Kutipan/ ringkasan:
Fiqih yang inklusif dan
pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula.
Dalam upaya membangun fiqih pluralis tersebut, dalam bagian
ini kita mencoba mengembangkan pijakan teologi pluralis dengan mempertimbangkan
keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan. (Fiqih Lintah
Agama/ FLA, hal 18).
Sub judul:
Nabi sebagai Petunjuk Jalan Menuju Kebenaran (FLA,
hal 18). Dalilnya QS 16:36; QS 35:24, Hadits riwayat Ahmad tentang jumlah nabi
124.000, sedang rasul di antara mereka 315 orang.
Lalu dikemukakan sifat-sifat para rasul, manusia biasa yang
mendapat wahyu dari Tuhan tentang jalan hidup yang benar (QS 12:109; 16:43).
Mereka manusia wajar sebagaimana manusia biasa, berumah tangga dan berketurunan
(QS 13:38). Mereka menyantap makanan, ke pasar untuk berdagang (QS 25:20). Ada
yang dituturkan di Al-Qur’an dan ada yang tidak (QS 4:164; 40:78). (FLA, hal
19).
Para rasul diutus dengan bahasa kaumnya masing-masing (QS
14:4), namun semuanya dengan tujuan sama, yaitu mengajak umat manusia untuk
menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
kewajiban menghambakan diri (beribadat, berbakti) hanya kepada-Nya (QS 21:25).
Juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan
zalim (QS 16:36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul,
tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam)
kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20).
Tanggapan:
Orang-orang Paramadina ini mau membangun teologi pluralis
yang mereka sebut “dengan
mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan
Tuhan”. (FLA, hal 18). Dalam membangun teologi pluralis itu Nurcholish Madjid
cs (NM cs) menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun karena teologinya memang
berbeda antara Paramadina dan Al-Qur’an, sehingga apa yang dibangun Paramadina
yakni teologi pluralis dengan mencomot-comot ayat-ayat Al-Qur’an itu
diruntuhkan sendiri oleh pernyataan sendiri yang disimpulkan dari ayat yang
mereka comot yaitu:
Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul,
tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam)
kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20).
Runtuhlah teologi pluralis yang mereka bangun itu oleh
pernyataan mereka sendiri: “Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan
rasul.” Karena konsekuensinya, dengan datangnya Rasul terakhir, Muhammad saw
yang membawa risalah Islamiyah dengan wahyu dari Allah berupa kitab suci
Al-Qur’an, maka yang mampu melaksanakan keimanan seperti yang dikemukakan dalam
kalimat terakhir itu hanyalah orang-orang yang mengikuti agama Muhammad
Rasulullah saw, yaitu orang Muslim. Hanya orang Muslim yakni pengikut agama
Muhammad saw lah yang keimanannya mencakup beriman kepada Rasulullah Muhammad
saw dan beriman pula kepada seluruh rasul-rasul yang diutus Allah swt, dan
beriman kepada kitab suci dari Allah, yakni Al-Qur’an dan seluruh kitab-kitab-Nya. Untuk bisa beriman seperti ini tidak ada
jalan lain kecuali masuk Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Barangsiapa yang tidak beriman kepada Muhammad saw sebagai Rasul, dan tidak
beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad saw
untuk seluruh manusia, maka namanya kafir. Pengikut Nabi Musa as yakni
orang-orang Yahudi, dan pengikut Nabi Isa as yaitu Nasrani (kedua-duanya itu
disebut Ahli Kitab) yang tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad saw dan tak
beriman kepada Al-Qur’an, maka mereka kafir. Resiko mengimani Nabi Muhammad saw
dan kitab suci Al-Qur’an itu adalah mesti menjadi seorang Muslim, pemeluk agama
Nabi Muhammad saw. Tanpa itu maka kafir namanya. Kalau mereka itu Yahudi atau
Nasrani maka disebut kafir kitabi karena mereka adalah Ahli Kitab. Sedang
orang-orang yang tidak memiliki kitab suci dari Allah dan tak mau beriman
kepada Muhammad Rasulullah, dan Al-Qur’an kitab Allah; maka mereka kafir,
sedang jenisnya adalah bukan Ahli Kitab, yakni jenis musyrik. Kenapa disebut
dari jenis musyrik, karena mereka beragama dengan syari’at yang datangnya dari
selain Allah. Itulah yang namanya penyembahan dengan memakai syari’at yang
datangnya dari tandingan Allah, makanya disebut musyrik (orang yang
menyekutukan Allah dengan selain-Nya). Yang menciptakan syari’at ataupun system
penyembahan bukan dari Allah itulah thaghut. Sehingga orang beriman wajib
berlepas diri dari ketundukan pada system/ syari’at thaghut, karena syari’at
thaghut itu adalah tandingan syari’at Allah. Hingga orang yang mengikuti,
tunduk atau memakai syari’at thaghut itu disebut musyrik, karena tunduk pada
tandingan Allah, bukan hanya kepada Allah swt. Walaupun dalam rangka tunduk
kepada Allah, namun kalau yang dipakai adalah syari’at thaghut maka hukumnya
musyrik juga. Allah swt berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak
ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat
pedih. (QS As-Syuura: 21).
Mereka yang tak mau mengimani Muhammad saw sebagai
Rasulullah dan Al-Qur’an sebagai kitab suci dari Allah (baik yang ingkar ini
memiliki kitab suci yaitu Ahli Kitab –hingga disebut kafir kitabi/ kafir dari
jenis orang-orang Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani, maupun yang tak memiliki kitab
suci dan hanya mengikuti system thaghut hingga disebut kafir dari jenis
orang-orang musyrik) ditegaskan dalam Al-Qur’an akan masuk ke neraka Jahannam
kekal selama-lamanya di dalamnya dan status mereka adalah seburuk-buruk
makhluk.
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan
orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).
Orang Ahli Kitab sudah diberi tahu dalam Kitab Taurat dan
Injil bahwa akan datang utusan Allah
namanya Ahmad. Bahkan mereka mengenal bagai mengenal anaknya. Namun kemudian
mereka mengingkari, dan kedatangan Al-Qur’an yang menjelaskan kepada mereka
tentang kebenaran justru menambah durhaka dan kekafiran bagi kebanyakan mereka.
Itulah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut:
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai
Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
(yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang
nyata". (QS As-Shaff: 6).
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath: 29).
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al
Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui. (QS Al-baqarah: 146).
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang
beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al
Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan
kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68).
Telah runtuhlah teologi pluralis yang dibangun oleh
Nurcholish Madjid cs. Bagai “kuda patah pinggang”. Sudah tidak bisa dijadikan
kendaraan untuk menuju ke tempat tujuan lagi. Jadi teologi pluralis Nurcholish
Madjid cs ini terbukti ibarat “kuda patah pinggang”. Lebih baik pulang kembali
ke aqidah Tauhid yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj/
metodologi pemahaman yang telah ditempuh oleh para sahabat Nabi saw diikuti
para tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para ulama yang bermanhaj salafus
sholih. Aman. Daripada menunggang teologi pluralis yang sudah patah pinggang,
sengsaranya sudah terbayang, sedang tujuan yang akan dicapai tak kesampaian.
Merangkul Teman dari Agama Lain, Membuat Musuh di Agama Sendiri
Komentar sesama rekan penulis buku Fiqih Lintas Agama itu
sendiri dalam hal ini pantas disimak laporan Majalah Gatra:
Sesama
penulis juga mengkritik penulis lain. Zainun Kamal mempertanyakan bagian
pertama yang hanya mengupas ayat-ayat pendukung pluralisme agama, tapi tidak
membahas ayat lain yang cenderung keras pada agama lain. "Jangan sampai
buku ini hanya merangkul teman dari agama lain, tapi membuat musuh di agama
sendiri," kata Zainun. (Majalah Gatra)
Meskipun ungkapan Zainun
Kamal itu sendiri masih mengakui adanya ayat-ayat pendukung pluralisme agama
padahal sebenarnya seperti dibuktikan di atas, teologi pluralis itu sudah
terbantah sendiri dengan pengutipan-pengutipan ayat-ayat yang mereka sendiri
kemukakan; namun kritik Zainun Kamal itu menunjukkan betapa sebenarnya di tubuh
para penulis itu sendiri ada rasa kekhawatiran dan keraguan. Jadi mereka
sendiri ketika membuat keraguan untuk orang lain (kaum Muslimin) ternyata
menimpa diri mereka sendiri. Kalau sudah begitu, tingkah NM cs yang
dikhawatirkan “membuat musuh di agama sendiri” itu akan ada kemungkinan reaksi
yang tinggal mengutip ayat yang mirip dengan nasib tragis itu, misalnya ayat
tentang apa yang menimpa kaum munafik yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,
pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS
Al-Baqoroh: 9).
Bahkan nasib orang-orang Paramadina itu kemungkinan bisa
lebih tragis apabila sampai orang-orang non Muslim yang dirangkul justru curiga
karena ternyata walaupun tampaknya mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap
mendukung teologi pluralis namun pada ujungnya juga tidak, (sebagaimana telah
terbukti); sedang di balik itu terhadap umat Islam, konsekuensi dari ini semua
sudah tergambar yakni “membuat musuh di agama sendiri (di kalangan Muslimin)”.
Sebenarnya ada pelajaran yang berharga dari Al-Qur’an.
Siapapun yang mengikuti pelajaran berharga itu insya Allah selamat. Di
antaranya ada peringatan Allah swt tentang nasib tragis, sedang umat Islam
mesti menghindari, karena merupakan daya upaya yang mengenaskan, yang dilakukan
oleh orang-orang kafir. Allah swt berfirman:
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (QS Al-Kahfi: 103).
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.(QS Al-Kahfi: 104).
Kutipan/Ringkasan:
Inti agama (Arab: din) dari seluruh rasul adalah
sama (QS42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah tunggal (QS
21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh
Nabi saw sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu,
namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari,
Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan
akherat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka
adalah satu.” (FLA, 20).
Lalu dikemukakan, Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah,
yakni jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda. Ulasan ini dilandasi
QS 5:48. Kemudian dikemukakan,
upacara-upacara keagamaan atau mansak setiap agama, dilandasi QS 22:34
dan 68. Dan setiap umat punya wijhah
(titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep
tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka’bahnya untuk kaum
Muslim. (FLA, 20).
“Penjelasan tersebut
menegaskan prinsip-prinsip hubungan antaragama yang dapat diturunkan
dari al-Qur’an, yang menegaskan adanya pluralitas agama. Bahkan al-Qur’an (2:
148 dan 4:48) menegaskan pluralitas itu dalam “berlomba-lomba dalam berbuat
kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.” (FLA, 21).
Lalu dikutip terjemah ayat QS 2: 148 dan QS 4:48. kemudian
diberi komentar:
“Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam al-Qur’an, yang
oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat
unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama
lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive itu, al-Qur’an memerintahkan
kepada Nabi Muhammad saw (dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia), Mereka,
para nabi itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan
bimbingan mereka itulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai
Muhammad, ‘Aku tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu
adalah semata-mata peringatan bagi seluruh alam.” (QS 6:90).
Tanggapan:
Tidak masuk Islam setelah mendengar seruan Nabi Muhammad
saw adalah kafir.
Sebagaimana tabiat dari Al-Qur’an itu memang menegakkan
Tauhid dan mengutus Nabi Muhammad saw itu untuk seluruh alam, semua manusia dan
jin, maka ketika NM cs mengutip-kutip ayat Al-Qur’an dan memaksudkan untuk
menegakkan teologi pluralis yang sejatinya bertentangan dengan Al-Qur’an, tentu
ayat yang dikutip itu sendiri membantah pemahaman NM cs. Ayat yang dikutip NM
cs dalam kutipan terakhir itu adalah:
Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah:
"Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al
Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat. (QS Al-An’aam/ 6:
90).
Imam As-Syaukani menjelaskan, “Al
Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat” artinya
sebagai nasehat dan peringatan bagi seluruh makhluq yang ada ketika turunnya
Al-Qur’an itu dan bagi siapa saja yang akan ada setelahnya.[1]
Kemudian ayat itu diteruskan
dengan ayat 91 Surat Al-An’am:
Dan mereka tidak menghormati
Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata: "Allah
tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah
yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan
petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang
bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian
besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu
tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang
menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada
mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (Qs Al-An’aam: 91).
Tafsir Al-Baidhowi menjelaskan,
perkataan mereka, "Allah tidak
menurunkan sesuatupun kepada manusia", itu adalah perkataan orang-orang
Yahudi dalam keadaan mengingkari Al-Qur’an yang diturunkan Allah.[2]
Kalau pemahamannya model NM cs,
maka apa perlunya Allah membantah orang Yahudi, dan agar Nabi Muhammad saw
menyampaikan bantahan itu kepada mereka seperti dalam ayat 91 Surat Al-An’aam
itu? Setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan bantahan lewat ayat Al-Qur’an
kepada orang-orang Yahudi, masih Allah pesankan: “Kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam
kesesatannya.”
Disampaikannya Al-Qur’an itupun
bukan sekadar untuk membantah, namun agar diimani. Sehingga tidak cukup hanya
mengimani Taurat dan Injil. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat
Al-Maaidah: 68.
“Katakanlah: "Hai Ahli
Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka;
maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.”
(TQS Al-Maaidah: 68).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan
lafal hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, maksudnya
hingga kalian beriman kepada seluruh kitab-kitab yang berada di tangan kalian
yang diturunkan dari sisi Allah Ta’ala kepada para nabi, serta mengamalkan
kandungannya. Di antara kandungannya tersebut adalah beriman kepada Nabi
Muhammad saw, perintah untuk mengikutinya, beriman kepada kenabiannya, dan
menaati ketentuan syari’atnya. Oleh karena itu Laits bin Abu Sulaim mengatakan
dari Mujahid mengenai firman-Nya, (apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian) yaitu Al-Qur’anul ‘Azhim.
Imam Ibnu Katsir pada bagian
lanjutnya mengaitkan ayat itu dengan ayat:
Kemudian jika mereka mendebat
kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku
kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang
yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20).
Apakah (orang-orang kafir itu
sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur'an) dari
Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum
Al Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu
beriman kepada Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang
Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah
tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap
Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi
kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17).
Sebagaimana ditegaskan dalam
hadits Nabi saw:
Riwayat dari Abi Hurairah
dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad
ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia Yahudi ataupun
Nasrani yang mendengarku kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku
diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim). [3]
Imam An-Nawawi
menjelaskan:
Adapun hadits itu maka di
dalamnya adalah nasakh (penghapusan/ pembatalan/ penggantian) agama-agama
semuanya dengan risalah nabi kita saw. Dan di dalam pengertiannya adalah
petunjuk bahwasanya orang yang belum sampai padanya da’wah Islam, maka dia
ma’dzur (diberi udzur/ tidak dituntut). Ini berjalan di atas apa yang datang
dalam prinsip-prinsip bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’ menurut yang
shahih, wallahu a’lam. Dan sabda Nabi saw: “Tidaklah seorang pun dari
umat ini yang mendengarku” itu artinya dari orang yang dia ada di zamanku
dan sesudahku sampai hari qiyamat maka masing-masing mereka wajib masuk dalam
ketaatan pada Nabi Muhammad saw. Beliau menyebutkan Yahudi dan Nasrani itu
hanyalah sebagai perhatian atas orang selain keduanya. Hal itu karena Yahudi
dan Nasrani memiliki kitab (suci). Kalau keadaan mereka ini saja jadi (wajib taat kepada Nabi Muhhammad saw)
padahal mereka memiliki kitab suci maka apalagi selain mereka yaitu orang-orang
yang tidak punya kitab suci. Wallahu a’lam.[4]
Dari penjelasan ayat-ayat
dan hadits Nabi saw tersebut maka teologi pluralis jelas bertentangan dengan
Al-Qur’an dan hadits Nabi saw, bahkan merupakan propaganda kepada kekafiran,
namun berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam prakteknya, teologi pluralis itu
diberi panduan praktis berupa buku Fiqih Lintas Agama. Karena teologi
pluralisnya itu sendiri sudah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
fiqih pluralisnya tentu saja berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sehingga pada dasarnya adalah menyerang Islam memakai baju ilmu Islam.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar