedang duduk
di samping kepalanya. Kemudian beliau berkata kepadanya: Wahai Fulan, ucapkanlah laa ilaaha illallaah.
Lalu anak itu melihat kepada bapaknya dan bapaknya pun diam. Kemudian beliau
mengulanginya kembali, anak itupun kembali melihat bapaknya, maka ayahnya
mengatakan: ‘Taatilah Abul Qasim’ (Rasulullah). Maka anak itupun mengucapkan:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan engkau adalah Rasul
Allah”. Setelah itu Rasulullah keluar dan beliau berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah mengeluarkannya dari neraka melalui aku.” (HR Ahmad).
Hadits yang setegas itu masih
pula ada ketegasan dari Allah SWT tentang hanya agama Islamlah yang diterima
oleh Allah SWT, sedang selain Islam tidak akan diterima.
Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imraan: 19).
Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali
‘Imraan: 85).
Konsekuensi dari ayat dan
hadits itu, Nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan
kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti
Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau
kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu
menjalankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada
Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani,
sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api),
suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah SWT.
Sejarah otentik yang
tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat
mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar
mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi saw
yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat
kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa
Romawi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits
Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi.
Telah jelas ayat-ayat dan
hadits yang menegaskan tentang hanya Islam lah agama yang diterima Allah swt.
Orang yang telah mendengar seruan Nabi Muhammad saw lalu mati dalam keadaan
tidak masuk Islam, maka menjadi penghuni (tetap) neraka, bukan sekadar masuk
neraka.
Dengan ketegasan ayat-ayat
dan hadits seperti tersebut, maka tidak bisa diingkari lagi. Orang yang
mengingkari ayat-ayat itu hukumnya adalah kufur. Adapun apabila dia semula
beragama Islam maka dengan mengingkari ayat itu hukumnya jadi murtad.
Dalam kasus Ulil, ia
mengemukakan Hadis Nabi, lalu diulas dengan dicocokkan kepada pendapat Ibnu
Arabi yang sudah divonis kafir, mulhid dan murtad oleh para ulama, itu adalah
cara-cara yang tidak sesuai dengan ilmu dalam hal istidlal (mengambil dalil sebagai landasan) dan
istinbat (mengambil kesimpulan). Apalagi
kemudian yang diikuti justru pendapat yang telah dinilai sesat oleh para ulama.
Secara pandangan saja,
ungkapan Ibnu Arabi “bahwa semua agama itu baik, karena datangnya dari Allah”;
itu adalah pendapat serampangan yang amat sangat berbahaya. Setara dengan
serampangannya orang yang mengatakan, “orang jadi guru ngaji atau jadi maling
sama baiknya, karena semua adalah taqdir dari Allah”. Malah justru lebih buruk
pendapat Ibnu Arabi yang menyamakan semua agama itu, karena menyamakan antara
orang yang menyembah berhala dengan yang
menyembah Allah SWT.
Masalah Menghina Islam dan Hukum Bunuh
Kembali kepada kasus Ulil
Abshar Abdalla yang mencomot dalil semaunya.
Kutipan pernyataan Ulil:
“…tuduhan bahwa saya
menghina Islam karena perbedaan pandangan dan pemikiran harus dihukum mati itu,
saya tidak mengerti. Mana ada ayat atau hadisnya. Yang ada adalah hadis yang
mengatakan “man baddala dinahu faqtuluhu”, barangsiapa yang keluar dari Islam
maka dibunuh.Hadis inipun saya kritik. Bukan karena dhaif, tetapi bertentangan
dengan prinsip Al-Quran yang berpandangan bahwa beragama itu harus sesuai
dengan kebebasan kita. Kata Quran, “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur.
(Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia
kafir).”
Sanggahan:
Perintah membunuh penghina
Allah dan Rasul-Nya
1069. Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata: “Rasulullah
s.a.w bertanya kepada para Sahabatnya: ‘Siapakah yang bersedia untuk
membunuh Ka'ab bin Al Asyraf? Karena dia telah menyakiti/menghina Allah dan
Rasul-Nya.’ Maka Muhammad bin Maslamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah!
Adakah kamu setuju jika aku membunuhnya?’ Beliau menjawab: ‘Ya!’
Kemudian dia (Muhammad bin Maslamah) berkata: ‘Izinkanlah aku terlebih
dahulu untuk memberitahu sesuatu kepadamu.’ Beliau pun menjawab: ‘Katakanlah!’
Maka dia pun mendekati Beliau dan membincangkan sesuatu. Kemudian Beliau
bersabda: ‘Sesungguhnya Ka’ab pernah berhasrat mengeluarkan sedekah, akan
tetapi dia menyusahkan kami.’ Setelah mendengar kata-kata Beliau dia begitu
marah sekali. Lalu dia berjanji akan membalas perbuatannya itu. Kebetulan pada
masa itu dia begitu akrab dengan Ka’ab. Satu hari dia menemui Ka’ab dan
berkata: ‘Aku ingin kamu memberikan kepadaku suatu bentuk pinjaman.’
Lalu Ka’ab bertanya: ‘Jadi apa yang akan kamu gadaikan kepadaku?’ Dia
menjawab: ‘Apa yang kamu inginkan?’ Ka'ab menjawab: ‘Aku ingin kamu
gadaikan kepadaku perempuan-perempuanmu itu.’ Kemudian dia menjawab: ‘Kamu
adalah bangsawan Arab, jadi adakah patut aku menggadaikan perempuan-perempuanku
kepada kamu?’ Lalu Ka'ab berkata kepadanya: ‘Kalau begitu, kamu
gadaikanlah anak-anakmu kepadaku.’ Maka dia berkata: ‘Aku tidak mungkin
menggadaikannya kepadamu, sekiranya aku menggadaikannya kepadamu kami pula akan
dicela karena seolah-olah menggadai dua wasak (satu wasak sama dengan enam
puluh gantang) tamar saja. Oleh karena itu aku gadaikan senjataku kepadamu.’
Lalu Ka'ab berkata: ‘Baiklah aku setuju.’ Lalu dia berjanji kepada Ka'ab
bahwa dia akan datang menemuinya dengan ditemani oleh al-Haris, Abu Abas bin
Jabir dan Abbad bin Bisyri. Setelah itu mereka berempat pergi menemui Ka'ab
pada waktu malam, lalu Ka'ab turun menemui mereka. Menurut kata Sufian, pada pendapat
lain menurut kata Amru bahwa isteri Ka'ab telah berkata kepada suaminya itu: ‘Sesungguhnya
aku seperti mendengar suara orang yang ingin menumpahkan darah.’ Setelah
mendengar kata-kata isterinya itu, lalu Ka'ab berkata: ‘Tidak! Mereka
hanyalah Muhammad bin Maslamah bersama saudara susuannya dan ditemani Abu
Nailah. Sebagai memuliakan tetamu, aku harus menemani mereka walaupun pada
waktu malam begini.’ Ketika Ka'ab masih di rumahnya itulah Muhammad (bin
Maslamah) menggunakan kesempatan tersebut untuk mengatur rancagan seterusnya.
Sesaat kemudian Ka'ab pun keluar, setelah dia ditanya oleh mereka: ‘Aku
seperti mencium bau harum pada dirimu.’ Ka'ab menjawab: ‘Memang! Karena
isteriku seorang perempuan Arab yang suka bersolek.’ Setelah itu Muhammad
bin Maslamah berkata kepada Ka'ab: ‘Izinkan aku mencium bau harum pada
dirimu.’ Ka’ab berkata: ‘Silakan!’ Maka diapun menciumnya, kemudian
dia meminta untuk menciumnya sekali lagi dengan berkata: ‘Kalau boleh aku
ingin menciumnya sekali lagi.’ Lalu dia menghulurkan kepalanya kepadanya,
ketika itulah dia mengarahkan kawan-kawannya agar membunuh Ka'ab, maka
merekapun membunuhnya.” (Muttafaq ‘alaih).
Orang yang jelas-jelas
menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh.
Dalam kitab Bulughul
Maram dan syarahnya, Subulus Salam pada bab Qitalul jani wa
qotlul murtad dikemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai,
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Abu Dawud no 3665:
“Dari Ibnu Abbas ra bahwa
ada seorang buta mempunyai ummul walad (budak perempuan yang dipakai tuannya
lalu beranak) yang memaki-maki dan mencela Nabi SAW. Ia telah melarang ummul
walad tersebut, namun dia tidak mau berhenti. Maka pada suatu malam ia ambil
satu pacul yang tajam sebelah, lalu ia taruh di perutnya dan ia duduki, dan
dengan itu ia bunuh dia. sampai yang demikian kepada Nabi SAW, maka sabdanya:
“Saksikanlah bahwa darahnya itu hadar.”
Darahnya itu hadar,
maksudnya darah perempuan yang mencaci Nabi SAW itu sia-sia, tak boleh ada
balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat/tebusan darah. Jadi
darahnya halal alias halal dibunuh.
Juga ada hadits:
Diriwayatkan dari As-Sya’bi
dari Ali ra bahwa seorang wanita Yahudi telah memaki/menghina Nabi SAW dan
mencelanya, maka seorang lelaki
mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah saw membatalkan darahnya. (HR
Abu Dawud, menurut Al-Albani dalam Irwaul Ghalil hadits no 1251 ini isnadnya
shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim). Itu artinya halal dibunuh.
Dibunuh Karena Pendapatnya Merusak Islam
Orang yang menciptakan dan
menyebarkan pendapat yang merusak/ menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan
Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh.
Jahm bin
Shofwan As-Samarkandi adalah orang yang
sesat, pembuat bid’ah, pemimpin aliran sesat Jahmiyah. Ia mati (dibunuh) pada
masa tabi’in kecil (belakangan). Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan dalam
kitabnya, Lisanul Mizan, “Saya tidak mengetahui dia (Jahm) meriwayatkan sesuatu
tetapi dia menanam keburukan yang besar, titik.” Jahm bin Shofwan telah dibunuh
pada tahun 128H .
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan
riwayat dari jalan Muhammad bin Shalih maula (bekas budak) Bani Hasyim, ia
berkata, Salm (bin Ahwaz) berkata ketika menangkap Jahm, “Wahai Jahm,
sesungguhnya aku tidak membunuhmu karena kamu memerangiku (memberontakku). Kamu
bagiku lebih sepele dari itu, tetapi aku telah mendengar kamu berkata dengan
perkataan yang kamu telah memberikan janji kepada Allah agar aku tidak
memilikimu kecuali membunuhmu”. Maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya.
Dan riwayat dari jalan
Mu’tamir bin Sulaiman dari Halad At-Thafawi, bahwa telah sampai khabar kepada
Salm bin Ahwaz sedangkan ia (Salm) di atas
kepolisian Khurasan, (beritanya adalah): Jahm bin Shofwan mengingkari
bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya bicara, maka ia
(Salm bin Ahwaz) membunuhnya (Jahm bin Shofwan)..
Riwayat dari jalan Bakir bin
Ma’ruf, ia berkata, Saya melihat Salm bin Ahwaz ketika memukul leher (membunuh)
Jahm maka menghitamlah wajah Jahm.
Hadits-hadits tentang
suruhan membunuh orang yang menghina Islam, menghalalkan dibunuhnya orang yang
menghina Islam, dan disertai praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi
saw telah jelas. Praktek itu dilakukan pula oleh kalangan tabi’in. Generasi selanjutnya
pun mempraktekkannya, hingga Al-Hallaj, tokoh tasawuf sesat dibunuh di Baghdad
tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama, karena Al-Hallaj mengatakan anal
haqq (aku adalah al-haq/ Allah). Lontaran pendapat Al-Hallaj itu merusak Islam,
maka dihukumi dengan hukum bunuh. Maka walaupun Ulil mengingkari semua itu,
kebenaran hadits Nabi saw, praktek para sahabat, tabi’in dan para ulama
berikutnya telah membuktikannya.
Masalah Menggunakan Dalil
Dalam hal penggunaan dalil,
Ulil yang berfaham pluralis (semua agama sama) itu mengingkari fahamnya
sendiri. Ketika dia pakai dalil “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a
falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau
jadi kafir, dia kafir)”; maka pada dasarnya Ulil sedang melepas faham pluralisme
agamanya. Terminoligi “iman” dan “kafir” itu bukan terminologi faham
pluralisme. Jadi sebelum mencomot dalil, dia sudah terkena diskualifikasi, maka
tidak boleh mencomot dalil itu. Apalagi kemudian untuk menghantam hadits, “siapa
yang keluar dari Islam maka bunuhlah”. Ulil tidak menilai hadits itu dha’if
(lemah), namun dibentrokkan dengan ayat, tanpa melihat ayat-ayat lain,
hadits-hadits lain serta peristiwa yang dialami Nabi saw dan para sahabatnya.
Padahal Abu Bakar justru memerangi orang-orang murtad, terkenal namanya adalah
perang Riddah, dengan mengerahkan 10.000 tentara Islam bahkan panglimanya pun
dipilih yang Pedang Allah, Khalid bin Walid. Apakah Abu Bakar dan 10.000
tentara Islam yang menyerbu orang-orang murtad itu menyelisihi Al-Qur’an? Jelas
tidak.
Yang dilakukan Ulil dalam
mencomot dalil adalah menyembunyikan kebenaran, yaitu menafikan dalil-dalil
lainnya. Seolah dia kampanyekan bahwa Islam mempersilakan orang kafir agar
“lenggang kangkung” (berjalan sesukanya) di muka bumi ini dengan menikmati hak
yang sama dengan orang mukmin. Ulil telah menyembunyikan ayat:
“Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan.” (QS Al-Anfaal: 39).
“Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS An-Nisaa’: 101).
“Hai orang-orang yang
beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 123).
Bagaimana sikap Nabi
Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya terhadap orang-orang kafir digambarkan
dalam Al-Qur’an:
“Muhammad itu adalah utusan
Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS Al-Fat-h: 29).
Nabi Ibrahim pun telah
mencontohi ketegasan sikapnya terhadap orang-orang kafir sebagaimana ditegaskan
dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri
dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)
mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al-Mumtahanah: 4).
Sejarah Tahapan Menyikapi Orang Kafir
Di antara ayat-ayat
Al-Qur’an yang menegaskan suruhan memerangi orang kafir, bersikap keras, dan
membenci mereka telah jelas nashnya (teksnya). Meskipun demikian, orang JIL
seperti Ulil Abshar Abdalla sengaja ingin menyembunyikannya. Di samping
jelasnya ayat-ayat tersebut, para ulama telah menjelaskan pula tentang sejarah
tahapan sikap Nabi Muhammad saw beserta sahabatnya dalam menghadapi orang-orang
kafir. Di antaranya Ibnul Qayyim menjelaskan, yang intinya sebagai berikut:
Pasal: Urutan petunjuk dalam
melawan kuffar dan munafik sejak Nabi saw dibangkitkan sampai meninggal dunia.
Pertama kali yang diwahyukan
Allah kepadanya ialah supaya beliau membaca
“dengan atas nama rabb yang telah menciptakan” (Al-‘Alaq:1).
Itulah awal nubuwwahnya. Dia memerintah supaya beliau membaca dengan nama
diri-Nya dan belum diperintahkan pada saat itu untuk bertabligh (menyampaikan).
Kemudian turun ayat: “Hai
orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan!” (QS Al-Muddattsir:
1-2). Beliau diangkat menjadi Nabi dengan firman-Nya “Iqraa” dan menjadi Rasul
dengan firman-Nya “Ya Ayyuhal Muddatstsir”.
Kemudian perintah memberi
peringatan kepada kaum kerabatnya yang dekat, kemudian kepada kaumnya, lalu
lingkungan sekelilingnya dari bangsa Arab, kemudian kepada Arab Qatibah,
kemudian kepada seluruh alam dunia.
Beliau menjalankan dakwah
setelah pengangkatnnya sebagai Nabi dan Rasul selama kurang lebih sepuluh tahun
tanpa peperangan, dan diperintahkan untuk menahan, sabar, dan memaafkan.
Kemudian baru diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk menyerang,
kemudian diperintahkan berperang melawan orang yang menyerangnya. Kemudian
diperintahkan untuk berperang melawan musyrikiin sehingga dien ini semua milik
Allah. Kaum kafir yang hidup berdampingan dengan beliau setelah turunnya
perintah jihad ini menjadi tiga golongan:
1. Ahlus Sulhi (perdamaian) dan Hudnah
(gencatan senjata).
2. Ahlul Harbi (yang harus diperangi).
3. Ahludz Dzimmah (yang di bawah kekuasaan
pemerintah Islam).
Dan memerintah kepada Ahlus
Sulhi untuk menyempurnakan perjanjiannya. Beliaupun diperintahkan untuk
menepatinya selama mereka istiqamah/konsisten atas perjanjian. Jika ditakutkan
di antara mereka ada yang berkhianat, maka perjanjian ditinggalkan. Dan tidak
memerangi mereka sampai mereka melanggar perjanjian. Dan memang beliau
diperintah untuk memerangi orang yang melanggar perjanjian…
Kesimpulan:
Setelah ditelusuri pernyataa-pernyataan
Ulil Abshar Abdalla dalam wawancara dengan Majalah Panjimas itu, di sini dalam
hal mencomot dalil, Ulil telah melakukan beberapa hal yang prinsip atau
mendasar:
1. Menyembunyikan dalil (Ayat Al-Qur’an ataupun
Hadits) untuk kepentingan membantah dalil.
2. Membentrokkan hadits dengan ayat semaunya untuk
menafikan/ meniadakan keabsahan hadits sebagai landasan.
3. Membentrokkan hadits --yang ia sendiri tidak
mengkritik lemahnya hadits itu (alias mengakui shahihnya?) dengan ucapan orang
yang sudah dikafirkan oleh para ulama, lalu dia lebih memilih ucapan orang
tertuduh kafir itu.
4. Mengambil kesimpulan dari dalil (beristinbath)
dengan tiga cara tersebut, sehingga hasilnya sangat jauh dari dalil itu
sendiri, dan justru dekat dengan ucapan orang kafir.
Itulah cara mencomot dalil
model Ulil Abshar Abdalla tokoh JIL. Akibatnya hanya menabrak kanan kiri dan
merusak pemahaman Islam secara frontal. Dalam bahasa lugasnya adalah sesat lagi
menyesatkan. Bahasa haditsnya, fadholluu wa adholluu, mereka itu sendiri sesat
masih pula menyesatkan orang lain.
Karena maqam
(kedudukan) atau tingkatan Ulil ini lebih tinggi dibanding Ahmad Wahib, sedang
Ahmad Wahib lebih tinggi dibanding Nurcholish Madjid, maka tim 9 penulis Fiqih
Lintas Agama yang ditokohi Nurcholish Madjid itu tampaknya hanya membebek pada
Ulil Abshar Abdalla. Tidak jauh dari empat cara ngawur yang telah ditempuh
Ulil, hanya saja diberi label yaitu “Fiqih Lintas Agama”.
Rujukan: 1. Shahih Al-Bukhari, 2. Shahih Muslim, 3. Fathul
Bari, 4. Majma’Zawaid, 5. Zaadul Ma’ad, 6. Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan.
7. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dan berbagai sumber lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar