Sabtu, 28 April 2012

Nurcholish Madjid Cs Memperkosa Ushul Fiqih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agamanya


Tragis benar. Dalam tulisan maupun ucapan, Nurcholish Madjid cs dari Paramadina sering mengemukakan hajat mereka, “memecahkan problem kekinian”. Fiqih klasik pun dikecam sebagai tidak mampu memecahkan problem kekinian. Dan bukan hanya Fiqih klasik yang dituduh dan dikecam, namun Imam Syafi’I mujtahid mutlak yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar metodologi untuk fiqih yang disebut ushul fiqih pun dikecam-kecam. Kecamannya tak tanggung-tanggung. Ulama yang diakui dunia sepanjang sejarah itu telah dipersalahkan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang mengakibatkan terjeratnya umat Islam selama 12 abad dalam kerangkeng metodologi yang diciptakan Imam Syafi’i. Sebegitu lantangnya dalam melontarkan kecaman dan pemojokan terhadap ulama terkemuka. Namun, di balik kegagahan orang-orang Paramadina dalam polah “kaduk wani kurang dugo” (terlalu berani dan tidak mengukur kemampuan dirinya) itu, apa yang mereka slogankan yakni  “memecahkan problem kekinian” tinggal slogan kosong belaka. Pasalnya, mereka sendiri ketika bertarung dengan kelompok kecil di suatu ruangan saja sudah tidak mampu mempertanggung jawabkan perkataan mereka yang baru saja diucapkan, apalagi mempertanggung jawabkan teks yang mereka buat berupa buku yang mereka beri judul Fiqih Lintas Agama (FLA). Itulah peristiwa ketika Paramadina yang diwakili Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi (kedua-duanya alumni Mesir) berhadapan dengan MMI (Majelis Mujahaidin Indonesia) yang diwakili M Tholib dan Halawi Makmun, di UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004 dalam debat yang disebut diskusi dan bedah buku FLA yang dihadiri sekitar 150-an orang.[1]

Tragis memang. Secara tersirat Paramadina (Nurcholish Madjid cs/ NM cs) mau jadi pahlawan sebagai orang-orang yang mengaku mau memecahkan problem kekinian. Namun, alih-alih mampu memecahkan problem kekinian. Lha wong memecahkan problem yang ditimbulkan dari ucapannya sendiri yang baru saja diucapkan saja tidak bisa, tidak mampu. Contohnya, utusan Paramadina itu dengan gagahnya membuat “fiqih tandingan” seperti itu dengan alasan apa yang mereka sebut ucapan Ibnu Taimiyah: “Antum rijal wa nahnu rijal” (Kalian laki-laki dan kami juga laki-laki). Makanya mereka enteng saja mengecam-ngecam Imam Syafi’I, ulama terkemuka dalam hal fiqih, bahkan peletak dasar motodologi dalam mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam fiqih. Lalu kelantangan dan kegagahan orang Paramadina ini bagai kerupuk kena air, ketika Halawi Makmun dari MMI mengatakan, bahwa perkataan “Antum rijal wa nahnu rijal” (kalian laki-laki dan kami juga laki-laki) itu bukan perkataan Ibnu Taimiyah, tetapi perkataan Abu Hanifah, Haulaai rijal wa nahnu rijal (mereka laki-laki dan kami juga laki-laki). Dan persoalannya adalah: Kalau yang berkata itu sahabat Nabi saw maka kami (Abu Hanifah sebagai generasi Tabi’in/ sesudah generasi Sahabat) akan tunduk. Tetapi kalau yang berkata itu sama-sama Tabi’in, maka “Haulaai rijal wa nahnu rijal” (mereka laki-laki dan kami juga laki-laki).

Itulah di antara problem yang baru saja dicipta sendiri oleh orang Paramadina. Mereka tak mampu berkelit, walau dalam diskusi itu mengandalkan retorika, logika, dan suara keras yang sengit. Namun itu semua justru menampakkan jati diri orang-orang Paramadina, yang selama ini seakan citranya itu “ilmiyah”, namun justru emosional dan tak ilmiyah, serba kilah dan ngambang, mengalihkan persoalan yang diajukan untuk dijawab, namun tak mereka jawab. Sekali lagi, problem dalam ruangan sempit yang mereka buat sendiri saja tak mampu mereka pecahkan, lha kok sok mau memecahkan problem kekinian sambil mengecam-ngecam ulama salaf, yang tentu saja para ulama terdahulu itu tidak terbebani untuk bertanggung jawab mengenai apa-apa yang terjadi kini.

Di samping itu kelompok Paramadina ini masih lebih tidak mampu pula dalam memecahkan problem teks yang mereka buat ramai-ramai dalam buku Fiqih Lintas Agama setebal  274 halaman, namun isinya ada ejekan terhadap fiqih karya-karya para ulama yang disebutnya sebagai sangat sederhana. Padahal dari segi fisik, betapa berjilid-jilidnya kitab fiqih karya para ulama. Itu belum dari segi isi. “Fiqih tandingan”, FLA  bikinan Paramadina ini, dari segi fisik maupun bobot tentu tak ada apa-apanya dibanding karya para ulama, walaupun mereka (para ulama) menyusun fiqihnya itu tidak secara beramai-ramai bersamaan atas biaya dari orang kafir. Tidak. Namun kenapa orang-orang Paramadina ini berani mengecam-ngecam, baik lewat FLA-nya maupun langsung dalam diskusi? Justru di situlah perbedaannya dengan sikap para ulama. Adapun karya NM cs  yang belum tentu berbobot ini sudah dihiasi dengan sikap yang tidak ilmiyah dan bahkan bisa terkesan suu-ul adab (buruk akhlaq). Dapatkah problem kekinian dipecahkan dengan cara seperti itu?

Kata pepatah Arab, faaqidu syai’ laa yu’thi. Orang yang tak punya apa-apa, maka tidak bisa memberi. Ini bisa ditarik pengertian, orang yang sedang dirundung problem sendiri –akibat dia buat-buat sendiri—dan harus dipertanggung jawabkan, maka mesti lebih dulu harus memecahkan dan mempertanggung jawabkan apa yang mereka buat itu. Tidak bisa langsung memecahkan problem di luar diri mereka.

Provokasi kebencian terhadap Imam Syafi’i


Lakon seperti itu benar-benar diujudkan oleh Nurcholish Madjid cs (NM cs), yaitu mengecam Imam Syafi’I yang telah berjasa besar dalam memberikan khazanah keilmuan Islam, di antaranya metodologi “pembuatan” fiqih, namun justru dikecam oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang telah mengakibatkan terkerangkengnya umat Islam selama 12 abad dalam metodologi yang diciptakan Imam Syafi’i. Mestinya, kalau NM cs mau jujur, cukuplah apa-apa yang telah diwariskan oleh Imam Syafi’I itu dirujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu tatkala ditemukan kesalahan atau bahkan penyimpangan maka diluruskan.  Itulah yang ilmiyah dan Islami, bukan malah mengecam-ngecam sambil sesumbar: “Mereka laki-laki, kami juga laki-laki”, yang sesumbarnya itu sendiri pengutipan dan kegunaannya salah lagi.

Untuk lebih jelasnya, inilah kecaman yang dikemukakan Nurcholish Madjid cs kepada Imam Syafi’i.

Kutipan:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (Al-Qur’an dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (FLA, halaman 5).

            Tanggapan:
Ungkapan NM cs: “kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’I”, itu bukan ungkapan wajar apalagi ilmiyah. Lebih tepat untuk disebut provokasi kebencian. Namun di balik itu, dalam buku FLA itu sendiri (4 halaman sebelum pengecaman ini sendiri) dikutip pula ungkapan Imam Syafi’I, bahkan dijadikan benner teratas dalam Mukadimah, walau belum tentu yang dimaksud sama dengan yang dituju Paramadina. Yaitu ungkapan Imam Syafi’I yang berbunyi:
“Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.” (FLA halaman 1).

Pertanyaan yang perlu diajukan kepada NM cs: Kalau memang Imam Syafi’I itu membuat “kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih” apa perlunya Imam Syafi’I mengemukakan kemungkinan pendapat dirinya salah dan kemungkinan pendapat orang lain benar itu?

Mestinya, kalau Imam Syafi’i itu seperti yang dituduhkan oleh Nurcholish Madjid cs, ungkapan yang cocok diucapkan Imam Syafi’i adalah: “Jangan diikuti pendapat selain pendapatku, karena selain pendapatku itu salah semua. Dan yang benar hanya pendapatku.”  Ternyata tidak ada ungkapan Imam Syafi’i yang sekonyol itu, dan yang ada justru yang telah dikutip oleh Nurcholish Madjid cs itu.

Satu kosong untuk Imam Syafi’i. Imam Syafi’i bernilai satu, Nurcholish Madjid cs bernilai kosong.

Dari segi penulisan saja, NM cs ini sama dengan membuat kubur untuk dirinya sendiri. Buktinya, itu tadi, kecaman NM cs terhadap Imam Syafi’i cukup dibalikkan dengan tulisan NM cs sendiri yang justru mengutip ucapan Imam Syafi’i yang isinya berbalikan total dengan kecaman.

Kemudian tuduhan NM cs: “…karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad….” Sekali lagi, mestinya NM cs menunjuk saja, kalau memang Imam Syafi’i itu salah, tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemukakan itu. Sehingga bukan tuduhan kosong, sampai dibilang jerat segala. Kata-kata kerangkeng, belenggu, dan jerat dinisbatkan kepada perbuatan Imam Syafi’i terhadap Umat Islam. Benarkah itu? Dan apakah benar, umat Islam ini lebih mengagungkan karya Imam Syafi’i dibanding Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dengan bukti pernyataan bikinan NM cs bahwa: “Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i”.

Kepada NM cs perlu dikemukakan, di antara ilmu alat untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah ilmu nahwu-shorof (tatabahasa Arab). Para ulama ahli ilmu nahwu telah merumuskan kaidah-kaidah. Imam Sibawaih dan lainnya terkemuka dalam bidang ilmu nahwu ini dan besar pengaruhnya sampai kini. Para penafsir Al-Qur’an dan pensyarah Hadits pun untuk memahami kedudukan kalimat-kalimat dalam  Al-Qur’an dan Hadits itu merujuk kepada ilmu nahwu. Apakah yang seperti itu kemudian Imam Sibawaih dan lainnya bisa dituduh bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat dalam keilmuan di kalangan Islam selama berabad-abad? Dan apakah para ahli tafsir, ahli fiqih dan ahli-ahli ilmu Islam yang semuanya mesti merujuk kepada ilmu nahwu ketika memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits itu bisa disebut lebih mengagungkan ilmu nahwu dibanding Al-Qur’an dan Hadits? Tidak!

Contoh praktis sehari-hari, kita melaksanakan shalat wajib lima waktu setiap harinya dengan menggunakan patokan jadwal waktu sholat yang dibuat oleh para ahli ilmu falak. Jadwal waktu sholat itu telah dibuat untuk petunjuk waktu sholat sepanjang masa. Umat Islam menggunakan jadwal waktu sholat itu. Dan jadwal waktu itu sudah dicocokkan oleh para ulama ahli falak dengan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga ketika orang membaca Al-Qur’an dan hadits mengenai waktu-waktu sholat, maka dalam prakteknya mengikuti jadwal sholat yang dibuat para ulama ahli falak. Apakah dengan kenyataan itu lalu dengan mudahnya untuk dikecamkan kepada para ulama pembuat jadwal waktu sholat bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat, sehingga umat Islam lebih mengagungkan “jadwal waktu sholat” dibanding Al-Qur’an dan Hadits?

Demikian pula orang menafsirkan atau lebih tepatnya dalam hal fiqih ini mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum (bagi yang telah memenuhi syarat kemampuannya) dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits memakai ushul fiqih, metodologi yang perintisnya adalah Imam Syafi’i. Apakah itu bisa dituduh sebagai lebih mengagungkan dan lebih tunduk kepada karya Imam Syafi’I daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah? Dan apakah pembuat metodologi itu bisa dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu dan jerat pemikiran fiqih?

Di dalam ilmu umum, misalnya dengan adanya peta dunia, peta negara, peta kota dan sebagainya, maka orang bisa menggunakannya sebagai petunjuk. Apakah pembuat peta itu bisa dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu, dan jerat terhadap manusia dalam keilmuan selama berabad-abad? Ini benar-benar sulit untuk dimengerti jalan fikiran NM cs ini. Dari semula nyeleneh sudah berubah menjadi main tuduh sembarangan.

Kerja maraton menggembosi Fiqih di kalangan kiai-kiai NU

Bolehlah Masdar F Mas’udi berbangga dan menepuk dada, misalnya (tetapi ini hanya misal), karena selama ini sejak tahun 1985-an dengan lembaganya P3M telah aktif mempengaruhi kiai-kiai pesantren terutama dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama) secara intensif dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu acara ke acara lain secara rutin dan terprogram. Semua itu untuk menyuntikkan pembuyaran ushul fiqih, fiqih, dan kaidah-kaidah yang melingkupinya. Masdar boleh bangga, karena memang kerja keras dan sistematis dengan dibiayai oleh orang luar  (kalau orang yang tak suka biasanya menyebutnya: orang kafir) ke sana-sini dengan dipandegani (dimotori) oleh Masdar sendiri serta Muslim Abdurrahman dari Muhammadiyah (kalau sekarang dibantu Zuhairi Misrawi alumni Mesir bergelut di filsafat). Upaya “penggembosan”/ pengempesan fiqih sejak tahun 1985-an telah dirasa membawa hasil. Yaitu di antaranya bisa “mempluralismekan” sebagian kiai-kiai NU (Nahdlatul Ulama). Dengan bukti, sudah tidak menganggap haram adanya do’a bersama antar agama, bahkan langsung mereka menyelenggarakan pula, bahkan pernah diselenggarakan secara nasional di masa pemerintahan Gus Dur/ Abdurrahman Wahid tahun 2000-an.

Namun “kesuksesan” dalam menggarap sebagian kiai NU belum merupakan pertanda “sukses” bila “go publik”, walaupun hanya di sebuah ruangan tak begitu luas dan itupun di kandang yang diperkirakan mendukung fahamnya, dan walaupun didukung-dukung secara ramai-ramai dan bergabung di dalam wadah yang namanya Paramadina, serta didukung dana oleh The Asia Foundation yang duitnya, kata Ulil Abshar Abdalla (Kordinator JIL/ Jaringan Islam Liberal), bersumber dari orang-orang kaya di Amerika dan pajak dari Amerika. 

Bahkan, walaupun Masdar F Mas’udi di jajaran buku FLA terbitan Paramadina itu kemungkinan dianggap sebagai “suhunya” lantaran sudah terbukti pengalamannya dalam menggarap kiai-kiai NU se-Indonesia tingkat local dan nasional secara berlama-lama, dan telah dianggap sebagai orang yang telah mampu menjebol benteng Ushul Fiqih kemudian apalagi Fiqihnya, sekaligus tokoh utamanya yakni Imam As-Syafi’I, namun  sekali lagi ketika dihadapkan kepada Umat Islam non NU dan non liberal serta yang tak semodel dengan Paramadina, maka sekalipun diusung oleh dua tokohnya yang kedua duanya lulusan Mesir, tetap saja terpuruk.

Pelajaran pahit. Tidak bisa disamakan umat Islam ini secara pukul rata dengan sebagian kiai-kiai NU atau pengikut JIL (Jaringan Islam Liberal), atau murid-murid setia Paramadina, atau orang-orang yang suka mundak-munduk dan mindak-mindik (bergaya sangat santun untuk mencari kesempatan masuk) ke pintu-pintu pejabat ataupun pintu orang asing yang punya dana. Keterpurukan pihak Paramadina di depan publik ketika acara debat/ diskusi dan bedah buku Fiqih Lintas Agama yang diselenggarakan Paramadina di IAIN (UIN Universitas Islam Negeri) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004, atas “tantangan” MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) adalah pengalaman pahit bagi Paramadina, Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi utusan Paramadina. Sekalipun Masdar F Mas’udi tidak tampak hadir, demikian pula Nurcholish Madjid yang sebenarnya justru diharapkan hadir oleh M Thalib dan Halawi Makmun (Majelis Mujahidin) yang bertandang di tempat yang semula diusulkan untuk disebut debat publik itu, namun tentu  sebenarnya yang harus menangung beban lebih dalam hal keterpurukan itu adalah Masdar F Mas’udi dan Nurcholish Madjid.

Kenapa?

Karena dari segi pembidangan ilmu, dari kelompok yang tergabung dalam penulisan buku FLA itu yang lebih konsen dan berpengalaman mensosialisasikan “penggembosan” (pengempesan) terhadap Imam As-Syafi’I, Ushul Fiqih, dan Fiqih adalah Masdar F Mas’udi. Dan yang sudah berpengalaman malang melintang dalam menghadapi kiai-kiai NU yang bisa diliberalkan maupun tidak adalah Masdar F Mas’udi. Bahkan yang sudah keterlaluan dalam pembicaraan masalah hukum Islam (fiqih) adalah Masdar F Mas’udi. Sampai-sampai, ulama seniornya sendiri dalam NU, yakni KH Ma’ruf Amin yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun dibantah mentah-mentah karena KH Ma’ruf Amin tetap mengharamkan zina secara mutlak. Sedang bantahan Masdar Farid Mas’udi hanya karena mengkategorikan dirinya sendiri sebagai ulama INUL (katanya ulama Ikatan NU Liberal) maka berani mengemukakan, kalau berzina maka pakailah kondom[2]. Astaghfirullahal ‘adhiem. Jadi Masdar lebih mementingkan pemasaran kondom daripada haramnya zina dan dosanya. Seandainya benar dia ulama, sesuai dengan Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya itu hanyalah para ulama”; maka kalimat yang pantas dia ucapkan adalah: “Kalau terlanjur berzina maka bertaubatlah taubatan nasuha, taubat yang benar-benar taubat, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi”. Namun karena dia sendiri menamakan dirinya ulama Inul, ya justru ungkapannya lain. Yo wis, ora karuan! (Ya sudah, tidak keruan!).

Sementara itu Nurcholish Madjid adalah orang yang dikenal sebagai sesepuh Paramadina dan rector Universitas Paramadina Mulya, yang memang sempat pula “menggembosi” fiqih.[3] Namun menjadi bumerang bagi Nurcholish, karena bagaimanapun, secara tertulis Nurcholish Madjid mengakui bahwa Imam Syafi’I benar-benar diakui sebagai peletak dasar metodologi dalam hal hukum  Islam. Hingga Nurcholish menyebut orang Barat pun mengakuinya. (Lihat Kata Pengantar yang ditulis Nurcholish Madjid dalam buku terjemahan Ar-Risalah, Pustaka Firdaus, Jakarta, cetakan pertama, 1986). Persoalan Nurcholish Madjid “memuji” Imam Syafi’I dalam buku terjemahan Ar-Risalah tetapi di buku FLA yang ditulis NM cs justru mengecam-ngecam keras Imam Syafi’I inilah salah satu yang dipersoalkan M Tholib dari MMI dalam diskusi di UIN Jakarta, dan tiada jawabnya, bahkan NM sendiri tak bersedia hadir.

Desain Besar: Menghadang Formalisasi Syari'at, Aqidah, dan Jihad

Nurcholish Madjid (kini dengan teman-temannya) punya visi dan missi menghadang apa yang sering mereka kecam yaitu formalisasi syari’ah, sedang formalisasi syari’ah itu perangkat yang dianggap sebagai bahan utamanya adalah fiqih, maka sebelum terlaksana formalisasi syari’at itu lebih dulu dihancurkanlah fiqihnya. Untuk menghancurkan fiqihnya, mesti harus dihancurkan ushul fiqihnya, karena sebagai landasan dan metodologi yang menjadi pijakan kuat pengembangan fiqih. Untuk merobohkan ushul fiqih maka diupayakanlah memburukkan citra perintis utamanya, yaitu Imam As-Syafi’i. Kalau semua itu sudah diporak porandakan, maka formalisasi syari’at akan layu sebelum tumbuh. Itulah kronologi singkatnya. Dan hal itu bisa disimak, bagaimana upaya Nurcholish Madjid dalam menempuh pembendungan penerapan syari’at itu. Buku FLA itu adalah tahap lanjutan dari pengomandoan pembabatan fiqih yang telah Nurcholish tulis dalam buku Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal, (terjemahan) yang diterbitkan oleh Paramadina pula, Jakarta, cetakan 1, 2001.

Sehubungan dengan diterbitkannya buku FLA oleh Paramadina dan dimotori oleh  Nurcholish Madjid cs itu merupakan penjabaran dari tulisan Nurcholish Madjid dalam buku Wacana Islam Liberal  yang intinya adalah untuk menghadang penerapan syari’at Islam, maka latar belakang itu perlu kita putar ulang. Saya mohon maaf  dan kesabaran para pembaca, berikut ini saya kutipkan tanggapan saya terhadap tulisan Nurcholish Madjid yang ternyata tampak seriusnya setelah munculnya buku FLA. Inilah kutipan dari buku saya, Bahaya Islam Liberal:

Selanjutnya, berikut ini saya kutip bagian akhir tulisannya (Nurcholish Madjid) agak panjang.

Kutipan:

“Faktor kedua adalah legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi yang serba legalistik kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. “Fikihisme” ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasi pun umumnya masih memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.

Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.

Memang antara agama dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Melalui individu-individu warga negara, terdapat pertalian yang tidak terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan aksi (sikap lahir bernegara).”[4]

Tanggapan:

Bagaimanapun, landasan berpikir Nurcholish Madjid itu telah gugur, yaitu pada butir pertama di atas, yang dia menyalahkan orang namun justru dirinya sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya uraiannya yang terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos. Tetapi, cara dia  bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut fikihisme, lalu dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui;  itu semua adalah penafian realitas.

Tentang Negara Islam, sebenarnya adalah realita sejarah, dari zaman Nabi saw sampai Khulafaur Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang berlanjut selama berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam. Yang dipakai pun hukum Islam atau syari’at Islam. Itu adalah kenyataan, bukan dongeng. Bahkan adanya pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut negara Islam itu sudah sejak sebelum adanya fiqh.

Kenapa Nurcholish Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan: “…legalisme membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”… Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.”

Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut  abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?

Nurcholish boleh menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini adalah: Belum pernah ada Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah tumbuh dan berkembang, lalu membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah kemudian orang berapologetis “Negara Islam”.

Apakah kenyataan di dunia ini seperti itu?

Jelas tidak! Pemerintahan Islam sudah berlangsung lebih dulu, baru kemudian disusun fiqh oleh para ulama. Sedang fiqh itu sendiri isinya bukan melulu agar umat Islam mendirikan Negara Islam.

Jadi tuduhan Nurcholish itu dari segi realita sejarah dan kenyataan di dunia sudah tidak cocok, sedang dari segi penyudutan kepada fiqh pun tidak kena.
   
Lalu Nurcholish masih pula melontarkan tuduhan.

Kutipan:

“Susunan hukum ini (maksudnya fiqih, pen) juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya.”

Tanggapan:

Terhadap tuduhan Nurcholish Madjid itu, perlu diketahui, fiqih itu adalah ilmu tentang mempraktekkan Islam, baik dalam beribadah maupun dalam hidup di dunia ini[5]. Jadi persoalannya bukan karena umat Islam berharap menunjukkan bahwa aturan-aturan syari’at Islam itu lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya, lalu berapologi dengan “Negara Islam”, tetapi Negara Islam itu adalah realita sejarah dan bahkan ijma’ sahabat. Negara Islam itu menjalankan hukum-hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Adapun fiqih itu adalah jalan untuk mempraktekkan Islam, baik itu oleh umat Islam maupun oleh pemerintah. Masing-masing ada aturannya.Hal-hal yang pelaksananya hanya pemerintah, seperti mengadili kasus-kasus, maka harus ditangani oleh pemerintah, bukan dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri. Dan hal yang harus dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri, baik itu ibadah maupun mu’amalah, maka dilaksanakan oleh umat sendiri. Seperti ibadah sholat, jual beli dan sebagainya, dilaksanakan oleh masing-masing individu. Dan ada juga yang dilaksanakan secara kerjasama pemerintah dan umat, seperti pendidikan, da’wah dan sebagainya.

Praktek-praktek itu diatur dengan hukum fiqih, karena memang fiqih adalah tatacara mempraktekkan/ mengamalkan Islam. Maka fiqh menurut istilah adalah hukum-hukum syari’ah amali/ praktis.

Jadi, kalau kehidupan modern dianggap tidak bisa dijangkau oleh fiqih, atau fiqih dianggap tidak bisa lagi untuk mengatur kehidupan modern, itu sama dengan mengatakan Islam tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan modern.

Kenapa?

Karena fiqih itu adalah Islam praktis/ amali. Kalau Islam amali ini harus diganti dengan “Islam Liberal amali” yang dianggap mampu untuk diterapkan di dalam kehidupan modern, maka wadah operasionalnya adalah “Negara Islam Liberal” yaitu negara sekuler yang menolak adanya Negara Islam dan bahkan menolak penerapan syari’at Islam dalam kehidupan.

Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syari’at Islam. Titik.

Yang jadi persoalan, untuk menolak syari’at Islam, kenapa harus melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak berlandaskan bukti-bukti?
  
Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam

Generasi awal penolak syari’at Islam di Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan Gatoloco.

Gatoloco menolak syari’at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai berikut:

“Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau) tidak takut durhaka.

Gatoloco berkata: Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik. Bukan anjing curian.

Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku? Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.[6]

Itulah penolakan syari’ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin analog:  Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding kambing hasil mencuri.

Ungkapan Gatoloco yang menolak syari’at Islam berupa haramnya babi itu bukan sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam itu menghalalkan mencuri  kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena, apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari’ah Islam belakangan) telah melakukan dua hal:

1.      Menolak syari’at Islam
2.      Menuduh umat Islam sekenanya.[7]
  
Demikianlah latar belakang yang perlu diketahui, sehingga terpaksa saya putar ulang apa yang telah saya persoalkan di tahun 2002. Hanya saja rencana “besar” yang berbahaya bagi Islam itu tampaknya Nurcholish Madjid masih kesulitan dalam menjabarkannya, baik dalam hal tenaga-tenaga yang perlu direkrut maupun produk yang mau disuntikkan kepada masyarakat.

Dalam rancangan global yang belum saya tanggapi dalam kutipan di atas, Nurcholish menulis:

“Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.”

Nafsu Besar Tenaga Kurang

Untuk mengujudkan “cita-cita” (kalau orang yang tak suka lebih mantap menyebut "nafsu") Nurcholish yang seperti itu, ternyata walaupun mungkin dana bisa dinegokan dengan pihak-pihak yang suka (atau justru dana sudah tersedia, tinggal melaksanakannya, saya tak tahu) namun dari segi tenaga yang piawai dari yang Islam saja masih kewalahan. Yang memang sudah biasa menggarap masalah fiqih setahu saya baru ada Masdar F Mas’udi, dan itupun belum sukses dalam mempropagandakan fikiran-fikiran anehnya bahwa zakat sama dengan pajak, berhaji bukan hanya di bulan Dzulhijjah tetapi 3 bulan, jadi wuquf di Arafah tidak hanya di tanggal 9 Dzulhijjah, karena kalau pemahamannya seperti itu (wuquf di Arofah hanya tanggal 9 Dzulhijjah) berarti Al-Qur’an dikorbankan oleh Hadits, kata Masdar. Jago yang satu ini paling banter baru bisa mengotak-atik bahwa “perlindungan terhadap agama” (hifzh al-dien) dan "perlindungan terhadap akal" (hifzh al-aql) dalam ushul fiqih tentang Ad-Dhoruriyatul khomsah (5 hal primer yang harus dilindungi) itu kemudian diplesetkan menjadi kebebasan beragama, dan berpendapat. (Itu ditulis di buku FLA dan di bagian yang awal, lihat FLA halaman 12). Padahal, di dalam ushul fiqih ditegaskan:

Yang terjadi dalam tingkat ad-dhoruriyyat  (aksiomatik) yaitu apa yang telah dikenal dari perhatian Allah (Syari’) kepadanya, yakni ada lima:
-          Penjagaan terhadap agama mereka
-          jiwa-jiwa mereka
-          akal mereka
-          nasab mereka
-          dan harta-harta mereka.

Contohnya:
-          ketentuan hukum syara’ dengan membunuh orang kafir yang menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid’ah yang mengajak kepada bid’ah adalah untuk menjaga agama mereka
-          ketentuan hukum syara’ dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh balas bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa.
-          Kewajiban dari syara’ berupa had (hukuman yang sudah ditentukan) atas peminum arak/ khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal.
-          Kewajiban syara’ berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina adalah untuk menjaga keturunan dan nasab.
-          Kewajiban syara’ mengancam keras pencuri adalah untuk menjaga harta-harta. Melalaikan/ menggugurkan dasar-dasar yang lima ini dan lari darinya adalah mustahil.[8]

 

Penyelewengan terang-terangan


Coba kita bandingkan, teks dalam ushul fiqih seperti itu dengan perlakuan NM cs terhadap istilah ad-dharuriyat: mula-mula dikutip lebih dulu secara benar, lalu diplesetkan arahnya. Itulah  yang dilakukan oleh para penulis Paramadina yang dipelopori Nurcholish Madjid. Berikut ini kutipannya:

            Kutipan:

“Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer (al-dharuriyyat, pen) yaitu perlunya melindungi agama (hifzh al-din), melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal  (hifzh al-‘aql), melindungi keturunan (hifzh al-nasab) dan melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang.”[9]
           
Tanggapan:

Betapa jauh berbeda antara yang dimaksud oleh Ushul Fiqih dengan yang dimaksud oleh Masdar F Mas’udi dan kawan-kawannya di Paramadina yang disesepuhi oleh Nurcholish Madjid ini.

1. Ushul Fiqih menegaskan:

- Penjagaan terhadap agama mereka dalam bentuk: ketentuan hukum syara’ dengan membunuh orang kafir yang menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid’ah yang mengajak kepada bid’ah adalah untuk menjaga agama mereka.
- Namun Masdar F Mas’udi cs menyatakan:

Perlunya melindungi agama (hifzh al-din); Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain.

Komentar saya: Ini istilah ushul fiqih “melindungi agama (hifzh al-din)” masih dipakai, tetapi maksudnya sudah dimainkan ke arah lain. Menjaga atau melindungi agama itu maksud yang benar adalah menjaga Islam agar tidak rusak, maka pelaku perusak agama dihukum bunuh, dalam contoh di atas, orang kafir yang menyesatkan maka dalam ketentuan syara’ dihukum bunuh.

2. Ushul fiqih membuat landasan: Penjagaan terhadap jiwa-jiwa mereka dalam bentuk; ketentuan hukum syara’ dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh balas bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa.

Tetapi Masdar F Mas’udi cs menyatakan: melindungi jiwa (hifzh al-nafs); menghormati jiwa.

Komentrar saya: Bukan sekadar menghormati, tetapi menjaga dari segala yang merusaknya. Sedang jiwa di situ hanyalah jiwa yang dilindungi oleh Islam. Adapun jiwa orang yang tidak dilindungi Islam, misalnya karena memusuhi Islam, melanggar Islam yang sampai terkena hukum bunuh (misalnya murtad, sudah pernah nikah namun berzina, lari dari medan perang, dan membunuh jiwa secara tidak haq) maka tak ada perlindungan lagi. Jadi yang dijaga jiwanya itu adalah orang muslim yang dilindungi syara’, dan urusannya bukan sekadar hormat menghormati.

3. Ushul Fiqh membuat landasan: Penjagaan terhadap akal. Ujudnya: Kewajiban dari syara’ berupa had (hukuman yang sudah ditentukan) atas peminum arak/ khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal.

Tetapi Masdar cs mengemukakan: melindungi akal  (hifzh al-‘aql), menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat.

Komentar saya: “Menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat” itu bukan merupakan maksud dari istilah Ushul Fiqih “melindungi akal"  (hifzh al-‘aql) . Yang dimaksud oleh Ushul Fiqih tentang melindungi akal itu adalah melindungi dari tingkah yang merusak akal. Maka orang yang meminum minuman keras dikenai hukuman (had) dicambuk 80 kali, karena dengan hukuman itu agar akal terlindungi, yakni manusia tidak membuat tingkah yang merusak akal. Adapun pendapat yang dihasilkan dari akal maka perlu dilihat, ketika pendapat itu berupa kekafiran dan mengajak kepada kesesatan-kekafiran maka berarti merusak agama. Dan itu ada hukumnya tersendiri seperti tercantum dalam hal penjagaan agama, point satu. Bukannya pendapat akal yang menyesatkan itu perlu dihargai, tetapi justru pencetus atau penyerunya perlu dihukum, sebab merusak agama.

4. Penjagaan terhadap nasab/ keturunan (hifzh al-nasab) ujudnya: Kewajiban syara’ berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina adalah untuk menjaga keturunan dan nasab.

Tetapi Masdar cs mengemukakan:  melindungi keturunan (hifzh al-nasab) menjaga keturunan (hak reproduksi).

Komentar saya: Dalam Ushul Fiqih, istilah melindungi keturunan atau hifzh al-nasab itu maksudnya adalah Allah membuat syari’at, di antaranya dalam hal untuk menjaga keturunan, maka dilarang berzina. Sehingga ada hukuman bagi pelaku zina, agar keturunan bisa terjaga.

5. Menjaga harta (hifzh al-mal) ujudnya: Kewajiban syara’ mengancam keras pencuri adalah untuk menjaga harta-harta..

Sedang Masdar cs menulis:  melindungi harta (hifzh al-mal), menghargai kepemilikan harta setiap orang.

Komentar saya: Dalam hal harta, Masdar cs tidak begitu menyelewengkan maksud. Berbeda dengan ketika menyangkut masalah penjagaan agama dan akal. Dalam dua hal (agama dan akal) inilah Masdar cs bermain, memainkan penyelewengan maksud. Dari maksud Ushul Fiqh bahwa Allah melindungi agama (Islam) sehingga menetapkan hukum syara’ untuk menghukum bunuh perusak agama serta menghukum pembuat dan penyeru bid’ah, lalu oleh Masdar cs diubah menjadi “Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain”. Betapa jauh bedanya. Kemudian dalam hal penjagaan akal, Ushul Fiqih memaksudkan, Allah menjaga akal Muslimin, maka siapa yang berbuat pelanggaran yang merusak akal dihukumlah. Misalnya minum minuman keras maka dicambuk 80 kali. Tetapi oleh Masdar cs, istilah penjagaan atau perlindungan terhadap akal itu masih dipakai, sedang maksudnya diselewengkan menjadi: “menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat”.

Memperkosa Ushul Fiqih demi kepuasan syahwat pluralisme agama


“Pemerkosaan” terhadap Ushul Fiqih telah dilakukan secara beramai-ramai oleh Nurcholish Madjid, Masdar F Mas’udi dan kawan-kawannya, demi meraih kepuasan syahwat pluralisme agamanya, sehingga mereka bisa berteriak sekencangnya, “Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain”, dan perlunya  “menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat”. Dan itu diserukan atas nama hal yang primer, yang wajib dilindungi. Kemudian diatas namakan, itulah maqoshidus syari’ah  (tujuan syari’ah).  Padahal pembicaraan Ushul Fiqih sama sekali bukan seperti itu.

Kenapa mereka ini tega-teganya “memperkosa” Ushul Fiqih untuk kepentingan yang sangat bertentangan dengan Islam, dan menyuarakan suara tidak Islami atas nama ilmu Islam, padahal mereka mengaku dirinya Muslim? Ada apa?

Di balik itu semua, sudah sebegitu kerasnya upaya NM cs sampai berani mengadakan “perkosaan” secara ramai-ramai terhadap Ushul Fiqih, namun hasilnya baru sampai taraf memperkosa istilah-istilah untuk diselewengkan maksudnya, tahu-tahu sudah kepergok massa. Sehingga  untuk menyalurkan hasrat propaganda pluralisme agama dan penghadangan syari’at Islam itu masih perlu banyak tenaga dan aneka perangkat lagi.

Itu belum sampai kepada pekerjaan besar untuk merobohkan fiqih, ushul fiqih, dan Imam Syafi’i peletak dasar Ushul Fiqih. Belum lagi untuk mengais-ngais ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap sebagai landasan pluralisme agama (faham penyamaan agama-agama). Malahan Zuhairi Misrawi mengaku sedang meneliti dan mengumpulkan ayat-ayat yang bersifat pluralisme agama, sambil mengemukakan bahwa M Thalib yang menganggap ayat-ayat Al-Qur’an itu sifatnya monolitik untuk Islam itu salah. Lalu Zuhairi Misrawi dalam diskusi di UIN Jakarta itupun membaca ayat, namun salah, dan pemahamannya secara serampangan. Maka tidak usah penantang yakni Majelis Mujahidin yang mempersoalkan kesalahan bacaan ayat dari Zuhairi Misrawi dan Zainun Kamal, cukup dipersoalkan oleh peserta diskusi saja sudah klepek-klepek (mungkin bahasa psikologinya nervous/ gugup). Sehingga bersublimasi dengan bersuara lantang, namun isinya sangat mengkhawatirkan, baik bagi pendukung Paramadina maupun apalagi lawannya, karena tanpa referensi/ rujukan dan dalil yang meyakinkan.

Belum lagi Nurcholish harus menyiapkan tenaga-tenaga yang piawai dari non Muslim. Dan dalam buku FLA itu tidak satu pun orang yang mengaku dari non Muslim yang diikutkan menulis. Sehingga apa yang jadi judul “Fiqih Lintas Agama” itu adalah satu perwujudan dari rancangan global yang amat besar dengan keharusan melibatkan para pakar dari berbagai agama dan muatan yang besar penuh bobot hingga agar mampu menjebol aneka benteng (terutama benteng yang dianggap akan menjadi perlindungan penegakan syari’ah dan benteng penegakan aqidah serta jihad) namun desain besar itu tinggal desain. Bahasa klisenya adalah “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Itu masih mending, bahkan setengah dari kenyataannya adalah sebagaimana plesetan orang, “maksud hati memeluk gunung, apa daya gunung meletus”. Itulah resiko dari kerja keras di bawah perintah sponsor orang kafir untuk mengacak-acak Islam dan umatnya. Masa’ Allah merelakan kerja keras model itu.



[1] Peristiwa debat antara Paramadina dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) itu isi lengkap debatnya telah kami tulis sekaligus kami komentari dalam sebuah buku yang berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agma, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2004.
[2] Idealnya, agama mengajarkan umatnya melakukan hubungan seks yang halal dan aman. Namun, kenyataannya, ada pula varian hubungan halal-tak aman, haram-aman, dan haram-tak aman. Untuk ketiga varian hubungan seks, yang terakhir ini, paling tidak, ulama bisa bersikap abstain jika enggan mendukung penggunaan kondom. "Yang penting tidak melarang," kata KH Masdar Mas'udi, Ketua Komisi Fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Menurut Masdar, sebaiknya kampanye kondom dilakukan tidak secara terbuka di media umum. Yang penting bagaimana menjangkau kaum pria yang tak bisa menahan hajat seksualnya dan tetap nekat berhubungan seks dengan pekerja seks komersial, agar mau menggunakan kondom sehingga tidak menularkan HIV kepada istrinya. Soal ini Masdar sempat agak berdebat dengan KH Machruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI yang juga dari NU. Namun, perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan dengan derai tawa. Masdar menyebut dirinya ulama "INUL" (Ikatan NU Liberal), sedangkan KH Machruf Amin mengakui dirinya masih konservatif dalam soal perzinaan   . (Sumber ; KOMPAS, 14 Maret 2003 )
  
[3] Sikap Nurcholish Madjid kadang mencla-mencle (tidak konsisten). Lebih komplitnya, silakan baca di buku saya, Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003. Dalam hal penggembosan alias pengempesan, di bidang folitik Nurcholish Madjid menyuarakan “Islam yes, partai Islam no”. Tetapi dia sendiri terjun berkampanye PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tahun 1977. PPP adalah satu-satunya partai Islam saat itu, berhadapan dengan dua partai nasionalis yakni Golkar (partai penguasa di bawah Presiden Soeharto) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia, merupakan gabungan dari partai-partai Katolik, Kristen, dan partai nasionalis, kini PDI berubah jadi PDIP sejak menjelang Pemilihan Umum 1999). Kenapa Nurcholish berkampanye untuk partai Islam? Alasannya, “memompa ban kempes”. Itu di bidang folitik. Adapun di bidang fiqih, Nurcholish Madjid kini menggembosi fiqih, ushul fiqih, bahkan mengomandoi penerbitan buku FLA yang di antara isinya mengecam Imam As-Syafi’i. Padahal Nurcholish Madjid memuji dan mengakui jasa besar Imam Syafi’I sebagai peletak dasar metodologi dalam hal hukum Islam, ketika menulis pengantar buku terjemahan karya Imam As-Syafi’I, Ar-Risalah, terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986. Dr Peunoh Daly (almarhum) guru besar IAIN Jakarta alumni Mesir pun pernah berkomentar, Nurcholish Madjid itu kalau mau dibilang Mu’tazilah, kok ternyata dia menerjemahkan buku Dr Mustofa As-Siba’I, As-Sunnah wa Makaanatuha fil Islam (Kedudukan Sunnah/ Hadits dalam Islam). Kalau Mu’tazilah mestinya tidak sebegitu ada perhatian terhadap Hadits. Tetapi dalam pemikiran-pemikiran Nurcholish sering dijumpai hal yang seperti Mu’tazilah.  Itu komentar Dr Peunoh Daly dalam wawancara dengan penulis. Adapun penerjemahan buku As-Siba’I, ternyata Nurcholish membuang muqoddimahnya. Padahal dalam muqoddimah itu justru ada penjelasan tentang jahatnya orang-orang orientalis, Rafidhoh/ Syi’ah, Munkirus Sunnah, dan termasuk pula Mu’tazilah dalam upaya mereka memberedel hadits Nabi saw. Jadi, kadang memang Nurcholish Madjid mengerjakan hal-hal yang menyelisihi adat nyelenehnya, namun di sana terselip ada nyelenehnya pula (kalau tak boleh dibilang ada apa-apanya). Ini berbeda dengan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Tidak suka partai Islam ya langsung menggembosi PPP. Tidak suka kepada Muslimin yang teguh ya langsung ngomong, musuh besar saya Islam kanan, …begitu saja kok repot.
   Sama-sama nyelenehnya tapi beda gayanya, padahal mereka arahnya sama. Buktinya? Masdar F Mas’udi itu orang dekatnya Gus Dur, lalu di dalam proyek buku “Fiqih Tandingan” yakni FLA terbitan Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation ini Masdar adalah pengikut Nurcholish Madjid selaku tim penulis.  Di situlah titik temunya, dan Masdar menjadi orang penting baik di grup Gus Dur maupun Nurcholish. Saya jadi teringat Pak Munawir Sjadzali selaku menteri agama wanti-wanti (berpesan serius) kepada saya tahun 1987, tolong Masdar itu jangan “dipukul”, dia masih intelektual muda. (Memangnya saya tukang  pukul?). Saat itu rupanya Masdar dilindungi, dengan cara pembagian tugas. Masyarakat dibikin ramai: Munawir Sjadzali melontarkan bahwa hukum waris Islam tidak adil. Nurcholish Madjid menerjemahkan syahadat menjadi; Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar); dan Gus Dur ingin mengganti assalamu’alaikum menjadi selamat pagi. Sementara masyarakat ramai geger mempersoalkan lontaran tiga tokoh itu, maka Masdar F Mas’udi dari NU dan Muslim Abdurrahman dari Litbang Depag kebagian untuk menggarap kiai-kiai NU secara maraton, tingkat local dan bahkan nasional terus menerus. Tujuannya dua, pertama menjebol fiqih dengan rangkaiannya (fiqih, ushul fiqih, dan Imam-imamnya terutama Imam Syafi’i) yang tujuan akhirnya untuk meruntuhkan upaya penegakan syari’at. Karena saat itu sudah ada para intelektual yang mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi sehingga dalam rapat nasional MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai bunga bank justru suara-suara kiai-kiai yang (sebagian MUI dan NU justru mendukung bunga bank) kalah argumentasi dengan intelektual model AM Saefuddin dan lain-lain. Sehingga gelagat akan adanya suara penegakan syari’at Islam sudah tercium oleh penguasa dan orang sekuler model Nurcholish Madjid cs itu. Yang kedua, menjebol aqidah, dari Tauhid menjadi pluralisme agama, menyamakan semua agama. Upaya yang sudah diuji cobakan terhadap kiai-kiai NU inilah yang kemudian disusun secara beramai-ramai dalam bentuk buku yang disebut Fiqih Lintas Agama, mumpung Nurcholish dan Gus Dur masih ada. Sedang pekerjaan kaum sekuler ini bebannya tambah berat. Tugas penjebolan fiqih itu untuk menghadang umat Islam yang ingin menegakkan syari’at Islam. Sedang penjebolan aqidah agar jadi pluralisme agama itu untuk menghadang Muslimin yang mengikuti manhaj salaf.  Maka tak mengherankan kalau sponsornya dari orang kafir, padahal disebutnya buku fiqih.  
[4]  Tulisan Nurcholish Madjid yang dikutip dalam Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, cetakan 1, 2001, hal 503.
[5] Fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliyah/ praktis yang diupayakan dari dalil-dalilnya yang terperinci. (Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Al-Haramain, Jeddah, hal 168).
[6] Buku Gatoloco, Sadu Budi, Solo, halaman 7, dikutip dan diterjemahkan Prof Dr HM Rasyidi, Islam & Kebatinan, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan 7, 1992, hal 28-29.
[7] Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, 2002, halaman 46-53.
[8] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Raudhotun Nadhir, Jami’ah Al-Imam, Riyadh, cetakan 2, 1399H,  juz 1, halaman 170.

[9] Nurcholish Madjid cs, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif –Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2003, halaman 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar