Sabtu, 28 April 2012

Bila Orang Liberal Mencomot Dalil


Dr Din Syamsuddin:
Pemikiran Ulil dan JIL Tidak Berstandar Islam

Laporan utama Majalah Panjimas Nomor 07, tanggal 26 Desember 2002, tentang Islam Liberal, memuat pendapat-pendapat Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) hingga mendominasi laporan itu disertai wawancara. Pendukung JIL Masdar F Mas’udi yang diberi porsi cukup luas. Pendapat KH Athi’an Ali Da’I dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) dari Bandung ditampilkan, di samping pendapat KH Mustofa Bisri mertua Ulil yang ditampilkan untuk ditepis Ulil sambil menyinggung-nyinggung nama saya (Hartono Ahmad Jaiz). Dr Din Syamsuddin dari MUI (Majelis Ulama) diwawancarai, secara mendasar mengatakan: “Pada gugusan pemikiran Ulil dan JIL tidak ada pemikiran yang berstandar Islam.” (hal 27).

Berbeda dengan itu,  KH Sahal Mahfudz Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan juga Rais ‘Am NU (Nahdlatul Ulama) tampaknya biasa-biasa saja terhadap Ulil, padahal dulunya Kiai Sahal ini agak kritis terhadap Pak Munawir Sjadzali Menteri Agama (1983-1993) yang melontarkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang menganggap hukum waris Islam tidak adil, dan menganggap bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang sudah tidak relevan lagi. Kenapa terhadap Ulil yang JIL itu KH Sahal Mahfudz tidak mengkritisi? Apakah lantaran KH Sahal Mahfudz  sama-sama se-NU dan sedaerah (Pati Jateng) dengan Ulil? wallahu a’lam. Yang jelas, keduanya adalah pendukung berat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) terutama dalam Muktamar Nu di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, 1994. KH Sahal Mahfudz  pendukung Gus Dur untuk kaum tua, sedang Ulil penggerak GMNU (Gerakan Muda NU) untuk mendukung Gus Dur di kalangan muda, dengan memakai kaos seragam bertulisan di punggung Gus Dur Oke. Di Masa Gus Dur jadi presiden 1999-2001 maka KH Sahal Mahfudz  jadi ketua umum MUI, sedang Ulil jadi kordinator JIL.

Sementara itu Panjimas juga menampilkan cuplikan sikap  NU (Nahdlatul Ulama) Jawa Timur. Tulis Panjimas: “…meski JIL dimotori oleh umumnya anak-anak muda NU yang “maju”, kalangan organisasi mereka tampaknya kurang begitu happy. Sebuah taushiyah (rekomendasi, pen) dari Konferensi PWNU (Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, yang berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Ulum , Trenggaleng Pasuruan, pertengahan Oktober lalu berbunyi (persisnya): “Kepada institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada Warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran “Islam Liberal” dalam masyarakat. Apabila pemikiran “Islam Liberal” tersebut dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istitaabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU).”  (hal 27). Tetapi laporan utama Panjimas itu ditutup dengan  sengaja memberikan keleluasaan kepada awak JIL Hamid Basyaib untuk membela Ulil. Lebih dari itu, tampaknya Panjimas berancang-ancang untuk mengerahkan wadyabala JIL, yang tua untuk turun gunung angkat pena, dan yang muda untuk belajar berlaga melontarkan gagasan liberalnya lewat tulisan.
   
Ada beberapa hal yang terungkap dalam laporan tentang JIL di Panjimas No 07 –2002 itu. Masalah dana JIL dari mana, ternyata dari Asian Foundation dan Ford Foundation serta NGO lainnya. Pendana-pendana itu tampaknya dari pihak yang berseberangan dengan Islam. Itu satu persoalan, menurut QS Al-Baqarah: 120.

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120).

Terungkap pula, gaya JIL itu terlalu percaya diri. Ulil dan kawan-kawannya seolah meletakkan diri sebagai mujtahid mutlak di satu sisi, namun di sisi lain tidak pakai manhaj/ metodologi keilmuan yang jelas. Ini adalah pemandangan ironis sekaligus tragis. Sehingga ungkapan “Belajar dari Ijtihad Umar” yang dilakoni JIL akan mengakibatkan peniruan yang memerosotkan sahabat Nabi saw terkemuka, seolah Umar bin Al-Khatthab hanya sekelas dengan orang JIL keteguhan Islam dan ilmunya, atau hanya kakak kelas. Padahal, syetan saja konon takut berpapasan dengan Umar bin Al-Khatthab, pertanda keteguhan Islamnya, dan dia terhitung mujtahid di barisan sahabat Nabi saw. Meskipun demikian, kalau pendapatnya, seandainya ada yang tak cocok dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak perlu diikuti. Kita harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada Umar. Maka Ibnu Mas’ud diriwayatkan sangat mengecam ketika dia mengatakan firman Allah dan sabda Nabi saw lalu orang menyanggahnya dengan perkataan Abu Bakar dan perkataan Umar. Pelajaran semacam ini perlu dicermati, sebab banyak orang sekarang kadang membantah ayat atau hadis dengan perkataan orang, hatta orang kafir sekalipun. Ini satu keanehan. 

Di samping persoalan itu, masih ada beberapa masalah besar, di antaranya masalah pluralisme agama dan penggunaan dalil semaunya.

Masalah Pluralisme Agama

Ulil Abshar Abdalla menjawab pertanyaan tentang pluralisme agama.

Kutipan:
“Ada hadis yang mengatakan, “Tamsil agama yang saya (Muhammad) bawa seperti sebuah batu bata yang saya letakkan di sudut dari sebuah bangunan yang hampir lengkap”. Artinya Islam ini menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen. Ibnu Arabi mengatakan semua agama itu baik karena datangnya dari Allah.”     

Sanggahan:
Ungkapan Ulil, “Islam ini menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen” itu jelas bertentangan dengan ayat dan hadits. Insya Allah sebentar lagi akan saya kemukakan dalil-dalilnya.

Hadits yang Ulil kemukakan itu lengkapnya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata: Dari Nabi s.a.w, beliau bersabda: “Perumpamaanku dan perumpamaan para Nabi adalah seperti perumpamaan seseorang yang membangun sebuah gedung. Dia (seseorang itu) membinanya dengan baik dan sempurna, tetapi masih ada satu tempat yang belum diletakkan bata. Ramai orang yang masuk ke dalam rumah tersebut dan mereka mengaguminya seraya berkata: ‘Alangkah lebih baik jika kekurangan itu disempurnakan.’ Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Aku diibaratkan sebagai bata tersebut di mana kedatanganku adalah sebagai penutup para Nabi’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Hajar, dalam hadits ini dibuatnya perumpamaan-perumpamaan itu untuk mendekatkan pemahaman dan menjelaskan keutamaan Nabi saw atas seluruh nabi-nabi dan bahwa Allah menutup para utusan dengan beliau dan menyempurnakan syari’at-syari’at agama dengan beliau.

Mengenai keutamaan Nabi Muhammad saw dan kekhususannya di antaranya ada hadits:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Semua Nabi sebelumku hanya diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada manusia yang berkulit merah dan hitam (yaitu seluruh manusia). Dihalalkan untukku harta rampasan perang, sedangkan dulunya tidak pernah dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Disediakan untukku bumi yang subur lagi suci sebagai tempat untuk sujud (yaitu shalat). Maka siapa pun apabila tiba waktu shalat walau dimana saja dia berada hendaklah dia mengerjakan shalat. Aku juga diberi pertolongan secara dapat menakutkan musuh dari jarak perjalanan selama satu bulan. Aku juga diberi hak untuk memberi syafa’at . (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Allah SWT menjelaskan tentang posisi  para nabi dan keutamaan Nabi Muhammad saw di antaranya sebagai berikut:
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".( QS Ali Imran: 81).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:
            Ali bin Abi Thalib dan putera pamannya, Ibnu Abbas, pernah berkata,”Allah tidak mengutus seorang nabi pun melainkan Dia mengambil janji darinya, (Yaitu) jika Allah mengutus Muhammad, sedang ia (seorang nabi selain Nabi Muhammad saw) dalam keadaan hidup, niscaya ia akan beriman kepadanya (Muhammad saw), menolongnya dan memerintahkan kepada nabi itu untuk mengambil janji dari umatnya: Jika Muhammad diutus sedang mereka hidup, niscaya mereka akan beriman kepadanya dan menolongnya.”
           
Thawus, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah mengatakan, ”Allah telah mengambil janji dari para nabi, agar masing-masing mereka  saling membenarkan satu sama lainnya.” Pendapat ini tidak bertentangan  dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ali dan Ibnu Abbas, bahkan menghendaki makna tersebut dan mendukungnya. Oleh karena itu, Abdul Razak meriwayatkan dari Muammar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, pendapat yang sama seperti pendapat Ali dan Ibnu Abbas.

            Imam Ahmad meriwayatkan:
Riwayat dari Abdullah bin Tsabit, ia berkata: “Umar bin Khattab pernah datang kepada Nabi seraya berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memerintahkan kepada seorang saudaraku yang beragama Yahudi dari Bani Quraidzah (untuk menuliskan ringkasan Taurat), maka ia menuliskan untukku ringkasan dari isi Taurat. Berkenankah engkau jika aku perlihatkan hal itu kepadamu?” Abdullah bin Tsabit berkata, maka berubahlah wajah Rasulullah. Kemudian aku katakan kepada Umar: ”Tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar pun berkata, ”Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Rasulku.” Abdullah bin Tsabit melanjutkan, maka hilanglah kemarahan Nabi dan  beliau bersabda:”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah (umat yang menjadi) bagianku dan aku adalah (nabi yang menjadi) bagian kalian.” (HR Ahmad).

Dalam hadits lain, Al-Hafidh Abu Bakar berkata, meriwayatkan hadits dari Jabir yang berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, karena mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kalian, dan sungguh mereka telah sesat. (Kalau kamu menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab) maka sesungguhnya kamu boleh jadi membenarkan kebatilan atau membohongkan kebenaran. Maka sesungguhnya seandainya Musa hidup di antara punggung-punggung kalian  (di kalangan kalian) tidak halal baginya kecuali mengikutiku. (HR Ahmad).

Dengan demikian, Muhammad saw adalah rasul yang menjadi penutup para nabi selama-lamanya sampai hari kiamat kelak. Beliau adalah pemimpin agung, seandainya beliau muncul kapan saja, maka beliau yang wajib ditaati dan didahulukan atas seluruh nabi. Oleh karena itu, beliau menjadi imam mereka pada malam Isra’, yaitu ketika mereka berkumpul di Baitul Maqdis. Beliau juga adalah pemberi syafaat di Mahsyar, agar Allah datang memberi keputusan di antara hamba-hamba-Nya. Syafaat inilah yang disebut maqamal mahmud (kedudukan yang terpuji) yang tidak pantas bagi siapa pun kecuali beliau, yang mana ulul azmi  dari kalangan para nabi dan rasul pun semua menghindar darinya (dari memberikan syafaat), sampai tibalah giliran untuk beliau, maka syafaat ini khusus bagi beliau (Nabi Muhammad saw). Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepadanya.

Ali Al-Haitsami (W 807H) dalam Majma’ Az-Zawaid menulis bab larangan bertanya kepada Ahli Kitab. Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata: Janganlah kamu sekalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, karena mereka tidak akan memberi petunjuk kepada kalian, dan sungguh mereka telah menyesatkan diri mereka sendiri, bisa jadi mereka menceritakan kepada kalian dengan kebenaran lalu kalian membohongkan mereka atau dengan kebatilan lalu kalian membenarkan mereka. (HR At-Thabrani dalam Al-Kabir, dan rijal/ para periwayatnya kuat/ terpercaya).

Riwayat dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Bani Israel telah menulis satu kitab (Talmut, pen) lalu mereka mengikutinya dan mereka meninggalkan Taurat. (HR At-Thabrani dalam Al-Kabir, dan rijalnya kuat).

Dari hadits itu, orang-orang Bani Israel sebenarnya telah menghapus sendiri agama mereka diganti dengan ajaran kitab yang mereka tulis. Maka ungkapan Ulil bahwa Islam ini hanya menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen agama-agama sebelumnya, itu adalah ungkapan yang tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi saw, dan kenyataan yang ada. Lebih tandas lagi adalah hadits Nabi saw sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, dari Rasulillah saw bahwasanya beliau bersabda: “Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seorang dari umat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab wajibnya beriman kepada risalah Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Kitab Shahih Muslim adalah kitab hadits shahih (benar periwayatannya) yang termasuk menjadi pedoman umat Islam. Dalam hadits tersebut Imam Muslim memberinya bab: Wajibnya beriman kepada risalah Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau. Pertanyaan yang ringan tetapi telak bisa dikemukakan, lebih afdhol mempercayai Imam Muslim yang telah diakui oleh dunia Islam ataukah mempercayai celotehan Ulil Abshar Abdalla orang JIL yang dihujat banyak ulama dan umat Islam?
    
Mencampur aduk aneka kerancuan 

Ulil Abshar Abdalla dan orang-orang yang mengusung faham Liberal menyebarkan faham pluralisme agama. Mereka itu tidak lain adalah orang-orang yang mengaduk-aduk Aqidah Islam. Yang mereka pakai justru faham-faham di luar Islam lalu dicampur aduk dengan faham tasawuf sesat yang merusak Islam. Ada kerancuan faham dipertemukan dengan kerancuan faham yang lainnya sehingga terbentuklah kerancuan yang baru yaitu pluralisme agama model JIL. Ini di antaranya adalah kerancuan dari faham pluralisme (menyamakan semua agama) yang dicanangkan oknum Nasrani, John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dan kerancuan faham tokoh sufi/ tasawuf Ibnu Arabi  (560-638H/ 1165-1240M) yang mencanangkan Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama, di samping faham kemusyrikan bikinan Ibnu Arabi yang terkenal dengan sebutan wihdatul wujud, satunya alam dengan Tuhan. Ibnu Arabi juga menyebarkan faham, “Hamba adalah Tuhan” (Fushushul Hikam oleh Ibnu Arabi, 92-93). “Neraka adalah surga itu sendiri.” (Fushushul Hikam, 93-94). Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu’min” (Masra’ at-Tasawuf, 108). Lalu Ulil Abshar Abdalla dan para pengusung faham Liberal membuat reka-rekaan, bahwa kedatangan Nabi Muhammad saw selaku utusan Allah SWT tidak untuk menghapus agama-agama sebelumnya, namun hanya menyempurnakan. Ujung-ujungnya hanyalah menjadi muqollid (pembebek) faham rusak Ibnu Arabi yaitu Wihdatul Adyan, penyatuan semua agama, dianggapnya semua agama adalah baik karena datangnya dari Allah, itulah agama Ulil dan para pengusung faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama.

Padahal, dalam  Al-Qur’an ditegaskan, yang artinya:
“Sebahagian  diberi-Nya  petunjuk dan sebahagian lagi  telah  pasti kesesatan  bagi mereka. Sesungguhnya mereka  menjadikan  syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Al-A'raaf/ 7 :30).

Kita  tanyakan kepada  kaum  pluralis.  Kalau menurut  pandangan  pluralis: Bahwa semua agama itu sama, sejajar, hanya beda teknis; Ini apakah artinya, semua itu tidak ada yang  mendapat  petunjuk? Ataukah tidak ada  yang  sesat? Apakah semuanya  tunduk kepada Allah, ataukah semuanya tunduk kepada syetan?

Jelas-jelas paradigma pluralis itu bertentangan dengan ayat dan  juga  bertentangan dengan do'a kita setiap  shalat:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani).” (Al-Fatihah: 6,7).

Dalil-dalil yang Menyanggah Faham Pluralisme Agama

Ayat-ayat dan hadits-hadits telah jelas menegaskan tidak sama antara orang yang beragama Islam (beriman) dengan orang non Islam (kafir) dan penegasan tentang dihapusnya agama-agama terdahulu oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Berikut ini sebagian dalilnya:

Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (QS As-Sajdah: 18).

Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr/ 44: 20).

Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 108).

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS Al-A’raaf: 158).

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (As-Saba’: 28).

Mungkin golongan pluralis masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan hadits tentang diutusnya Nabi Muhammad untuk seluruh manusia ini bukan berarti menghapus agama-agama terdahulu. Kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya, lihat Hadits riwayat Imam Muslim tersebut di atas tentang dihapusnya agama-agama terdahulu, dan hadits berikut:

Diriwayatkan dari Anas ra, dia menceritakan, ada seorang anak Yahudi yang biasa mengambilkan air wudhu untuk Rasulullah saw dan membawakan sandal beliau. Lalu anak itu sakit, maka Rasulullah saw menjenguknya. Beliau menemuinya, sedangkan ayahnya sedang duduk di samping kepalanya. Kemudian beliau berkata kepadanya:  Wahai Fulan, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Lalu anak itu melihat kepada bapaknya dan bapaknya pun diam. Kemudian beliau mengulanginya kembali, anak itupun kembali melihat bapaknya, maka ayahnya mengatakan: ‘Taatilah Abul Qasim’ (Rasulullah). Maka anak itupun mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan engkau adalah Rasul Allah”. Setelah itu Rasulullah keluar dan beliau berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkannya dari neraka melalui aku.” (HR Ahmad).

Hadits yang setegas itu masih pula ada ketegasan dari Allah SWT tentang hanya agama Islamlah yang diterima oleh Allah SWT, sedang selain Islam tidak akan diterima.

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imraan: 19).

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali ‘Imraan: 85).

Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti  Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menjalankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya  Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah SWT.

Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi saw yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi.

Telah jelas ayat-ayat dan hadits yang menegaskan tentang hanya Islam lah agama yang diterima Allah swt. Orang yang telah mendengar seruan Nabi Muhammad saw lalu mati dalam keadaan tidak masuk Islam, maka menjadi penghuni (tetap) neraka, bukan sekadar masuk neraka.

Dengan ketegasan ayat-ayat dan hadits seperti tersebut, maka tidak bisa diingkari lagi. Orang yang mengingkari ayat-ayat itu hukumnya adalah kufur. Adapun apabila dia semula beragama Islam maka dengan mengingkari ayat itu hukumnya jadi murtad.

Dalam kasus Ulil, ia mengemukakan Hadis Nabi, lalu diulas dengan dicocokkan kepada pendapat Ibnu Arabi yang sudah divonis kafir, mulhid dan murtad oleh para ulama, itu adalah cara-cara yang tidak sesuai dengan ilmu dalam hal istidlal  (mengambil dalil sebagai landasan) dan istinbat  (mengambil kesimpulan). Apalagi kemudian yang diikuti justru pendapat yang telah dinilai sesat oleh para ulama.

Secara pandangan saja, ungkapan Ibnu Arabi “bahwa semua agama itu baik, karena datangnya dari Allah”; itu adalah pendapat serampangan yang amat sangat berbahaya. Setara dengan serampangannya orang yang mengatakan, “orang jadi guru ngaji atau jadi maling sama baiknya, karena semua adalah taqdir dari Allah”. Malah justru lebih buruk pendapat Ibnu Arabi yang menyamakan semua agama itu, karena menyamakan antara orang yang menyembah berhala dengan yang  menyembah Allah SWT.
   
Masalah Menghina Islam dan Hukum Bunuh

Kembali kepada kasus Ulil Abshar Abdalla yang mencomot dalil semaunya.

Kutipan pernyataan Ulil:
“…tuduhan bahwa saya menghina Islam karena perbedaan pandangan dan pemikiran harus dihukum mati itu, saya tidak mengerti. Mana ada ayat atau hadisnya. Yang ada adalah hadis yang mengatakan “man baddala dinahu faqtuluhu”, barangsiapa yang keluar dari Islam maka dibunuh.Hadis inipun saya kritik. Bukan karena dhaif, tetapi bertentangan dengan prinsip Al-Quran yang berpandangan bahwa beragama itu harus sesuai dengan kebebasan kita. Kata Quran, “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia kafir).” 

Sanggahan:
Perintah membunuh penghina Allah dan Rasul-Nya

1069. Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata: “Rasulullah s.a.w bertanya kepada para Sahabatnya: ‘Siapakah yang bersedia untuk membunuh Ka'ab bin Al Asyraf? Karena dia telah menyakiti/menghina Allah dan Rasul-Nya.’ Maka Muhammad bin Maslamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Adakah kamu setuju jika aku membunuhnya?’ Beliau menjawab: ‘Ya!’ Kemudian dia (Muhammad bin Maslamah) berkata: ‘Izinkanlah aku terlebih dahulu untuk memberitahu sesuatu kepadamu.’ Beliau pun menjawab: ‘Katakanlah!’ Maka dia pun mendekati Beliau dan membincangkan sesuatu. Kemudian Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Ka’ab pernah berhasrat mengeluarkan sedekah, akan tetapi dia menyusahkan kami.’ Setelah mendengar kata-kata Beliau dia begitu marah sekali. Lalu dia berjanji akan membalas perbuatannya itu. Kebetulan pada masa itu dia begitu akrab dengan Ka’ab. Satu hari dia menemui Ka’ab dan berkata: ‘Aku ingin kamu memberikan kepadaku suatu bentuk pinjaman.’ Lalu Ka’ab bertanya: ‘Jadi apa yang akan kamu gadaikan kepadaku?’ Dia menjawab: ‘Apa yang kamu inginkan?’ Ka'ab menjawab: ‘Aku ingin kamu gadaikan kepadaku perempuan-perempuanmu itu.’ Kemudian dia menjawab: ‘Kamu adalah bangsawan Arab, jadi adakah patut aku menggadaikan perempuan-perempuanku kepada kamu?’ Lalu Ka'ab berkata kepadanya: ‘Kalau begitu, kamu gadaikanlah anak-anakmu kepadaku.’ Maka dia berkata: ‘Aku tidak mungkin menggadaikannya kepadamu, sekiranya aku menggadaikannya kepadamu kami pula akan dicela karena seolah-olah menggadai dua wasak (satu wasak sama dengan enam puluh gantang) tamar saja. Oleh karena itu aku gadaikan senjataku kepadamu.’ Lalu Ka'ab berkata: ‘Baiklah aku setuju.’ Lalu dia berjanji kepada Ka'ab bahwa dia akan datang menemuinya dengan ditemani oleh al-Haris, Abu Abas bin Jabir dan Abbad bin Bisyri. Setelah itu mereka berempat pergi menemui Ka'ab pada waktu malam, lalu Ka'ab turun menemui mereka. Menurut kata Sufian, pada pendapat lain menurut kata Amru bahwa isteri Ka'ab telah berkata kepada suaminya itu: ‘Sesungguhnya aku seperti mendengar suara orang yang ingin menumpahkan darah.’ Setelah mendengar kata-kata isterinya itu, lalu Ka'ab berkata: ‘Tidak! Mereka hanyalah Muhammad bin Maslamah bersama saudara susuannya dan ditemani Abu Nailah. Sebagai memuliakan tetamu, aku harus menemani mereka walaupun pada waktu malam begini.’ Ketika Ka'ab masih di rumahnya itulah Muhammad (bin Maslamah) menggunakan kesempatan tersebut untuk mengatur rancagan seterusnya. Sesaat kemudian Ka'ab pun keluar, setelah dia ditanya oleh mereka: ‘Aku seperti mencium bau harum pada dirimu.’ Ka'ab menjawab: ‘Memang! Karena isteriku seorang perempuan Arab yang suka bersolek.’ Setelah itu Muhammad bin Maslamah berkata kepada Ka'ab: ‘Izinkan aku mencium bau harum pada dirimu.’ Ka’ab berkata: ‘Silakan!’ Maka diapun menciumnya, kemudian dia meminta untuk menciumnya sekali lagi dengan berkata: ‘Kalau boleh aku ingin menciumnya sekali lagi.’ Lalu dia menghulurkan kepalanya kepadanya, ketika itulah dia mengarahkan kawan-kawannya agar membunuh Ka'ab, maka merekapun membunuhnya.” (Muttafaq ‘alaih).

Orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh.

Dalam kitab Bulughul Maram dan syarahnya, Subulus Salam pada bab Qitalul jani wa qotlul murtad dikemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai, dishahihkan oleh Al-Albani  dalam Shahih Abu Dawud no 3665:
“Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang buta mempunyai ummul walad (budak perempuan yang dipakai tuannya lalu beranak) yang memaki-maki dan mencela Nabi SAW. Ia telah melarang ummul walad tersebut, namun dia tidak mau berhenti. Maka pada suatu malam ia ambil satu pacul yang tajam sebelah, lalu ia taruh di perutnya dan ia duduki, dan dengan itu ia bunuh dia. sampai yang demikian kepada Nabi SAW, maka sabdanya: “Saksikanlah bahwa darahnya itu hadar.”

Darahnya itu hadar, maksudnya darah perempuan yang mencaci Nabi SAW itu sia-sia, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat/tebusan darah. Jadi darahnya halal alias halal dibunuh.

Juga ada hadits:
Diriwayatkan dari As-Sya’bi dari Ali ra bahwa seorang wanita Yahudi telah memaki/menghina Nabi SAW dan mencelanya, maka seorang lelaki  mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah saw membatalkan darahnya. (HR Abu Dawud, menurut Al-Albani dalam Irwaul Ghalil hadits no 1251 ini isnadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim). Itu artinya halal dibunuh.

Dibunuh Karena Pendapatnya Merusak Islam

Orang yang menciptakan dan menyebarkan pendapat yang merusak/ menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh.
 Jahm bin Shofwan  As-Samarkandi adalah orang yang sesat, pembuat bid’ah, pemimpin aliran sesat Jahmiyah. Ia mati (dibunuh) pada masa tabi’in kecil (belakangan). Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan dalam kitabnya, Lisanul Mizan, “Saya tidak mengetahui dia (Jahm) meriwayatkan sesuatu tetapi dia menanam keburukan yang besar, titik.” Jahm bin Shofwan telah dibunuh pada tahun 128H . 
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari jalan Muhammad bin Shalih maula (bekas budak) Bani Hasyim, ia berkata, Salm (bin Ahwaz) berkata ketika menangkap Jahm, “Wahai Jahm, sesungguhnya aku tidak membunuhmu karena kamu memerangiku (memberontakku). Kamu bagiku lebih sepele dari itu, tetapi aku telah mendengar kamu berkata dengan perkataan yang kamu telah memberikan janji kepada Allah agar aku tidak memilikimu kecuali membunuhmu”. Maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya.
Dan riwayat dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Halad At-Thafawi, bahwa telah sampai khabar kepada Salm bin Ahwaz sedangkan ia (Salm) di atas  kepolisian Khurasan, (beritanya adalah): Jahm bin Shofwan mengingkari bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya bicara, maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya (Jahm bin Shofwan).. 
Riwayat dari jalan Bakir bin Ma’ruf, ia berkata, Saya melihat Salm bin Ahwaz ketika memukul leher (membunuh) Jahm maka menghitamlah wajah Jahm.  
Hadits-hadits tentang suruhan membunuh orang yang menghina Islam, menghalalkan dibunuhnya orang yang menghina Islam, dan disertai praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw telah jelas. Praktek itu dilakukan pula oleh kalangan tabi’in. Generasi selanjutnya pun mempraktekkannya, hingga Al-Hallaj, tokoh tasawuf sesat dibunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama, karena Al-Hallaj mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq/ Allah). Lontaran pendapat Al-Hallaj itu merusak Islam, maka dihukumi dengan hukum bunuh. Maka walaupun Ulil mengingkari semua itu, kebenaran hadits Nabi saw, praktek para sahabat, tabi’in dan para ulama berikutnya telah membuktikannya.

Masalah Menggunakan Dalil

Dalam hal penggunaan dalil, Ulil yang berfaham pluralis (semua agama sama) itu mengingkari fahamnya sendiri. Ketika dia pakai dalil “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia kafir)”; maka pada dasarnya Ulil sedang melepas faham pluralisme agamanya. Terminoligi “iman” dan “kafir” itu bukan terminologi faham pluralisme. Jadi sebelum mencomot dalil, dia sudah terkena diskualifikasi, maka tidak boleh mencomot dalil itu. Apalagi kemudian untuk menghantam hadits, “siapa yang keluar dari Islam maka bunuhlah”. Ulil tidak menilai hadits itu dha’if (lemah), namun dibentrokkan dengan ayat, tanpa melihat ayat-ayat lain, hadits-hadits lain serta peristiwa yang dialami Nabi saw dan para sahabatnya. Padahal Abu Bakar justru memerangi orang-orang murtad, terkenal namanya adalah perang Riddah, dengan mengerahkan 10.000 tentara Islam bahkan panglimanya pun dipilih yang Pedang Allah, Khalid bin Walid. Apakah Abu Bakar dan 10.000 tentara Islam yang menyerbu orang-orang murtad itu menyelisihi Al-Qur’an? Jelas tidak.

Yang dilakukan Ulil dalam mencomot dalil adalah menyembunyikan kebenaran, yaitu menafikan dalil-dalil lainnya. Seolah dia kampanyekan bahwa Islam mempersilakan orang kafir agar “lenggang kangkung” (berjalan sesukanya) di muka bumi ini dengan menikmati hak yang sama dengan orang mukmin. Ulil telah menyembunyikan ayat:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Anfaal: 39).

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS An-Nisaa’: 101).

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 123).

Bagaimana sikap Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya terhadap orang-orang kafir digambarkan dalam Al-Qur’an:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Fat-h: 29).

Nabi Ibrahim pun telah mencontohi ketegasan sikapnya terhadap orang-orang kafir sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al-Mumtahanah: 4).

Sejarah Tahapan Menyikapi Orang Kafir

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan suruhan memerangi orang kafir, bersikap keras, dan membenci mereka telah jelas nashnya (teksnya). Meskipun demikian, orang JIL seperti Ulil Abshar Abdalla sengaja ingin menyembunyikannya. Di samping jelasnya ayat-ayat tersebut, para ulama telah menjelaskan pula tentang sejarah tahapan sikap Nabi Muhammad saw beserta sahabatnya dalam menghadapi orang-orang kafir. Di antaranya Ibnul Qayyim menjelaskan, yang intinya sebagai berikut:

Pasal: Urutan petunjuk dalam melawan kuffar dan munafik sejak Nabi saw dibangkitkan sampai meninggal dunia.

Pertama kali yang diwahyukan Allah kepadanya ialah supaya beliau membaca  “dengan atas nama rabb yang telah menciptakan” (Al-‘Alaq:1). Itulah awal nubuwwahnya. Dia memerintah supaya beliau membaca dengan nama diri-Nya dan belum diperintahkan pada saat itu untuk bertabligh (menyampaikan).

Kemudian turun ayat: “Hai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan!” (QS Al-Muddattsir: 1-2). Beliau diangkat menjadi Nabi dengan firman-Nya “Iqraa” dan menjadi Rasul dengan firman-Nya “Ya Ayyuhal Muddatstsir”.  Kemudian perintah memberi peringatan kepada kaum kerabatnya yang dekat, kemudian kepada kaumnya, lalu lingkungan sekelilingnya dari bangsa Arab, kemudian kepada Arab Qatibah, kemudian kepada seluruh alam dunia.

Beliau menjalankan dakwah setelah pengangkatnnya sebagai Nabi dan Rasul selama kurang lebih sepuluh tahun tanpa peperangan, dan diperintahkan untuk menahan, sabar, dan memaafkan. Kemudian baru diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk menyerang, kemudian diperintahkan berperang melawan orang yang menyerangnya. Kemudian diperintahkan untuk berperang melawan musyrikiin sehingga dien ini semua milik Allah. Kaum kafir yang hidup berdampingan dengan beliau setelah turunnya perintah jihad ini menjadi tiga golongan:

1. Ahlus Sulhi (perdamaian) dan Hudnah (gencatan senjata).
2. Ahlul Harbi (yang harus diperangi).
3. Ahludz Dzimmah (yang di bawah kekuasaan pemerintah Islam).

Dan memerintah kepada Ahlus Sulhi untuk menyempurnakan perjanjiannya. Beliaupun diperintahkan untuk menepatinya selama mereka istiqamah/konsisten atas perjanjian. Jika ditakutkan di antara mereka ada yang berkhianat, maka perjanjian ditinggalkan. Dan tidak memerangi mereka sampai mereka melanggar perjanjian. Dan memang beliau diperintah untuk memerangi orang yang melanggar perjanjian…  

Kesimpulan:

Setelah ditelusuri pernyataa-pernyataan Ulil Abshar Abdalla dalam wawancara dengan Majalah Panjimas itu, di sini dalam hal mencomot dalil, Ulil telah melakukan beberapa hal yang prinsip atau mendasar:

1. Menyembunyikan dalil (Ayat Al-Qur’an ataupun Hadits) untuk kepentingan membantah dalil.
2. Membentrokkan hadits dengan ayat semaunya untuk menafikan/ meniadakan keabsahan hadits sebagai landasan.
3. Membentrokkan hadits --yang ia sendiri tidak mengkritik lemahnya hadits itu (alias mengakui shahihnya?) dengan ucapan orang yang sudah dikafirkan oleh para ulama, lalu dia lebih memilih ucapan orang tertuduh kafir itu.
4. Mengambil kesimpulan dari dalil (beristinbath) dengan tiga cara tersebut, sehingga hasilnya sangat jauh dari dalil itu sendiri, dan justru dekat dengan ucapan orang kafir.

Itulah cara mencomot dalil model Ulil Abshar Abdalla tokoh JIL. Akibatnya hanya menabrak kanan kiri dan merusak pemahaman Islam secara frontal. Dalam bahasa lugasnya adalah sesat lagi menyesatkan. Bahasa haditsnya, fadholluu wa adholluu, mereka itu sendiri sesat masih pula menyesatkan orang lain.

Karena maqam (kedudukan) atau tingkatan Ulil ini lebih tinggi dibanding Ahmad Wahib, sedang Ahmad Wahib lebih tinggi dibanding Nurcholish Madjid, maka tim 9 penulis Fiqih Lintas Agama yang ditokohi Nurcholish Madjid itu tampaknya hanya membebek pada Ulil Abshar Abdalla. Tidak jauh dari empat cara ngawur yang telah ditempuh Ulil, hanya saja diberi label yaitu “Fiqih Lintas Agama”.

Rujukan: 1. Shahih Al-Bukhari, 2. Shahih Muslim, 3. Fathul Bari, 4. Majma’Zawaid, 5. Zaadul Ma’ad, 6. Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan. 7. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dan berbagai sumber lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar