Minggu, 29 April 2012

Teologi Pluralis Propaganda Kekafiran Berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah


Kutipan/ ringkasan:

Fiqih yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula.

Dalam upaya membangun fiqih pluralis tersebut, dalam bagian ini kita mencoba mengembangkan pijakan teologi pluralis dengan mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan. (Fiqih Lintah Agama/ FLA, hal 18).

Sub judul:

Nabi sebagai Petunjuk Jalan Menuju Kebenaran (FLA, hal 18). Dalilnya QS 16:36; QS 35:24, Hadits riwayat Ahmad tentang jumlah nabi 124.000, sedang rasul di antara mereka 315 orang.

Lalu dikemukakan sifat-sifat para rasul, manusia biasa yang mendapat wahyu dari Tuhan tentang jalan hidup yang benar (QS 12:109; 16:43). Mereka manusia wajar sebagaimana manusia biasa, berumah tangga dan berketurunan (QS 13:38). Mereka menyantap makanan, ke pasar untuk berdagang (QS 25:20). Ada yang dituturkan di Al-Qur’an dan ada yang tidak (QS 4:164; 40:78). (FLA, hal 19).

Para rasul diutus dengan bahasa kaumnya masing-masing (QS 14:4), namun semuanya dengan tujuan sama, yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban menghambakan diri (beribadat, berbakti) hanya kepada-Nya (QS 21:25). Juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan zalim (QS 16:36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam) kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20).

Tanggapan:

Orang-orang Paramadina ini mau membangun teologi pluralis yang mereka sebut “dengan  mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan”. (FLA, hal 18). Dalam membangun teologi pluralis itu Nurcholish Madjid cs (NM cs) menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun karena teologinya memang berbeda antara Paramadina dan Al-Qur’an, sehingga apa yang dibangun Paramadina yakni teologi pluralis dengan mencomot-comot ayat-ayat Al-Qur’an itu diruntuhkan sendiri oleh pernyataan sendiri yang disimpulkan dari ayat yang mereka comot yaitu:

Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam) kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20).

Runtuhlah teologi pluralis yang mereka bangun itu oleh pernyataan mereka sendiri: “Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul.” Karena konsekuensinya, dengan datangnya Rasul terakhir, Muhammad saw yang membawa risalah Islamiyah dengan wahyu dari Allah berupa kitab suci Al-Qur’an, maka yang mampu melaksanakan keimanan seperti yang dikemukakan dalam kalimat terakhir itu hanyalah orang-orang yang mengikuti agama Muhammad Rasulullah saw, yaitu orang Muslim. Hanya orang Muslim yakni pengikut agama Muhammad saw lah yang keimanannya mencakup beriman kepada Rasulullah Muhammad saw dan beriman pula kepada seluruh rasul-rasul yang diutus Allah swt, dan beriman kepada kitab suci dari Allah, yakni Al-Qur’an  dan seluruh kitab-kitab-Nya.  Untuk bisa beriman seperti ini tidak ada jalan lain kecuali masuk Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Muhammad saw sebagai Rasul, dan tidak beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk seluruh manusia, maka namanya kafir. Pengikut Nabi Musa as yakni orang-orang Yahudi, dan pengikut Nabi Isa as yaitu Nasrani (kedua-duanya itu disebut Ahli Kitab) yang tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad saw dan tak beriman kepada Al-Qur’an, maka mereka kafir. Resiko mengimani Nabi Muhammad saw dan kitab suci Al-Qur’an itu adalah mesti menjadi seorang Muslim, pemeluk agama Nabi Muhammad saw. Tanpa itu maka kafir namanya. Kalau mereka itu Yahudi atau Nasrani maka disebut kafir kitabi karena mereka adalah Ahli Kitab. Sedang orang-orang yang tidak memiliki kitab suci dari Allah dan tak mau beriman kepada Muhammad Rasulullah, dan Al-Qur’an kitab Allah; maka mereka kafir, sedang jenisnya adalah bukan Ahli Kitab, yakni jenis musyrik. Kenapa disebut dari jenis musyrik, karena mereka beragama dengan syari’at yang datangnya dari selain Allah. Itulah yang namanya penyembahan dengan memakai syari’at yang datangnya dari tandingan Allah, makanya disebut musyrik (orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya). Yang menciptakan syari’at ataupun system penyembahan bukan dari Allah itulah thaghut. Sehingga orang beriman wajib berlepas diri dari ketundukan pada system/ syari’at thaghut, karena syari’at thaghut itu adalah tandingan syari’at Allah. Hingga orang yang mengikuti, tunduk atau memakai syari’at thaghut itu disebut musyrik, karena tunduk pada tandingan Allah, bukan hanya kepada Allah swt. Walaupun dalam rangka tunduk kepada Allah, namun kalau yang dipakai adalah syari’at thaghut maka hukumnya musyrik juga. Allah swt berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS As-Syuura: 21).

Mereka yang tak mau mengimani Muhammad saw sebagai Rasulullah dan Al-Qur’an sebagai kitab suci dari Allah (baik yang ingkar ini memiliki kitab suci yaitu Ahli Kitab –hingga disebut kafir kitabi/ kafir dari jenis orang-orang Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani, maupun yang tak memiliki kitab suci dan hanya mengikuti system thaghut hingga disebut kafir dari jenis orang-orang musyrik) ditegaskan dalam Al-Qur’an akan masuk ke neraka Jahannam kekal selama-lamanya di dalamnya dan status mereka adalah seburuk-buruk makhluk.

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).

Orang Ahli Kitab sudah diberi tahu dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa akan datang  utusan Allah namanya Ahmad. Bahkan mereka mengenal bagai mengenal anaknya. Namun kemudian mereka mengingkari, dan kedatangan Al-Qur’an yang menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran justru menambah durhaka dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Itulah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut:

Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS As-Shaff: 6).

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath: 29).

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS Al-baqarah: 146).

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68).

Telah runtuhlah teologi pluralis yang dibangun oleh Nurcholish Madjid cs. Bagai “kuda patah pinggang”. Sudah tidak bisa dijadikan kendaraan untuk menuju ke tempat tujuan lagi. Jadi teologi pluralis Nurcholish Madjid cs ini terbukti ibarat “kuda patah pinggang”. Lebih baik pulang kembali ke aqidah Tauhid yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj/ metodologi pemahaman yang telah ditempuh oleh para sahabat Nabi saw diikuti para tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para ulama yang bermanhaj salafus sholih. Aman. Daripada menunggang teologi pluralis yang sudah patah pinggang, sengsaranya sudah terbayang, sedang tujuan yang akan dicapai tak kesampaian.

Merangkul Teman dari Agama Lain, Membuat Musuh di Agama Sendiri


Komentar sesama rekan penulis buku Fiqih Lintas Agama itu sendiri dalam hal ini pantas disimak laporan Majalah Gatra:

Sesama penulis juga mengkritik penulis lain. Zainun Kamal mempertanyakan bagian pertama yang hanya mengupas ayat-ayat pendukung pluralisme agama, tapi tidak membahas ayat lain yang cenderung keras pada agama lain. "Jangan sampai buku ini hanya merangkul teman dari agama lain, tapi membuat musuh di agama sendiri," kata Zainun. (Majalah Gatra)

Meskipun ungkapan Zainun Kamal itu sendiri masih mengakui adanya ayat-ayat pendukung pluralisme agama padahal sebenarnya seperti dibuktikan di atas, teologi pluralis itu sudah terbantah sendiri dengan pengutipan-pengutipan ayat-ayat yang mereka sendiri kemukakan; namun kritik Zainun Kamal itu menunjukkan betapa sebenarnya di tubuh para penulis itu sendiri ada rasa kekhawatiran dan keraguan. Jadi mereka sendiri ketika membuat keraguan untuk orang lain (kaum Muslimin) ternyata menimpa diri mereka sendiri. Kalau sudah begitu, tingkah NM cs yang dikhawatirkan “membuat musuh di agama sendiri” itu akan ada kemungkinan reaksi yang tinggal mengutip ayat yang mirip dengan nasib tragis itu, misalnya ayat tentang apa yang menimpa kaum munafik yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an:

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqoroh: 9).

Bahkan nasib orang-orang Paramadina itu kemungkinan bisa lebih tragis apabila sampai orang-orang non Muslim yang dirangkul justru curiga karena ternyata walaupun tampaknya mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap mendukung teologi pluralis namun pada ujungnya juga tidak, (sebagaimana telah terbukti); sedang di balik itu terhadap umat Islam, konsekuensi dari ini semua sudah tergambar yakni “membuat musuh di agama sendiri (di kalangan Muslimin)”.

Sebenarnya ada pelajaran yang berharga dari Al-Qur’an. Siapapun yang mengikuti pelajaran berharga itu insya Allah selamat. Di antaranya ada peringatan Allah swt tentang nasib tragis, sedang umat Islam mesti menghindari, karena merupakan daya upaya yang mengenaskan, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Allah swt berfirman:

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (QS Al-Kahfi: 103).

Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(QS Al-Kahfi: 104).

Kutipan/Ringkasan:

Inti agama (Arab: din) dari seluruh rasul adalah sama (QS42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah tunggal (QS 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi saw sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akherat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.” (FLA, 20).

Lalu dikemukakan, Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda. Ulasan ini dilandasi QS 5:48.  Kemudian dikemukakan, upacara-upacara keagamaan atau mansak setiap agama, dilandasi QS 22:34 dan 68.  Dan setiap umat punya wijhah (titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka’bahnya untuk kaum Muslim. (FLA, 20).

“Penjelasan tersebut  menegaskan prinsip-prinsip hubungan antaragama yang dapat diturunkan dari al-Qur’an, yang menegaskan adanya pluralitas agama. Bahkan al-Qur’an (2: 148 dan 4:48) menegaskan pluralitas itu dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.”  (FLA, 21).

Lalu dikutip terjemah ayat QS 2: 148 dan QS 4:48. kemudian diberi komentar:

“Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam al-Qur’an, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat  unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive itu, al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw (dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia), Mereka, para nabi itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan bimbingan mereka itulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu adalah semata-mata peringatan bagi seluruh alam.” (QS 6:90).

Tanggapan:
Tidak masuk Islam setelah mendengar seruan Nabi Muhammad saw adalah kafir.

Sebagaimana tabiat dari Al-Qur’an itu memang menegakkan Tauhid dan mengutus Nabi Muhammad saw itu untuk seluruh alam, semua manusia dan jin, maka ketika NM cs mengutip-kutip ayat Al-Qur’an dan memaksudkan untuk menegakkan teologi pluralis yang sejatinya bertentangan dengan Al-Qur’an, tentu ayat yang dikutip itu sendiri membantah pemahaman NM cs. Ayat yang dikutip NM cs dalam kutipan terakhir itu adalah:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat. (QS Al-An’aam/ 6: 90).

Imam As-Syaukani menjelaskan, “Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat” artinya sebagai nasehat dan peringatan bagi seluruh makhluq yang ada ketika turunnya Al-Qur’an itu dan bagi siapa saja yang akan ada setelahnya.[1] 

Kemudian ayat itu diteruskan dengan ayat 91 Surat Al-An’am:

Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (Qs Al-An’aam: 91).

Tafsir Al-Baidhowi menjelaskan, perkataan mereka,  "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia", itu adalah perkataan orang-orang Yahudi dalam keadaan mengingkari Al-Qur’an yang diturunkan Allah.[2]

Kalau pemahamannya model NM cs, maka apa perlunya Allah membantah orang Yahudi, dan agar Nabi Muhammad saw menyampaikan bantahan itu kepada mereka seperti dalam ayat 91 Surat Al-An’aam itu? Setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan bantahan lewat ayat Al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi, masih Allah pesankan: “Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.”

Disampaikannya Al-Qur’an itupun bukan sekadar untuk membantah, namun agar diimani. Sehingga tidak cukup hanya mengimani Taurat dan Injil. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maaidah: 68.

“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (TQS Al-Maaidah: 68).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan lafal hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, maksudnya hingga kalian beriman kepada seluruh kitab-kitab yang berada di tangan kalian yang diturunkan dari sisi Allah Ta’ala kepada para nabi, serta mengamalkan kandungannya. Di antara kandungannya tersebut adalah beriman kepada Nabi Muhammad saw, perintah untuk mengikutinya, beriman kepada kenabiannya, dan menaati ketentuan syari’atnya. Oleh karena itu Laits bin Abu Sulaim mengatakan dari Mujahid mengenai firman-Nya, (apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian) yaitu Al-Qur’anul ‘Azhim.

Imam Ibnu Katsir pada bagian lanjutnya mengaitkan ayat itu dengan ayat:

Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20).

Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17).

Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw:

Riwayat dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia Yahudi ataupun Nasrani yang mendengarku kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim). [3]

Imam An-Nawawi menjelaskan:

Adapun hadits itu maka di dalamnya adalah nasakh (penghapusan/ pembatalan/ penggantian) agama-agama semuanya dengan risalah nabi kita saw. Dan di dalam pengertiannya adalah petunjuk bahwasanya orang yang belum sampai padanya da’wah Islam, maka dia ma’dzur (diberi udzur/ tidak dituntut). Ini berjalan di atas apa yang datang dalam prinsip-prinsip bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’ menurut yang shahih, wallahu a’lam. Dan sabda Nabi saw: “Tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku” itu artinya dari orang yang dia ada di zamanku dan sesudahku sampai hari qiyamat maka masing-masing mereka wajib masuk dalam ketaatan pada Nabi Muhammad saw. Beliau menyebutkan Yahudi dan Nasrani itu hanyalah sebagai perhatian atas orang selain keduanya. Hal itu karena Yahudi dan Nasrani memiliki kitab (suci). Kalau keadaan mereka ini saja jadi  (wajib taat kepada Nabi Muhhammad saw) padahal mereka memiliki kitab suci maka apalagi selain mereka yaitu orang-orang yang tidak punya kitab suci. Wallahu a’lam.[4]

Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits Nabi saw tersebut maka teologi pluralis jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi saw, bahkan merupakan propaganda kepada kekafiran, namun berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam prakteknya, teologi pluralis itu diberi panduan praktis berupa buku Fiqih Lintas Agama. Karena teologi pluralisnya itu sendiri sudah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka fiqih pluralisnya tentu saja berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pada dasarnya adalah menyerang Islam memakai baju ilmu Islam.#

   


[1] As-Syaukani, Fathul Qodir, juz 2, halaman 137.

[2] Tafsir Al-Baidhowi juz 2, halaman 428.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 halaman 165.
[4] Imam An-Nawawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits nomor 217.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar